Arlo melirik sekilas jam dinding apartemennya, sudah hampir jam enam sore tetapi Berlian belum kunjung pulang. Arlo menyenderkan punggungnya pada sandaran sofa, sebuah hembusan napas kasar berhasil lolos dari bibirnya.
Detik demi detik berlalu dengan ditemani suara detak jam dinding, Arlo menunggu kepulangan Berlian.
Tiba-tiba suara pintu apartemennya yang dibuka oleh seseorang berhasil menarik fokusnya. Arlo terus memperhatikan Berlian mulai dari gadis itu melepaskan sepatunya dengan gerakan yang tidak bersemangat. Langkah gontai gadis itu adalah hal yang pertama kali Arlo notis, Berlian menyeret kakinya hingga ke arah dapur kemudian meraih secangkir gelas dan mengisinya dengan air.
Berlian masih tidak menydari kehadiran Arlo. Jujur Arlo tidak tahu apa yang terjadi dengan Berlian sebelumnya, tapi yang ia tahu sekarang gadisnya terlihat rapuh, Arlo dapat melihat bekas air mata yang sudah mengering dikedua pipinya.
Arlo ingin menghampiri Berlian kemudian memeluknya, menanyakan apa yang terjadi dengannya? Apa ibunya berbuat jahat kepadanya lagi?
Tapi nyatanya, justru yang keluar dari mulut Arlo adalah hal lain.
"Dari mana?"
Bahu Berlian berjengit kaget, hampir saja gelasnya jatuh ke bawah kalau gadis itu tidak dengan cepat menangkapnya. Berlian refleks memegangi dadanya seiring napasnya yang memburu, merutuki kecerobohannya yang tidak melihat kalau Arlo sedang menunggunya disana.
Berlian membasahi bibirnya yang mendadak kering, "Maaf," ujarnya seiring dengan genggamannya pada pegangan cangkir yang semakin mengerat.
"Darimana?" Arlo mengulang pertanyannya.
"Gue pergi ke tempat madam," ujar Berlian jujur, toh Arlo sudah tahu kalau dirinya berbohong.
"Kenapa?" tanya Arlo, suaranya tidak meninggi namun malah lebih ke sebuah nada interogasi yang membuat Berlian terintimidasi.
"Maaf."
"Kenapa?"
Berlian meletakkan cangkirnya kemudian memberanikan diri untuk menatap Arlo dari tempatnya berdiri, walau terpaut jarak, Berlian tetap bisa melihat raut kecewa Arlo.
"Gue mau ngomong sesuatu sama dia," ujar Berlian sembari mengambil tempat tepat disamping Arlo.
Hening kembali menyergap mereka berdua, Berlian yang tidak tahan diacuhkan oleh Arlo memberanikan diri untuk mulai berbicara lagi.
"Lo marah?"
Arlo masih diam, tidak berniat menjawabi pertanyaan Berlian.
"Ar..."
"Lo bohong sama gue," Arlo menoleh, beralih menatap Berlian.
Berlian menelan ludahnya kasar ketika mendapat tatapan intens dari Arlo, "Maaf," otaknya susah memproses sekarang.
"Dua kali."
Maih menatap lurus kedua manik Berlian dengan raut kecewanya, pria itu berujar, "Pertama lo bohong soal pertemuan lo sama Kevin di mall kemudian hari ini. Lo anggap gue apa sih? Kenapa gak mau ijin dulu, kalau terjadi apa-apa sama lo gimana?"
Arlo tak mampu mengendalikan nada bicaranya dan berakhir meninggi, napas pria itu memburu seiring dengan tatapannya yang menatap Berlian keras. Berlian tahu Arlo merasa bersalah atas perlakuan Alicia kemarin, pria itu hanya takut kalau kejadian seperti itu akan terulang lagi, tapi Berlian sendiri juga punya alasan. Ia hanya tidak ingin merepotkan Arlo, keadaan pria itu sendiri sudah sulit.
Berlian mengenggam ujung bajunya dengan erat guna menyalurkan keresahannya.
Arlo tiba-tiba meraih dagu Berlian kemudian mengangkatnya dengan pelan, menuntun wajah gadis itu agar menghadapnya dan membuat tatapan mereka bertubrukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M FIGURAN [END]
Teen FictionWARNING !!! CERITA INI BISA BIKIN KALIAN SENYUM-SENYUM SENDIRI BAHKAN SALTO-SALTO SAMPE MAMPUS ‼️🚫🚫 Yang gak kuat dipersilahkan untuk ↩️ putar balik --- What?! I'm figuran? --- Berlian pikir dirinya sudah mati saat tiba-tiba terbangun dalam se...