Dilarang keras untuk plagiat !! Kalau pengen plagiat. Sepertinya salah lapak. Penulis masih amatir.
Warning⚠️ Berani plagiat berati berani tanggung resikonya nanti di akhirat. Penulis tidak ridho !
***
Sehari setelah menginap di Bandung. Alesha menghampiri sebuah cafe kecil di pinggir jalan. Saat telfon kemarin lusa, ia dan Vani sepakat untuk bertemu. Sekolah Alesha memang libur sabtu minggu. Jadi ya jangkap 5 hari, 3 harinya ia izin cuti ke Bandung kemarin.
Alesha lebih dulu memesan minuman dingin karena haus. Sesekali ia menyesapnya. Menunggu Vani yang tak kunjung datang membuatnya cemas. Ah, mungkin saja macet.
"Sha" Lambaian tangan dari pintu membuat Alesha menoleh. Ia menginstruksikan agar Vani segera menghampirinya.
Vani menarik kursi dan mendudukkan dirinya di hadapan Alesha. "Maaf ya tadi ban gue bocor."
"Gak dianter?"
"Enggak, gue pingin nyepeda biar kena angin. Bosen di rumah."
Alesha mengangguk, membulatkan mulutnya seperti huruf O.
Waiters datang menghampiri meja mereka. Membawa beberapa cemilan hangat yang tersaji di 8 piring dan 4 gelas minuman yang isinya es semua. Mata Alesha terbelalak, ini cuma nitip naruh atau memang sahabatnya yang pesan. Tak lama, waiters itu pergi.
"Van ini semua lo yang pesen?"
Hembusan nafas berat keluar dari hidung Vani.
"Ya iya. Kalo pesenan orang ngapain taruh sini Sha. Lola lo masih suka kambuh ternyata.""Gila. Mau kondangan lo? Ya kali perut lo yang seupil itu ngabisin." Jangan lupakan Alesha, yang kalo ngomong suka blak-blakan.
"Gue habis ini mau cerita panjang kali lebar. Jadi butuh asupan extra biar gak lemes."
"Ck ck ck sultan mah beda. Awas aja sampek nggak habis. Mubadzir tau." Alesha mulai menggerutu.
"Ssttt tenang kan ada lo. Kalo nggak habis, ya lo yg harus ngabisin." Jawab Vani dengan santainya. Bisa-bisanya sahabatnya itu.
Alesha diam memerhatikan Vani yang melahap makanan sebanyak 2 piring. Aktivitas itu terhenti. Vani mengelap ujung bibirnya dengan tisu dan beralih menatap Alesha.
"Sha, gue udah putus." Jelas Vani dengan mata sayu.
Alesha tak berniat untuk memotongnya, ia memilih mendengarkan sampai Vani selesai. Ia juga sebetulnya ragu, wejangan seperti apa yang harus diberikan untuk menghibur sahabatnya itu. Mengingat dalam kamusnya tidak ada yang namanya pacaran sebelum akad.
Tetapi jika Alesha menceramahinya sekarang, yang ada bukannya didengerin tetapi diacuhkan. Ia akan tunggu emosi Vani membaik.
"Gue lihat Gavin boncengan sama cewek lain. Gu-gue masih gak percaya Sha. Bahkan hubungan kita baru dimulai beberapa hari belum genap seminggu tapi dia udah giniin gue." Vani menunduk. Ia mencoba menyembunyikan air mata yang dipendamnya sedari tadi. Tapi sepertinya Alesha sudah melihatnya.
Alesha menggenggam erat tangan sabahatnya sambil tersenyum hangat. Ia tidak mendukung Vani, tidak pula ingin memojokkan.
"Van lo udah temenan sama Gavin lama. Dan gue yakin pasti lo udah faham semua tentangnya. Lo udah minta penjelasan dia?" Tanya Alesha hati-hati. Vani menggeleng.
"Gue udah blok nomernya Sha sehari setelah putus hiks."
Alesha menatap iba sahabatnya. Suatu hal yang mengingatkannya pada hari di mana Vani ditembak. Perasaannya saat itu benar-benar sakit ditambah bully an yang dilontarkan orang-orang di sekolah yang membuat mentalnya bertambah down. Ia tidak akan setega itu membiarkan Vani jatuh sendirian.
"Bicarain baik-baik Van. Siapa tahu cuma salah faham. Bukankah sebaik-baik orang adalah yang mampu memaafkan?"
"Tapi nggak sekarang Sha. Gue masih kesel. Hati gue masih sakit. Gue minta maaf Sha. Gue gaada disaat lo terpuruk. Justru gue terlena dengan cinta di hati gue. Sampai gue gak sadar kecemburuan gue nyakitin hati lo. Mungkin ini karma buat gue hiks." Terang Vani sambil menangis tersedu-sedu menyadari kegoblokannya.
"Gue udah maafin lo Van. Udah ya jangan nangis. Ingus lo makin meler nanti." Di awal memang tampak serius. Tetapi embel-embel akhir ituloh yang bikin gregetan.
Vani menatap tajam Alesha. Jadi daritadi ngomong panjang lebar, Alesha cuma fokus pada ingusnya?
"Eh eh bukan-bukan. Ingus lo padat kok gak jadi meler." Ralat Alesha. Ia menutup cepat mulutnya. Sebenarnya bukan itu yang ingin Alesha katakan. Tetapi malah itu yang keluar dari bibirnya. Alamat kena semprot Vani kalo gini mah.
"ALESHAAA" Pekik Vani yang membuat semua pelanggan resto menutup telinga rapat-rapat.
****
Balapan motor bukan lagi hal yang asing di jaman sekarang. Tak peduli nyawa mereka yang menjadi taruhannya. Tak banyak pemudi yang melakukan ini hanya karena ingin tenar. Disegani dan diidam-idamkan banyak orang. Namun, ketenaran didapat dengan cara yang salah.
Kini, seorang pria berjaket kulit dengan perpaduan celana jeans sudah siap memegang alih sepeda besarnya. Sorot matanya menatap lawan tajam. Di balik helmnya sesekali ia tersenyum sinis meremehkan.
Kepulan asap mewarnai lingkaran area balap. Pertanda balapan akan segera dimulai. Malam yang gelap seketika ramai akan sorak-sorakan dan derup motor yang saling sahut-menyahut.
Semenjak putus dengan Vani, pikiran Gavin benar-benar kalut. Ia seakan hilang kendali. Tiap hari uring-uringan tidak jelas. Yaps, orang itu adalah Gavin. Bukan ketenaran yang ingin ia dapatkan melainkan kepuasan.
Wanita dengan rok selutut berdiri di tengah-tengah motor Gavin dan lawan. Kedua tangannya memegang bendera khas balapan. Hitungan pun dimulai.
SATU...
DUA...
TIGA...GO!!
Setelah aba-aba selesai, kedua motor itu melesat kencang membelah arus jalanan. Tak jarang lawannya itu bermain curang. Namun, dengan kelihaian Gavin memainkan stir motornya. Ia mampu membalap jauh lawannya. Mendekati garis finish, jarak keduanya imbang. Tapi tetap Gavin pemenangnya karena si lawan sempat kewalahan dan terperosot jalanan yang licin.
"Gue menang." Ucap Gavin dengan senyum datar.
"Cih jangan senang dulu."
Gavin mengangkat bahunya acuh.
"Terserah. Sekarang gue mau lo tepatin janji lo. Gue harap lo laki jantan yang nggak ingkar janji.""Gak usah diperjelas. Nih." Laki-laki itu melempar kasar kunci motornya ke arah Gavin.
Memang sedari awal perjanjian, salah satu dari keduanya yang kalah harus merelakan motor kesayangannya. Dan Gavin rasa ia sudah berhak atas motor lawannya itu.
"Cup cup cup jangan nangis. Gue rasa lo perlu belajar sedikit lagi biar nggak nyosop kayak tadi Bro. Atau lo mau les privat sama gue? Oh enggak dulu deh. Kayaknya ada yang lebih penting daripada itu." Gavin menepuk bahu lawannya dan berangsur pergi.
Baru akan memasang helm. Terdengar suara sirine polisi. Mereka yang ada di sana kalang kabut berlari ketakutan. Bahkan, ada yang sudah menancap gas pergi.
Gavin bertindak cepat menyalakan mesin motornya. Dia sangat malas berurusan dengan polisi menimang konsekuensi yang akan didapat dari kegiatan ilegal ini. Alhasil sekarang terjadi acara kejar-kejaran antara Gavin dan aparat kepolisian. Ia terus memacu kendaraannya ketika mendengar suara sirine yang semakin nyaring di telinganya.
Gavin sedikit lega merasa dialah yang paling tercepat meninggalkan mobil polisi tadi. Namun, sepertinya keberuntungan kali ini tidak berpihak dengannya. Sialnya, motor tiba-tiba terhenti di tengah jalan. Ternyata ia lupa isi bensin sebelum berangkat.
"Arrghhh kenapa harus di saat seperti ini sih." Makinya kesal.
***
Siap-siap dijadiin perkedel sama pak pol Vin😌 author gak nakut-nakutin cuma ngingetin kok wkwk
Mau lanjut? Sempetin Vote & Komen ya gaiss. Vote kalian berharga banget🍭
Salam dari pemain AIMO🤗
Bye Bye🖐
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Move On [END]
Teen Fiction⚠️ Siap-siap cerita ini mengandung bawang. Harap baca urut, biar paham alurnya !! Baca sampai tuntas. Sampai kalian nemuin part terindah yang bikin gagal move on😍 **** Jika aku tahu, kebahagiaan ini hanya sebatas singgah. Maka, lebih baik aku tidak...