OUT-54

589 53 12
                                    

Mobil putih itu perlahan maju, membawa Vanel menuju rumah neneknya. Sanya yang berdiri di lobi, menatap mobil itu dengan mata berkaca-kaca. Sepuluh menit sebelumnya dia memberi tahu Bu Asmiati. Wanita itu meminta Vanel pulang, bahkan memesankan kendaraan.

"Gue ikut sedih," gumam Sanya sambil berbalik. Dia ingat saat mengobrol dengan Papa Vanel. Lelaki itu homoris dan penyayang. Dia merasa Vanel beruntung memilih papa yang seperti itu.

Sanya berdiri di depan lift dan terpikir untuk menemui Vanel, tanpa peduli dengan pekerjaannya. Namun, Bu Asmiati belum mengizinkannya. Wanita itu mencoba mendapat izin dari atasan, sebelum akhirnya menemui Vanel.

"Gue harus ngasih tahu Pak Lucas!" Sanya seketika ingat dengan lelaki itu. Menurutnya dia akan segera mendapat izin. Seketika Sanya memencet  lift dan menekan tombol lima. Benda itu seketika terbuka dan Sanya segera masuk.

Begitu sampai di lantai lima, Sanya merasa suasana cukup hening. Para karyawan sudah kembali istirahat dan tampak fokus dengan pekerjaannya. Lantas, Sanya menuju ruangan Pak Lucas dan tidak mendapati Saria.

Tok... Tok... Tok....

Sanya nekat mengetuk pintu kayu itu. Ketika tidak kunjung mendapat tanggapan, dia membuka pintu dengan pelan. Sanya mengintip dari celah pintu, melihat Lucas yang sibuk dengan berkas di depannya. "Maaf, Pak, saya lancang."

Tubuh Lucas berjingkat. Dia menatap seorang wanita dengan terusan krem itu berjalan masuk. "Ada apa?"

"Saya rasa Pak Lucas perlu tahu ini," ujar Sanya. "Papa Vanel meninggal."

Lucas seketika berdiri. "Om Faruk?"

"Iya, Pak. Jam dua belas tadi."

"Terus, Vanel?" Lucas mengambil kunci mobil dan berjalan keluar.

Sanya segera mengikuti. "Vanel sudah izin pulang, Pak."

"Ke Samarinda?"

"Tidak. Jenazah dimakamkan di Jakarta," jawab Sanya. "Di makam keluarga orangtua Pak Faruk."

"Kamu tahu alamatnya?"

"Tahu, Pak."

"Mana?"

Sanya seketika berlari menuju meja sekretaris Lucas. Dia mengambil sticky notes berbentuk kepala panda dan menulis alamat yang tadi diberi tahu Vanel. Setelah itu dia berlari dan menyerahkan ke Lucas. "Itu, Pak."

Lucas membaca alamat yang tertera. "Makasih."

"Pak, saya boleh izin ikut?" tanya Sanya hati-hati. "Vanel nggak punya temen deket lain. Yah, meski ada keluarganya. Tapi, kan...."

"... boleh," potong Lucas lalu menuju lift.

Sanya mengusap dada. "Baik, Pak."

Beberapa menit kemudian, Lucas mengemudikan mobilnya. Rasa sedih dan khawatir itu muncul menjadi satu. Lucas ingat, pertemuannya dengan Om Faruk sebulan lalu. Tidak disangka, itu menjadi pertemuan terakhir mereka.

"Bahkan, saya belum nepatin janji, Om," gumam Lucas ingat akan berkunjung ke rumah Om Faruk. "Andai saya tahu...." Bibir Lucas bergetar.

Pikiran Lucas juga mulai penuh dengan setiap ucapan Om Faruk malam itu. Wajahnya terlihat gelisah dan ketakutan. Apa mungkin saat itu dia sudah merasa akan meninggalkan Vanel? Lucas tanpa sadar mencengkeram kemudi.

"Saya juga belum bisa nepatin janji yang itu, Om!" gumam Lucas merasa payah. Dia memukul kepala dengan tangan kiri, heran dengan dirinya sendiri yang tidak bisa diandalkan.

Lucas mencoba tenang, meski perasaan yang membelenggu tetap menguasai. Dia terbayang Vanel. Wanita itu pasti terpukul. Om Faruk begitu menyayangi Vanel. Sekarang, lelaki itu meninggalkan anak kesayangannya.

All OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang