Bab 30

7.7K 591 11
                                    


Readers baru mana suaranya?

Happy reading guys

---

Awalnya semua berjalan dengan lancar, ibunya bermimpi untuk menjadi penulis, Arlo yang masih kecil saat itu sering menemani ibunya dikamar sembari memainkan kertas-kertas bekas corat-coret naskahnya. Ayahnya waktu itu bekerja sebagai buruh pabrik yang terkadang harus pulang larut malam, jarang memiliki waktu untuk mereka. Masalah pun mulai datang saat ayahnya dipindahtugaskan, mereka pindah ke sebuah daerah yang lumayan terpencil dengan ibunya yang awalnya menolak keras. Ibunya bersikeras kalau semua inspirasi dan jiwanya ada dirumah mereka yang dulu, disana semuanya dimulai dan disana juga smeuanya harus berakhir.

Beberapa hari setelah pindah, ibunya kehilangan ide, semangat menulisnya redup. Naskahnya kacau, ceritanya tidak selesai. Ibunya akhirnya jatuh sakit. Arlo yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu harus mengurus ibunya.

Sebenarnya ibunya itu mendapatkan sebuah titik terang dalam karir menulisnya dimana ada seorang kenalan mereka yang berjanji akan menerbitkan cerita ibunya jika diselesaikan tepat waktu. Ibunya bersemangat bahkan terkadang hingga tidak tidur demi menyelesaikannya, Arlo tetap menemani ibunya bahkan menyuapinya untuk makan agar penyakitnya tidak kambuh lagi.

Namun kesempatan yang Arlo kira akan memberikan masa depan cerah untuk keluarga mereka mendadak lenyap disapu takdir. Sebuah panggilan disore hari yang mengatakan kalau ayahnya mengamai kecelakaan kerja membuat Arlo terpuruk terlebih ibunya.

Ceritanya tidak selesai tepat waktu, naskahnya tidak jadi terbit, Arlo harus mencari kerja untuk membiayai uang sekolahnya, semua seolah bekerja sama untuk menyiksanya dalam satu waktu.

Elusan tangan Berlian pada kepalanya terhenti bersamaan dengan terhentinya penjelasan Arlo.

"Jangan dilanjutin," ujar Berlian sembari terus memperhatikan raut wajah Arlo sekarang. Tanpa sadar matanya mulai berkaca-kaca, Berlian mendongak ke atas berusaha keras agar air matanya tidak jatuh.

Arlo bangkit dari pangkuan Berlian, menegakkan punggungnya kemudian menoleh ke arah gadis itu.

"Gue cerita bukan untuk bikin lo nangis,"peringat Arlo sembari mengusap pipi gadis itu pelan sebelum secara tiba-tiba Berlian menariknya kedalam pelukannya.

Arlo mengusap pelan kepala Berlian berniat untuk menenangkan gadis itu, Arlo dapat merasakan kaos bagian bahunya basah, ternyata Berlian benar-benar menangis.

"Lo nangis bukan karena kasihan kan? Gue gak mau ada orang yang kasihinin gue," ujar Arlo yang langsung disambut tepukan kecil pada punggung pria itu.

"Bodoh, gue gak lagi kasihanin lo. Cerita lo aja yang terlalu sedih," todong Berlaian cepat.

Arlo menangguk pelan sembari terus mengusap punggung Berlian, "It's okay," bisiknya pelan.

Berlian menautkan alisnya kemudian segera melepaskan pelukan mereka, seharusnya Berlian yang mengatakan hal seperti itu kepada Arlo dan menenangkannya, tapi dari nada bicara pria itu sekarang, Berlian mengerti darimana sikap tegar Arlo dalam menghadapi ibunya. Ia sudah melewati banyak penderitaan dalam hidupnya jadi menceritakannya kembali tidak akan berefek apa-apa padanya.

"Gue pengen lindungin lo," ujar Berlian tiba-tiba membuat Arlo mengangkat alis kanannya kemudian tersenyum kecil.

"Gimana caranya?"

Berlian terdiam, berusaha memilih kalimat yang pas untuk memberi semangat kepada pria itu. Berlian ingin mengatakan kalau ia akan menemani Arlo untuk melewati semua ini termasuk permasalahannya dengan ibunya.

Arlo menyentil pelan hidung Berlian membuat lamunan gadis itu buyar berakhir ringisan pelan.

"Dengan lo sama gue terus aja itu udah cukup," ujar Arlo yang berhasil menrik fokus Berlian. Lagi-lagi kalimat pria itu membuat jantungnya berdebar.

Berlian kembali memeluk Arlo dengan erat, "Gue gak bakal ninggalin lo," Berlian berjanji.

"Terima kasih."

---

Laura masuk ke dalam kamarnya dengan membanting keras pintu kamarnya yang berhasil menyita perhatian beberapa maid yang sedang bekerja didalam rumahnya.

Dalam naskah yang madam buat, Laura tergolong lahir dalam keluarga kaya. Ia tidak kekurangan apapun sekalipun dalam hal akademis ia pandai. Namun karenna penampilannya yang terkesan culun disekolah serta kutu buku membuatnya dijauhi dan ebraakhir dibuli oleh Alicia dan teman-temannya.

Kedatangan Arlo dalam hidupnya membuatnya berubah banyak. Mulai dari keberaniannya yang mendadak mencuat keluar, bahkan ketika Alicia mendatanginya beberapa hari terakhir, Laura berhasil mengusirnya. Sebenarnya bukan hanya Arlo saja, kedatangan Berlian juga berdampak besar baginya.

Laura menyukai Arlo, sudah sejak lama ia mengagumi pria itu dari jauh. Laura sudah memendam perasaanya dan hanya sesekali mencuri panang ketika pria itu berlalu untuk ke kantin hingga suatu saat Arlo menolongnya dari Alicia, perasaan Laura terhadap Arlo semakin dalam.

 Laura juga menyukai Berlian, ia ingin berteman dengan gadis itu tapi mengetahui fakta bahwa dia dekat dengan Arlo, cinta pertamanya membuat Laura kesal setengah mati. Ia tidak suka akan ekdekatan mereka, bagaimana Arlo bisa bersikap sesantai itu dengan Berlian, akrab bahkan tidak canggung sama sekali.

Laura sering mempergoki mereka pulang bersama bahkan ketika di kelas, Laura selalu memperhatikan Arlo dari belakang.

Semakin takut kehilangan Arlo membuat Laura bertindak nekat, benar-benar tidak seperti dirinya yang biasanya. Laura yang pemalu dulu tidak akan menyatakan perasaannya secara gamblang seperti ini dan berkahir ditolak.

Arlo menolaknya dan Arlo menyukai Berlian.

Kalimat itu terus berputar dalam benak Laura, semakin memikirkannya semakin membuat Laura kesal. Ia meraih batal pada kasurnya kemudian melemparnya secara asal, mengepalkan tangannya kemudian mulai menendang udara kosong dengan kaki telanjangnya.

Laura tidak ingin jauh-jauh dari Arlo. 

Arlo harus menjadi miliknya.

Lamunan Laura buyar ketika suara keras dari lantai atas menyita perhatiannya. Seperti suara bantingan barang-barang yang jatuh ke lantai secara bersamaan dengan teriakan-teriakan keras yang membuat Laura segera menutup telinganya.

Terjadi lagi.

Laura tetap dalam posisi seperti itu, menarik napas sebanyak mungkin bersamaan dengan dadanya yang sesak setiap kali suara teriakan terdengar dari arah atas. Setelah suara-suara kacau tadi mulai reda, ia bangkit dari kasurnya kemudian berlari cepat meninggalkan kamarnya. Menyusuri lorong rumahnya kemudian menuruni anak tangga dengan cepat hingga sampai pada sebuah pintu yang tertutup rapat.

Laura menatap sekali sebelum memutar knop pintunya dan berhasil, ternyata pemiliknya tidak menguncinya.

Kevin yang tengah mengolesi salep pada lengan kanannya menoleh ke arah pintu kamarnya kemudian menghela napas berat ketika mendapati Laura disana.

"Mau apa lo?" tanya Kevin dingin, belakangan ini sikap kakkanya berubah banyak. 

Percakapan mereka semakin jarang terjadi, ketika sampai dirumah mereka hanya memberikan lirikan sekilas kemudian masuk ke kamar masing-masing. 

Laura memperhatikan lengan kanan Kevin kemudian naik ke area wajahnya. Tubuh pria itu penuh dengan luka, mulai dari tangannya yang meninggalkan banyak bekas merah semacam dicambuk dengan keras oleh sesuatu, kemudian pipinya memerah dan semacam ada bekas cakaran kuku. 

Laura menggigit bibir bawahnya menahan tangisnya agar tidak jatuh, ia paling tidak suka dengan yang namanya kekerasan. 

---

Next ?

I'M FIGURAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang