OUT-31

645 58 10
                                    

Bip....

Mobil berwarna silver itu menyala. Lucas berjalan menuju mobil yang cukup lama tidak dipakai dan hanya berada di basement apartemen. Dia berjalan sambil membenarkan tas yang tersampir di pundak lalu masuk mobil.

Bugh....

Lucas meletakkan tas di bangku penumpang lalu menutup pintu. Dia terdiam, rasanya ada yang kosong bermain tenis sendiri. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah melakukan itu.

"Ck! Gue berharap, tuh, cewek dateng?" geram Lucas seraya mengambil ponsel di kantung samping tas. Dia menyalakan benda itu dan melihat notifikasi panggilan tidak terjawab. "Dia telepon?"

Vanela.

Lucas menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel di telinga. Dia memakai sabuk pengaman sambil menunggu panggilannya dijawab. "Nggak mungkin, kan, lo ke sini sekarang?" Lucas ingat Vanel suka terlambat.

"Halo, Pak."

Tubuh Lucas berjingkat mendengar suara yang terdengar berbeda. "Ya, halo. Ini nomor Vanel, kan?"

"Kaki Vanel terkilir, Pak. Saya harus telepon ambulan. Sebentar."

"Bentar... Bentar," cegah Lucas. "Terkilir? Bisa kamu kirim alamatnya ke saya?"

Tut... Sambungan terputus.

Lucas menjauhkan ponsel menunggu pesan dari Vanel. Dia mendengar suara wanita tadi begitu panik. Sepertinya mereka sedang tidak bercanda.

Drttt....

Vanela: Share location.

Vanela: Saya bawa ke klinik terdekat.

"Awas kalau lo bohongin gue." Lucas meletakkan ponsel di dashboard lalu melajukan kendaraannya. Rasa gelisah itu tiba-tiba muncul, khawatir terjadi sesuatu dengan Vanel.

"Kakinya terkilir?" gumam Lucas ingat pembicaraan sebelumnya. "Ck! Lo ceroboh banget, sih. Heran!" Dia menambah kecepatan mobilnya menuju ke lokasi Vanel.

Tenggorokan Lucas tercekat. Dia selalu takut jika ada yang menelepon dan memberinya kabar buruk. Sekujur tubuhnya tiba-tiba terasa lemas. Bahkan, sekarang dia berusaha bertahan untuk mengendalikan kendaraan. Meski, tangannya mulai bergetar.

***

Vanel berbaring di brankar dengan seorang suster yang sedang memakaikan kain pembebat. Sepuluh menit yang lalu dia diantar Sanya dan pegawai restoran yang membantu. Vanel sangat kesakitan dan tidak bisa menggerakkan kakinya dengan bebas. Terlebih, ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa.

Ando.

Sungguh, Vanel masih tidak habis pikir dengan tingkah lelaki itu. Ando ternyata sebrengsek itu. Dia membuang waktu tiga tahunnya bersama lelaki pembual. Andai Vanel menemukan lelaki yang tepat, mungkin sekarang sudah mempersiapkan pernikahan. Bisa jadi seperti itu.

"Sudah, Bu."

Lamunan singkat Vanel terputus. Dia menatap suster muda itu lalu melirik kaki kirinya yang terdapat kain cokelat. Perlahan Vanel bangkit dan mencoba menurunkan kakinya. "Aww...." Dia merintih merasakan rasa nyeri yang menjalar hingga ke keseluruhan kaki.

"Pelan-pelan, Bu. Mari saya bantu." Suster itu mendekat dan membantu Vanel turun.

"Bentar...." Vanel berdiri dengan kaki menggantung. Dia mengacak rambut. Mengapa dia sangat apes? Harusnya, Ando yang merasakan sakit.

"Vanel!"

Vanel menoleh mendengar seruan berat itu. Dia menoleh, mendapati lelaki dengan kaus panjang berwarna putih. Vanel segera membuang muka sambil menutup sisi wajahnya.

All OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang