Langit semakin pekat. Menandakan hari yang tengah larut malam. Sesuai intruksi, bahwa semuanya harus sudah tidur dan tak boleh ada yang bersuara. Terdengar dengkuran kecil dari sebelah Alesha ditambah dinginnya lantai yang membuat Alesha masih terjaga sampai sekarang. Bahkan masih terngiang di pikirannya tentang omongan Beril tadi.
"Pokoknya jangan sampai lo ketiduran. Kalau disuruh tidur yaudah pura-pura tidur aja."
Alesha mengernyitkan dahi bingung seolah bertanya-tanya. "Emangnya kenapa ril?"
"Soalnya se pengalaman kakak kelas gue. Orang kalau tidur kan pastinya linglung. Ditambah gelap lampu dimatiin. Lah itu kesempatan buat panitia untuk nuker anggotanya. Entah lo mau disingkiriin kemana kek. Pokoknya berabe deh urusannya."
Mendengar pemaparan Beril, membuat Alesha melotot sambil menelan salivanya.
Berbanding terbalik dengan Alesha, kini Beril dengan tampang tak berdosanya sudah terlampau jauh menyusuri alam mimpi. Padahal Beril sendiri yang mewanti-wanti sebelumnya.
Sekitar lima menitan Alesha sudah tidak bisa menahan kantuk yang menyerangnya.
WIUW WIUW WIUWW
GUBRAK!!Terdengar suara nyaring, yang Alesha yakini kalau itu adalah suara sirine. Bebarengan dengan sirine, juga diiringi dengan pintu yang didobrak paksa. Membuat semua penghuni ruangan bangun dan terlonjak kaget.
"BAANGUUNN. CEPEETTT. HITUNGAN 3 DETIK. KALIAN GAK KEMAS BARANG KALIAN. RESIKO TANGGUNG SENDIRI. SATU, DUA, TIGA. JANGAN SAMPAI PISAH DENGAN KELOMPOKNYA. "
Dengan teriakan toak yang cukup memekik telinga. Semua anggota kelimpungan mencari barang bawaannya. Takut tertukar. Bener kata Beril, bahwa tempat ini bener-bener gelap. Tidak ada penerang sama sekali, kecuali cuma satu senter yang sedikit redup yang di bawa oleh panitia. Alesha bernafas lega, untungnya tadi dia sudah meletakkan barangnya, tepat di samping ia berbaring. Jadi tak membutuhkan waktu lama untuk pindah.
Kini, setiap kelompok dipencar berada di tempat yang berbeda. Walaupun begitu, masih dalam lingkup sekolah cuma beda kelas. Seketika ruangan terasa horor. Nuansa kelas yang lama tak ditempati. Belum lagi, lokasi mereka sekarang berada di gedung paling pojok dekat kebun yang tak terpakai. Wajah panitia yang melotot tajam ke regu Alesha seakan hendak menerkamnya. Alesha hanya melengos, menyadari nyawanya yang baru sedikit terkumpul.
Lama bergeming, akhirnya seorang perempuan dengan raut wajahnya yang judes membuka suara "Keluarin barang bawaan kalian."
"Pertama, lilin. Ada?"Tanyanya sedikit ketus.
"Ada kak." Jawab Alesha dn regunya serentak.
"Stev, Nov cobak kalian periksa." Seru perempuan tadi pada teman sebayanya.
"Ehem." Terdengar suara deheman dari arah pintu. Semakin mendekat semakin jelas bahwa itu memang benar manusia. Kaos PMR dengan lengan yang sedikit ditekuk. Ditambah kacamata yang menangkring di hidung mancungnya membuat siapa saja terpanah kala melihatnya. Namun tidak dengan Alesha. Gadis itu hanya melirik singkat dan kembali menatap barang bawaannya.
'Ngapain orang ini. Nyasar kali ya.' Pikir Alesha dalam hati.
"Gimana aman?" Tanya laki-laki itu pada panitia lain.
"Belum ini masih mulai periksa kak." Jawab wanita dengan rambut sebahu.
"Biar gue aja. Kasih gue kertas tentang kelengkapan barangnya." Tukas laki-laki itu. Seolah paham, panitia cewek tadi kembali ke posisi asal dan memberinya selembar kertas yang berisi ketentuan barang bawaan anggota PMR.
"Taruh lilin, korek, senter, sama sarimi isi 2 di depan meja kalian masing-masing. Cepetan!!" Bentaknya laki-laki itu. Alesha mencebik kesal, baru saja datang bikin ulah.
Satu per satu diperiksa. Alesha merasa aman karena ia rasa sudah melengkapi semuanya. Namun, pandangan tidak enak beralih kepadanya.
"Kalian ngrasa nggak kalo barang bawaan kalian ada yang salah." Tanya laki-laki itu sambil senyum mengejek.
"Enggak kak" Jawab seribu kompak. Sementara laki-laki tadi hanya tersenyum kecut.
"Kayak gini kamu bilang bener, hah? Kamu gak bisa baca atau gimana. Jelas-jelas ini yang dicat bagian bawah. Tapi yang kamu cat atas." Jerit laki-laki itu di depan Alesha sambil mengambil lilin di hadapannya. Air di pelupuk mata Alesha hampir saja mencelos jatuh. Ia paling benci jika ada orang yang membentaknya. Apalagi notabenya mereka adalah orang asing, yang gak punya hak sama sekali buat ngebentak dia.
Alesha baru menyadari akan kesalahannya. Lilin putih dicat merah bagian bawah. Namun, Alesha melakukannya terbalik. Tapi apakah pantas ia harus dibentak seperti ini.
Tangan Alesha mengepal sambil meremas kuat ujung baju olahraganya. Pasca sholat maghrib tadi dijadwalkan ganti baju olahraga, alhasil seragamnya tadi ia simpan di tas ranselnya. Sekarang pikiran Alesha benar-benar kalut, antara malu dengan memendam tangis. Ia rasanya ingin mencekik leher laki-laki itu sampai uratnya putus sekalian.
Lanjut laki-laki itu menoleh sedikit kepada panitia perempuan yang ada di belakangnya. "Enaknya kasih hukuman apa nih"
"Bersihin toilet aja kak. Salah sendiri gak teliti." Tukas panitia.
"Oiya kak. Kita belum geledah tasnya loh. Jangan-jangan ada sesuatu tuh." Balas panitia perempuan dengan nametag Cindy.
Situasi semakin memanas. Alesha hanya menatap pasrah tas nya yang tengah diobrak-abrik. Tepat di bagian bawah tas. Bungkusan kantung kresek hitam ditemukan. Alesha mengisyaratkan agar tidak membukanya. Pasalnya, isi dari kresek itu yaitu daleman dan pembalut. Ia sengaja menaruh di tas untuk jaga-jaga kalau datang bulan melanda. Tidak tahunya akan dicek seperti ini.
Seakan tahu, perempuan berambut pendek itu pun kembali menaruh kresek itu. Seperkian menit menggeledah. Akhirnya ada yang bawa parfum, skincare rutin bahkan lengkap dengan toner serum. Alesha bawa sabun cuci muka.
"Siapa yang suruh bawa ini?" Tanya lelaki itu dengan tangan yang memegang separuh barang larangan tadi.
"Tapi tadi kakak pendampingnya bilang gapapa kok kak bawa sabun.", Jelas Alesha dengan suara sedikit serak.
"Siapa kakak pendampingnya? Sini maju." Terlihat wajah lelaki senior itu memerah. Matanya menelisik tajam panitia di sekitarnya.
"Saya kak. Tapi saya nggak bilang gitu. Kamu jangan ngarang ya." Apa yang dijelaskan wanita itu berbanding terbalik dengan faktanya. Jelas-jelas tadi siang, saat Alesha menanyakan via chat bilang boleh.
"Saya ada buktinya kok kak. Di HP. Saya ambil sekarang, boleh?" Tanya Alesha sedikit geram.
"Gak gausah. Alesan aja kamu."
Terlihat jelas raut marah di wajah lelaki itu. Ia mengacak rambutnya frustasi. "Panitia susah payah buat aturan. Kalian seenaknya langgar."
BRAK... Tanpa aba-aba pukulan itu melayang ke meja.
"Dan kamu, perasaan dari tadi yang bikin ulah." Sambung lelaki itu sambil menunjuk Alesha.
Mata Alesha mulai mengabur. Air mata yang ditahan sedari tadi, akhirnya jatuh. Dadanya terasa sesak dipermalukan seperti ini. Ia pun tidak tuli, dengan omongan pelan pun paham.
Mendengar isakan kecil Alesha, membuat lelaki itu memutar bola mata jengah "Gausah nangis, cengeng."
"Daf Dafi sini bentar." Teriak lelaki dari seberang pintu yang nampaknya begitu serius.
Dengan raut tanpa bersalah, Dafi melangkahkan kaki melewati Alesha yang masih terisak.
Assalamu'alaikum
Gimana nih gaiss🥺 emang kurang ajar si Dafi...
Menurut kalian part manaa yg paling greget?
Komen "next" Biar author semangat buat cepet² update next part🙌
jgn lupa vote. Miss you all😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Move On [END]
Teen Fiction⚠️ Siap-siap cerita ini mengandung bawang. Harap baca urut, biar paham alurnya !! Baca sampai tuntas. Sampai kalian nemuin part terindah yang bikin gagal move on😍 **** Jika aku tahu, kebahagiaan ini hanya sebatas singgah. Maka, lebih baik aku tidak...