OUT-44

567 50 5
                                    

Sudah sepuluh hari Vanel tidak komunikasi dengan Lucas. Mereka seperti orang asing, seperti sebelumnya. Vanel juga tidak pernah berpapasan dengan Lucas. Benar-benar seperti kehidupannya sebelum bersinggungan dengan lelaki itu.

Tring....

Pagi ini, Vanel ingin mendapat jawaban atas rasa penasarannya. Dia nekat datang ke apartemen Lucas. Bahkan, dia sudah mempersiapkan sekenario agar tidak dianggap kepo.

Tet....

Vanel memencet bel lalu memegang kantung makanan dengan kedua tangan. Pandangannya tertuju ke pintu yang masih tertutup rapat. "Dia udah keluar?" gumamnya sambil mengingat kebiasaan Lucas. "Ah, sekarang udah siang."

Tet....

Vanel memencet bel sekali lagi. Dia menunduk dan saat itulah melihat tong sampah depan milik Lucas. Seketika dia bergeser lalu kakinya menginjak pijakan tong sampah itu. Benda itu tampak kosong.

"Dia nggak ada di rumah?" gumam Vanel.

Di kota-kota besar, jika ingin mencari tahu keberadaan seseorang, cukup lihat tong sampahnya. Jika tong sampahnya penuh, artinya ada orang di dalamnya. Namun, jika tong sampahnya selalu kosong, bisa jadi orang itu jarang di rumah.

"Sampah gue kayaknya belum diambil petugas." Vanel mencoba mengingat. "Atau dia udah buang sampah?"

Vanel mendekati pintu dan memencetnya, berharap benda itu segera dibuka lalu terlihat Lucas yang baru selesai mandi. Seperti wanita itu.

Lima menit berlalu, pintu di depan Vanel tidak kunjung terbuka. Dia tidak mungkin menunggu sampai pintu ditutup. "Atau dia nggak mau nemuin gue?" gumamnya lalu meletakkan makanan itu di depan pintu.

Vanel bergerak mundur sambil menatap kantung putih yang tergeletak. "Nanti sore gue balik lagi." Dia menunjuk kotak makan itu lalu berbalik menghadap lift.

Perasaan Vanel tidak berubah meski sudah sepuluh hari berlalu. Dia masih sedih atas kejadian malam itu. Bahkan, dia sering maki-maki Lucas yang tidak kunjung menemuniya.

"Tuh orang kayaknya emang nggak ada rasa ke gue," gumam Vanel sambil menyandarkan kepala di pinggiran lift.

Tring....

Tubuh Vanel berjingkat. Dia mendongak dan menyadari lift membawanya ke lobi. Kemudain ada seseorang yang melangkah masuk.

"Ah, gue nggak sempet mencet tombol," gumam Vanel merasa bodoh.

"Gue kayak pernah lihat lo."

Vanel menoleh, menatap lelaki yang mengenakan topi hitam. Dia memiringkan kepala hingga lelaki itu melepas topinya. "Pak Nuca?" Vanel segera berdiri tegak lalu menunduk sopan. "Selamat siang, Pak."

"Siang...." Nuca menatap wanita yang memakai celana pendek dan kaus lengan panjang kebesaran. "Kamu kerja di tempat saya, kan?"

"Iya, Pak. Bagian HRD."

"Yang waktu itu pakai tongkat?" tanya Nuca sambil menatap wanita itu dan baru sadar sudah tidak mengenakan tongkatnya.

"Iya." Vanel tersenyum samar. Melihat panel lift yang tidak bergerak, dia segera menekan angka 28 dan 25. Setelah itu dia mundur dan melirik Lucas.

"Kok lo tahu gue mau ke sana?"

"Apanya?"

Nuca menggerakkan dagu ke arah tombol yang menyala. Vanel menoleh ke tombol dan barulah menyadari sesuatu. "Emm, itu...." Vanel mengusap tengkuk.

"Lo cewek yang dianter abang gue?"

"Enggak!" Vanel menggerakkan kedua tangan.

Mata Nuca memicing. Dia cukup pintar menebak ekspresi seseorang, terlebih wanita. "Ah, jadi lo yang deket sama abang gue?"

All OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang