"Gila!" Berlian menginjak kaki Arlo kemudian mendorong keras tubuh tegap pria itu hingga mundur beberapa langkah.
Dengan raut tak bersalahnya pria itu malah mengedikkan bahunya tak acuh kemudian berjalan ke kursi dekat taman dan duduk disana.
"Lo bar-bar juga ya," komentarnya singkat. Menurutnya Berlian terlalu buas untuk ukuran seorang cewek jika dibandingkan dengan ratusan cewek yang ia temui disekolah. Tidak feminim, tidak berdandan, tukang labrak, bahasa yang keluar juga tidak disaring.
Napas Berlian masih berpacu dengan cepat saking kesalnya sembari melihat ke arah Arlo.
Arlo melirik sekilas ke arah Berlian kemudian menepuk tempat disampingnya mengisyaratkan Berlian untuk duduk disana.
Sepertinya walau sedikit ngeselin, Berlian bisa mengajak pria ini sebagai sahabatnya dan mengorek informasi tentang dunia yang ini masuki ini.
"Gue lagi dimana?"
"Di sekolah."
Ok, sabar Berlian ini masih pertanyaan pertama.
"Maksud gue, ini dunia apa sebenarnya?"
"Delapan ratus sembilan puluh sembilan kali," ujar pria itu tiba-tiba.
"Hah?"
"Kalau lo tanya pertanyaan itu, maka ini bakal jadi yang ke sembilan ratus kali."
Masih tidak menyerah, Berlian mencari pertanyaan lain.
"Kenapa gue bisa ada disini?"
Pria itu menghembuskan napas pelan sebelum memejamkan kedua matanya sembari menikmati paparan cahaya matahari pagi yang menerpa wajahnya. Ia mulai menjelaskan secara singkat.
Dalam posisi seperti ini, Berlian dapat mengamati wajah pria itu secara dekat. Lebih jelas dan terasa lebih nyata.
Jujur, wajahnya benar-benar tampan dan jika dibandingkan dengan Kevin walaupun sama-sama brengsek tapi urusan ketampanan mungkin pria menyebalkan didepannya ini bisa menang.
Eh, Berlian menggelengkan kepalanya keras. Kenapa dia jadi membandingkan mereka berdua?
Terlalu lama melamun, Berlian jadi gak fokus sama penjelasan pria itu.
"Gimana, boleh ulang?" pinta Berlian yang langsung membuat pria didepannya itu membuka kedua matanya kemudian melempar tatapan tajamnya.
Berlian cengegesan, "Sori-sori, gue gak fokus tadi. Tatapannya gak usah kayak pisau silet gitu dong bang, selow aja."
"Gak fokus karena wajah ganteng gue?" tanya pria itu sembari menaikkan alis kananya. Ia tersenyum kecil untuk pertama kalinya dan sialnya hal itu membuat kadar ketampanan pria itu meningkat berkali-kali lipat.
Senyumannya sekarang adalah hal yang ilegal bagi Berlian, berbahaya namun Berlian ingin melihatnya lagi dan lagi. Pesonanya susah ditolak, terkesan dingin dan acuh tapi secara bersamaan Berlian bisa merasakan sisi jahil pria itu ketika telah mengobrol banyak dengannya. Dia spesial dengan caranya sendiri.
"Ini adalah dunia novel," pria itu akhirnya kembali menjelaskan.
Berlian membulatkan kedua matanya, "Novel? Gimana-gimana, gue gak paham. Kok bisa gue diseret ke sini? Kapan gue bisa balik? Gue gak bakal mati disini kan? Mana baru lulus, gue bahkan belum pernah pacar..."
Pria itu menempelkan jari telunjuknya tepat ke arah bibir Berlian mengisyaratkan gadis itu untuk diam dan terbukti caranya berhasil. Berlian terdiam layaknya patung dengan bahunya yang menegang. Untuk urusan mengamati gerak-gerik seseorang, dirinya lumayan peka. Ralat, itu memang keahliannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M FIGURAN [END]
Teen FictionWARNING !!! CERITA INI BISA BIKIN KALIAN SENYUM-SENYUM SENDIRI BAHKAN SALTO-SALTO SAMPE MAMPUS ‼️🚫🚫 Yang gak kuat dipersilahkan untuk ↩️ putar balik --- What?! I'm figuran? --- Berlian pikir dirinya sudah mati saat tiba-tiba terbangun dalam se...