Kevin yang baru saja keluar dari bilik toilet terkejut melihat Laura berdiri tepat didepannya. Ini toilet pria dan apakah gadis didepannya ini sudah tidak waras?
"Rara, apa yang lo lakuin disini?" tanya Kevin dengan nadanya yang melemah, tidak seperti biasanya. Benar, tenaganya memang sudah terkuras habis untuk hari ini. Berita yang Arlo siarkan secara live tadi masih terdengar seperti sirene kematian baginya.
"Jangan panggil aku kayak gitu!" balas Laura dengan nada tingginya.
"Aku cuman mau bilang sesuatu," lanjut Laura sembari memperhatikan sekitar, takut-takut kalau ada siswa pria yang tiba-tiba masuk ke dalam toilet dan menemukan mereka, Laura tidak ingin membayangkan hal itu sampai terjadi.
Menyadari keresahan gadis itu, Kevin segera berjalan cepat dan menutup pintu toilet kemudian menguncinya.
"Lo bisa berbicara bebas sekarang," ujarnya.
"Jangan ganggu Berlian lagi, dia udah tolongin aku," nada bicara Laura kembali serius.
Kevin mendudukkan bokongnya ke atas wastafel sembari menatap aneh ke arah Laura, "Gue gak salah dengar? Lo larang gue buat bantu lo saat dibuli Alicia? Sekarang lo malah mau ngelindungi si Berlian yang jelas-jelas udah nolongin lo dan sok ikut campur?"
"Dia beda sama kamu."
"Beda apanya sih Ra?" Kevin benar-benar tidak mengerti dengan gadis didepannya ini.
"Kalau sampai dia dibuli Alicia gara gara tolongin aku, setidaknya itu lebih baik daripada kamu yang nanti terluka gara-gara nolongin aku."
Kevin tahu niat baik Laura agar dirinya tidak ikut campur soal masalah Alicia karena tidak ingin dia terluka, tapi memangnya Kevin selemah itu?
"Ra, gue gak tahu lo se-egois itu. Berlian bahkan udah ikhlas nolongin lo. Dan lo pikir gue selemah itu buat singkirin Alicia aja? Gue bisa tahan pas kejadian di kantin karena buat nurutin kemauan lo dan gue pikir Arlo juga bakal datang buat nolongin lo tapi nyatanya apa? Engga kan? Cowok yang lo idam-idamkan itu bahkan gak datang buat bantu."
Kevin berujar panjang lebar, mengungkapkan isi hati dan kekesalannya selama ini. Melihat Laura yang nangis didepanya membuat Kevin ingin memeluk gadis itu tapi rasanya waktunya tidak tepat sekaraang. Laura harus sadar kalau yang ia lakukan sekarang itu salah.
"Lo salah besar Ra, gue gak akan biarin Alicia nindas Berlian karena karena gue udah terlanjur suka sama dia," ujar Kevin jujur akhirnya, ia tidak tahu lagi harus menamakan apa semua obsesinya terhadap Berlian kalau bukan rasa suka namanya.
Sebelum benar-benar pergi dari sana, Kevin menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Laura.
"Termasuk lo, gue juga akan lindungi lo jadi kita hadapi ini sama-sama."
Pertahanan Laura benar-benar runtuh ketika Kevin meninggalkan toilet. Ia terjongkok dibawah, menenggelamkan kepalanya diantara lututnya, bahunya bergetar hebat menumpahkan segala emosinya. Laura tidak tahu harus bagaimana menghadapi Kevin lagi mulai sekarang, ia merasa bersalah karena telah menyakiti hati cowok itu.
"Lo kenapa?"
Deg. Jangan-jangan ada siswa cowok yang masuk ke dalam toilet dan menemukan dirinya nangis seperti ini, maka Laura harus mencari alasan yang pas agar tidak dicurigai mereka.
Laura segera mengusap cepat air matanya dengan punggung tangannya sebelum bagkit berdiri dan menemukan Arlo yang berdiri tepat di depannya, menatapnya dengan tatapan khawatirnya. Arlo mengulurkan tangannya untuk membantu Laura berdiri.
Ya Tuhan, kenapa ia harus dihadapkan dengan situasi seperti ini lagi? Laura belum siap untuk bertemu Arlo dalam keadaan kacau seperti ini.
---
Tadi siang Arlo bilang kalau ia tidak bisa menjemput Berlian pulang ke apartemen, alhasil gadis itu pulang naik taksi. Setelah menjernihkan pikiran sejenak dengan tidur siang dan berberes pakaian, oh ya jika kalian bertanya bagaimana tentang keperluan Berlian seperti baju, anehnya memang atau ini sudah diatur oleh si penulis naskah.
Baju-baju Berlian sudah tertata rapi didalam lemari dengan berbagai style mulai dari kaos oblong biasa, piyama hingga baju dress.
Tak terasa setelah mandi selesai, Berlian melihat ke arah jam dinding dan ternyata sudah jam tujuh malam. Melihat ke arah pintu kamar Arlo, Berlian menempelkan telinganya ke daun pintu kamar pria itu. Tadi siang Arlo belum pulanhg apa samia sekarang pria itu masih diluar? Perut Berlian sudah berbunyi minta diisi tapi tidak sopan rasanya kalau memakai dapur orang tanpa ijin apalagi Berlian tidak tahu apa saja bahan-bahan yang ada di dapur Arlo.
Tidak ada suara. Hening. Apa pria itu belum pulang?
Berlian menyapukan telinganya dari ujung gagang pintu ke bagian atas, dekat kurang dekat, kini area wajah sampingnya menempel sepenuhnya ke daun pintu.
Sialnya bersamaan dengan itu, suara decitan pintu terbuka terdengar. Arlo yang saat itu siap membuka pintu terkejut mendapati Berlian didepannya. Gadis itu bahkan hampir terjatuh kalau Arlo tidak sigap menahan lengannya.
"Lo hobinya itu jatuh ya?"
Kenapa saat bersamanya, Berlian kalau gak jatuh ya mereka berdebat hal aneh-aneh.
Berlian mengercutkan bibirnya kesal yang terlihat lucu dimata Arlo tapi sebisa mungkin pria itu tetap mempertahankan topeng dinginnya.
"Siapa juga yang mau jatuh, gara-gara lo ini. Buka pintu bilang-bilang kek," dengus Berlian sembari berdiri mempuat tautan tangan Arlo pada lengannya terlepas.
Oke, sesi berdebat mereka tampaknya dimulai lagi.
"Ngapain didepan pintu kamar gue? Nguping? Ngintip?" tuntut Arlo sembari menyenderkan tubuhnya ke dinding, memperhatikan Berlian dengan tatapan menangkap basah anak anjing yang habis mencuri tulang ayam.
"Gue cuman laper. Setidaknya sebagai tamu yang sopan gue mau ijin buat pake dapur lo," jelas Berlian akhirnya sembari menatap Arlo. Pakaian pria itu masih rapi dengan seragam sekolah bahkan dengan dasi sekolah yang entah kemana dan dua kancing atas seragamnya terbuka. Berlian menebak Arlo baru pulang dan sialnya dalam keadaan berantakan setelah seharian beraktifitas pria itu masih terlihat tampan.
"Pake aja."
Begitu mendapat ijin Berlian segera memutar balik langkahnya dan berjalan ke arah dapur diikuti Arlo yang sibuk mengikutinya dari belakang. Sebenarnya untuk urusan memasak, Berlian juga tidak terlalu pandai, tapi karena sewaktu sma dia itu ngekos, jadi mungkin makanan yang simple-simple bisa ia buat.
"Lo mau makan apa?"
"Lo bisa masak? Kalau gitu mie instant aja."
Berlian reflek berbalik dan hampir menabrak dada bidang Arlo yang entah kapan berdiri dibelakangnya, naluri refleksnya bekerja walaupun sedikit terkejut diawal, Berlian langsung mundur dua langkah. Setidaknya dia gak akan jatuh karena kaget.
"Eh, gak usah remehin skill masak gue ya. Walaupun gak masakan yang ribet kali, tapi kalau kayak nasi goreng gue masih bisa kok," ujar Berlian.
"Oh," hanya respon singkat yang pria itu berikan sembari duduk di sudut meja dapur sembari melipat tangan, layaknya atasan yang menonton bawahannya bekerja dan siap sedia kapanpun untuk mengomentar Berlian dengan kalimatnya.
Berusaha tidak terganggu dengan tatapan pria itu, Berlian mulai berjalan ke arah kulkas dan membukanya.
Damn. Isi kulkasnya bersih dan kosong. Hanya deretan air mineral, kaleng soda serta bir. Itu bukan kulkas untuk menaruh bahan masakan lagi tapi kulkas khusus minuman.
"Kulkas lo pake konsep apa sih, kok gak ada bahan masakan sama sekali? Tomat? Bawang-bawangan?" tanya Berlian.
"Gue gak pande masak," balas Arlo jujur.
Wow, akhirnya Berlian bisa menemukan satu kekurangan Arlo. Pria itu ternyata tidak bisa memasak.
---
Masih pada nungguin gak nih?
Siapa yang gak bisa masak juga kayak Arlo? 👀🤭
Note : 5 Bintang aku update lagi!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M FIGURAN [END]
Teen FictionWARNING !!! CERITA INI BISA BIKIN KALIAN SENYUM-SENYUM SENDIRI BAHKAN SALTO-SALTO SAMPE MAMPUS ‼️🚫🚫 Yang gak kuat dipersilahkan untuk ↩️ putar balik --- What?! I'm figuran? --- Berlian pikir dirinya sudah mati saat tiba-tiba terbangun dalam se...