24. Meninggal

71 30 0
                                    

Dilarang keras untuk plagiat !! Kalau pengen plagiat. Sepertinya salah lapak. Penulis masih amatir.

Warning⚠️ Berani plagiat berati berani tanggung resikonya nanti di akhirat. Penulis tidak ridho !

***

Alesha memasuki ruang inap Gavin. Pak Fahri menyuruhnya masuk. Mendengar suara Alesha, Gavin menoleh dan memanggilnya.
"Sha"

Alesha mengambil kursi duduk di samping brankar. "Iya aku di sini Gav."

"Daritadi aku berjuang bernafas hanya untuk kamu. Tapi sekarang aku gabisa lihat apa-apa. Bahkan kamu sekalipun." Ucap Gavin seraya tersenyum lembut. Kata-kata yang begitu tulus. Tapi mampu mencabik hati Alesha.

Alesha tak sanggup lagi. Gavin yang ia kenal kuat bisa serapuh ini.
"Vin kamu sabar yah. Aku yakin suatu saat kamu bisa lihat lagi kok."

"Kamu begitu berharga sampai-sampai Allah gak ngizinin aku buat melihat kamu lagi. Meski sekarang aku gabisa lihat. Tapi kenangan tentang kamu selalu aku simpan rapat dalam hatiku. Makasih telah hadir. Apa kamu mencintai aku seperti aku mencintaimu?"

"Bahkan mungkin aku yang lebih dulu mencintai kamu Vin." Balas Alesha.

"Kamu pengen lihat aku bahagia kan?"

Alesha mengangguk, meski tahu Gavin tak bisa melihatnya.
"Tentu."

"Menikahlah dengan orang yang bisa memberikanmu kebahagiaan. Jangan dengan aku yang hanya memberi beban."

Hati Alesha mencelos sakit. Air matanya luruh.
"Enggak. Bahagiaku cuma sama kamu Vin dan kamu bukan beban buatku hiks."

"Anggap ini permintaan terakhirku Sha. Kenangan indah kita sudah usai. Aku pamit."

Deg

"Jangan ngomong gitu Gav. Kamu bisa sembuh, pasti." Alesha mencoba menepis pikiran buruknya.

"Sudah waktunya Sha."

Alesha menggelengkan kepalanya.
"Enggak Vin. KAMU NGOMONG APA HIKS."

"Sha izinin aku tidur ya. Aku capek. Aku kangen mama. Ikhlasin aku ya." Ucap Gavin pelan. Rasa sakit di kepalanya semakin menjalar.

"ENGGAK VIN ENGGAK HIKS. PLIS JANGAN TINGGALIN AKU HIKS. OM BILANG SAMA GAVIN DIA PASTI SEMBUH." Teriak Alesha. Ia menangis tersedu mencengkeram ujung ranjang. Hatinya begitu sakit.

Fahri bungkam ia tak bisa apa-apa. Saat sudah siuman, Gavin tak banyak bicara. Bahkan tak memberontak sekalipun saat tahu kondisinya tak bisa melihat lagi. Ia paham betapa hancur putranya saat ini. Berulang kali Gavin mengatakan capek. Ia bertanya kepada Gavin bagian mana nya sakit tetapi putranya malah menyuruhnya mengikhlaskannya. Seketika itu pula ia paham arah pembicaraan putranya.

"Asyhadu an Laa ilaaha illallah." Ucap Gavin lancar. Seiring dengan hembusan nafasnya yang terakhir. Matanya menutup sempurna membuat Alesha mengeraskan tangisnya.

"Innalillahi wainnailaihi roji'un." Fahri yang berdiri di samping Alesha ikut menangis.

"Eng-enggak om. Ga-Gavin masih hidup. Dia gak mungkin tinggalin aku. Dia janji mau nikahin aku." Lirih Alesha. Matanya buram. Setelah itu ia tak tahu apa yang terjadi. Tubuhnya limbung ia pingsan.

***

Alesha merasakan berat di kepalanya. Ia menatap sekitar. Cuma ada Bilqis dan Eijaz yang tertidur di sofa rumah sakit. Ia mencoba mengingat kejadian apa yang bisa membuatnya terbaring di sini. Gavin, pikirannya kembali tertuju pada Gavin. Ia masih harap semua ini hanya mimpi.

"Gav hiks. Aku harus ke ruangan Gavin sekarang." Alesha mencoba menurunkan kakinya ke lantai. Namun tubuhnya yang lemas membuatnya jatuh terkulai di lantai.

Bruk

Bilqis dan Eijaz langsung terkesiap mencari sumber suara.
"Sha alhamdulillah kamu udah sadar. Kamu mau kemana nak?"

"Alesha mau ke ruangan Gavin. Dia sekarang pasti sudah sadar. Tadi dia pingsan Bu."

"Istighfar nak. Gavin udah gak ada. Kamu harus ikhlas."

"Enggak gak mungkin. Dia nggak mungkin ingkar janji. Seminggu lagi kita akan nikah." Tekan Alesha.

"Tapi kenyataannya dia udah gak ada nak. Sejam lalu ia sudah dimakamkan." Benar, sejam lalu Gavin sudah diurus pihak rumah sakit dan dimakamkan. Alesha pingsan 5 jam lamanya. Mereka tak menunggu Alesha sadar. Takut Alesha kembali histeris.

"IBU JANGAN IKUT-IKUTAN GAVIN. DIA CUMA NGEPRANK. DIA MASIH HIDUP. ALESHA AKAN KE SANA SEKARANG." Tukas Alesha ia mencoba melepaskan tangan Bilqis. Ia mencoba berontak. Namun nyatanya kekuatannya tak sebesar ibu dan kakaknya.

"SHA CUKUP. JANGAN KERAS KEPALA." Bentak Eijaz. Ia mengusap kasar wajahnya. Kemudian merengkuh tubuh Alesha dalam pelukannya. Ia tak pernah melihat Alesha menangis. Adiknya memang paling anti menceritakan lukanya kepada siapapun.

"Lepas kak lepasin Alesha." Ucap Alesha. Suaranya hampir habis. Ia memukul dada Eijaz tapi nihil kekuatannya kembali habis. Ia pingsan lagi.

***

Istimewanya seorang Dafi, meskipun bukan keluarga Kyai. Tetapi ia diizinkan masuk ke 'ndalem'. Ia memang ada perlu mengerjakan tugas kuliah dan mengambil ponselnya. Sekarang ia berada di kamar gus Hisyam. Anak dari Pak kyai yang umurnya sepantaran dengan Dafi.

"Alhamdulillah selesai." Hembusan nafas lega keluar dari mulut Dafi. Ia menutup kembali buku nya.

"Cepet banget Daf." Timpal Gus Hisyam yang duduk membaca kitab di sampingnya.

"Hehe iya alhamdulillah." Dafi hanya menimpali dengan senyum.

"Nanti mau ikut nggak?"

"Kemana Syam?" Bukannya tidak sopan tapi Gus Hisyam sendiri yang memintanya untuk memanggil nama tanpa embel-embel 'gus'. Katanya biar akrab.

"Kebetulan nanti malam ada acara tausiyah di kampung sebelah. Saya yang jadi pengisi nya. Barangkali mau ikut biar gak suntuk mikir tugas mulu."

"Oke boleh deh. In Syaa Allah saya usahain datang."

***

Pukul delapan, Dafi sudah rapi. Ia mengarahkan kakinya ke 'ndalem' untuk menunggu Gus Hisyam. Tapi yang ditunggu ternyata sudah muncul duluan. Tak lupa dengan senyum yang terus terpatri di wajah tampannya.

"Daf mari berangkat sekarang."

"Iya."

Mereka berangkat berboncengan dengan menggunakan motor. Dafi lah yang menyetir. Sesampainya di sana, ternyata sudah ramai orang. Bahkan tak sedikit yang menyoraki nama Gus Hisyam. Memang pantas, siapa yang tidak kesemsem dengan ustadz muda yang tampan. Belum lagi, pembawaan ceramahnya yang enak dan tidak membosankan.

"Mari ikut saya." Ucap seorang paruh baya mengarahkan kami ke rumah seseorang.

"Iya Pak."

Gus Hisyam tidak langsung naik ke panggung karena menunggu instruksi dari pembawa acara. Sekarang masih tahap pembukaan dibuka oleh vokalis hadroh.

"Silahkan mas." Beberapa pemuda menjamu Gus Hisyam dan Dafi dengan beberapa makanan dan minuman.

"Gak rugi ikut ke sini. Anak-anakku pasti seneng banget" Batin Dafi. Air liurnya rasanya mau netes. Anak-anak di sini adalah sebutan khusus untuk cacing-cacing perutnya yang sudah berdemo ria.

***

Hiks tinggal H-seminggu nikah malah meninggoy😭😭

Bakalan gamon bgt sama Gavin. Aaaa masih gak rela gak sih

Aku Ingin Move On [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang