OUT-9

802 56 5
                                    

"Kamu pikir saya bawa energi negatif?" Lucas seketika ingat ucapan Vanel minggu lalu. Otaknya cukup encer, jadi dengan cepat mengetahui apa yang terjadi dengan Vanel.

"Nggak gitu. Cuma...."

"... kamu percaya peramal itu?" potong Lucas sambil melepas sabuk pengaman. Dia turun dari mobil dan menatap Vanel.

"Jangan!" Vanel berteriak.

Lucas tidak peduli. Dia ingin tahu apakah dia pembawa sial atau tidak, seperti yang dituduhkan Vanel. "Sini...." Dia melangkah mendekat, tapi Vanel bergerak mundur.

"Please, Pak, saya nggak ganggu."

"Emang," jawab Lucas. "Tapi, ucapanmu ganggu pikiran saya."

Vanel bergerak mundur, masih dengan kedua tangan terulur ke depan. "Saya...."

Lucas melihat posisi Vanel yang semakin dekat dengan ujung trotoar. Dia mendekat dan wanita itu mundur. Lucas dengan cepat menggapai tangan Vanel hingga wanita itu tertarik dan membentur dadanya.

Jantung Vanel berdegup lebih cepat, merasa hampir terjatuh. Untungnya ada tangan tangan yang menariknya. Sekarang, bukannya lega tapi jantung Vanel kian berdegup cepat. Tentu saja karena menyadari tengah berada di pelukan Lucas.

"Kamu yang ceroboh," bisik Lucas. "Bukan saya yang pembawa sial." Perlahan dia mengurai pelukan dan menatap Vanel yang terdiam.

Vanel masih mencoba mencerna apa yang terjadi. Andai refleks Lucas tidak cepat, sudah pasti dia terjatuh. "Makasih sudah nolongin."

"Kalau dipikir, saya bukan pembawa energi negatif," ujar Lucas. "Buktinya saya nolong kamu. Ya, kan?"

"Pak, saya nggak ada maksud." Vanel menggeleng pelan. "Saya konsultasi ke peramal, katanya ada aura negatif yang deketin saya."

"Terus, kebetulan ada saya dan ada insiden?"

"Hehehe...."

Lucas tidak habis pikir dengan pemikiran dangkal Vanel. Dia menjentik kening wanita itu lalu bertolak pinggang. "Padahal, seleksi di kantor tekat. Kenapa orang bodoh ini lolos?"

"Saya nggak bodoh, ya!" jawab Vanel sambil memegang keningnya yang terasa panas. "Saya pintar, tahu. Mau tahu nilai rapot saya?"

"Terus, kenapa kamu percaya omongan yang belum tentu benar?"

Vanel tersenyum kecut. "Kadang, omongan seseorang bisa nenangin kita."

"Berarti kamu nggak cukup pintar mengendalikan diri."

"Harus saya akui memang iya," aku Vanel.

Lucas menahan tawa. Wanita di depannya terlihat tidak jaim dan polos. Lucas menurunkan tangannya lalu mundur selangkah. Dia memperhatikan Vanel yang mengenakan rok terusan krem dengan heels berwarna senada. "Kamu juga habis nari-nari kayak orang gila," ujarnya. "Bukti nggak bisa mengendalikan diri."

"Saya lagi bahagia!" Vanel mengerjab tidak percaya. "Kenapa, sih, tiap saya bahagia ada aja orang nyebelin?"

"Kamu ngatain saya nyebelin?"

"Kenyataannya memang kayak gitu."

Lucas hendak menjentik kening Vanel, tapi wanita itu dengan cepat berkelit. "Saya tetap bos kamu."

"Sekarang kita lagi di luar jam kerja," jawab Vanel lalu menjulurkan lidah. "Selamat malam." Dia membungkuk lalu melanjutkan langkah.

"Saya belum selesai ngomong!"

Vanel melambaikan tangan tanpa repot-repot menoleh. Dia mencoba melupakan pertemuannya dengan Lucas dan membayangkan momen romantisnya bersama Ando. Sebenarnya tidak bisa dibilang romantis, karena mereka hanya menonton dan makan. Namun, bagi Vanel romantis karena sejak tadi Ando menggenggam tangannya. Lelaki itu juga tidak sibuk dengan ponsel dan terus memperhatikannya.

All OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang