OUT-39

574 53 6
                                    

Hari ini, lobi kantor lebih ramai dari sebelumnya. Para calon karyawan yang lolos tahap pemberkasan, diminta datang untuk seleksi wawancara. Dari ratusan orang yang melamar hanya dipilih empat puluh tujuh orang yang terdiri dari semua divisi. Sebenarnya hampir semua orang yang melamar memenuhi kriteria, tentu saja tidak mungkin mengundang semua orang itu untuk wawancara.

"Wah, udah rame." Vanel berdiri di depan pintu lobi, melihat orang-orang yang mengenakan kemeja putih dan bawahan hitam. Dia melangkah masuk tanpa memakai tongkat. Vanel merasa kakinya sudah mendingan, meski belum bisa melangkah bebas.

"Van! Konsumsinya udah, kan?"

Vanel baru mencapai aula lantai satu saat pertanyaan itu terdengar. Dia melihat beberapa orang bagian keuangan yang berada di dalam. "Sudah, Bu," jawabnya ke Bu Asmiati.

"Kok belum dateng?"

"Sebentar, akan saya hubungi." Vanel mengeluarkan ponsel dan mencari kontak toko kue yang jadi langganan kantor.

"Maaf, Bu. Nggak terlambat, kan?"

Pandangan Vanel teralih. Dia melihat dua orang yang membawa kantung besar berisi kotak roti. "Nggak apa-apa kok," ujarnya. "Bu Asmiati, konsumsinya sudah."

"Bawa, sini!" pinta Bu Asmiati.

Vanel menggerakkan tangan meminta dua orang itu masuk. Setelah itu dia mengikuti, melihat aula yang terdapat meja besar di tengah. Terlihat, Bu Falia mulai menyiapkan peralatan dibantu oleh Melati.

"Saya bantu apa, Bu?" Vanel berjalan mendekat.

"Nih, tempel di pintu depan." Jelin menyerahkan kertas dan lem ke Vanel.

Vanel melihat tulisan "ruang seleksi wawancara" yang tercetak tebal. Dia menerima benda itu lalu berbalik. Saat itulah dia melihat Sanya membawa dua buah laptop di dekapan. "Gue pikir lo telat."

"Lo kali yang telat," balas Sanya. "Kalah pagi tuh sama calon karyawan."

"Iya. Iya. Sadar gue telat."

Sanya melewati Vanel dan meletakkan laptop ke meja. Sedangkan Vanel berjalan keluar dan mulai memberi lem di setiap sudut kertas. Dia mengangkat kertas itu agak tinggi, tapi kakinya tidak bisa berjinjit. "Aduh, masa pendek gini?"

"Sebisa lo aja!"

Vanel menoleh, mendapati Ageta yang baru keluar ruangan. Dia tersenyum samar dan menempelkan kertas itu di pintu kaca. Saat menoleh, dia menyadari Ageta masih memperhatikan. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?"

"Kamu dulu adik tingkat saya, kan?"

"Ya...." Vanel mengangguk pelan.

Ageta memperhatikan Vanel yang mengenakan kemeja putih dengan ruffle di bagian depan dan rok kotak-kotak berwarna pink di atas lutut. "Ingatan saya masih tajam," ujarnya kemudian menjauh.

Pandangan Vanel tertuju ke Ageta yang berdiri di depan lift. "Ingatan gue juga masih tajam," jawabnya. "Gue inget kelakuan lo di kampus."

"Kelakuan siapa?"

"Eh...." Vanel tersentak. Dia menoleh dan mendapati Bu Asmiati. "Saya bicara sendiri, Bu."

"Bantu di dalem!"

Vanel mengangguk. Dia melewati Bu Asmiati dan menuju meja panjang yang ditempati Bu Falia. "Ck! Harus jaga mood," gumamnya ingat ucapan Ageta sebelumnya.

***

Sruuppp....

Lucas menyeduh kopi sambil pandangannya tertuju ke tablet. Dia melihat foto proses seleksi wawancara yang dikirim Saria. Dia melihat foto-foto itu hingga muncul wajah Vanel. Seketika Lucas memperbesar foto itu dan menyadari Vanel tidak mengenakan tongkat.

All OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang