Bab 29

7.4K 616 4
                                    

DOUBLE UPDATE!!!

YUHUU...

---

Beberapa saat yang lalu...

Pikiran-pikiran kelam itu membuat madam tersadar akhirnya, setelah ia menghancurkan hidup Arlo dalam kehidupan nyata dengan tidak memberikan kasih sayangnya sebagai seorang ibu dan lebih fokus kepada dunia imajinasinya ini, madam berusaha untuk menebus kesalahannya, setidaknya Arlo akan bahagia dalam dunia yang ia buat ini.

Madam duduk diatas kursi kerjanya kemudian tangannya mulai mengetik cepat diatas mesin ketiknya. Ia akan mengubah semua alur ceritanya, tidak akan ada adengan dimana Arlo harus bersama dengan Laura lagi, kini hanya ada Berlian dalam hidupnya. Terlebih Kevin, ia harus menjauhkan pria itu dari kehidupan Berlian.

Madam berniat membuat semuanya menjadi sederhana, Laura tidak akan mnggilai Arlo lagi, Kevin jauh-jauh dari Berlian sekalipun nasib pria itu harus berakhir tragis pada sebuah kata 'kematian' dan tokoh-tokoh lainnya mendukung hubungan Berlian dan Arlo.

Tapi sayangnya harapan madam tidak berjalan sesuai keinginannya, seolah semua tokoh dalam ceritanya tahu kalau madam akan bertindak seperti itu, mereka semua menolak untuk menjalankan naskahnya, atau lebih mirip seakan semesta ikut menolak idenya itu.

Setelah madam mengetik sebuah kalimat dalam mesin ketiknya, secara otomatis layaknya waktu yang berjalan mundur, kalimat itu terhapus dengan sendirinya, menyisahkan sebuah lembar kertas kosong. Madam kembali mencoba dan ia kembali kembali mendapat hasil yang sama. Hampir puluhan kali ia mencoba, puluhan kali juga kata-kata itu terhapus dengan sendirinya. 

Berlandaskan rasa emosi sesaat, madam berakhir pada menghancurkan mesin ketiknya sendiri.

Ia tidak bisa menulis lagi, semua naskahnya tidak bisa dilanjutkan dan cerita ini bukan dalam kendali dirinya lagi.

Madam tiba-tiba tersenyum kecil sebelum lengkungan bibirnya semakin lama semakin besar, diikuti suara tawanya yang menggelegar diantara ruangan hening itu. Suara tawanya semakin keras, berkumandang lantang layaknya sirene peringatan bagi dirinya bahwa semuanya telah berantakan, kacau dan akan berakhir tragis.

Harapannya untuk menjadi seorang penulis benar-benar hancur.

---

Arlo menutup pintu apartemen mereka dengan geraakan pelan, diikuti renanya yang bergerak ke sekitar berniat untuk mencari keberadaan Berlian. Pria itu menemukan Berlian tengah duduk diatas sofa dengan layar tv yang terbuka.

Arlo bergabung dengan Berlian diatas sofa, melirik sekilas ke arah gadis itu, ternyata Berlian tidak menyadari kehadirannya sedari tadi. Arlo mengarahkan tangannya ke depan wajah Berlian, ternyata gadis itu tengah melamun. 

Arlo menaikkan alis kanannya kemudian membaringkan kepalanya dengan menjadikan kaki Berlian sebagai bantalannya sebelum memejamkan kedua matanya rapat. 

"Ar..." Berlian terperanjat kaget ketika menyadari kehadiran Arlo didekatnya.

"Kapan lo pulang?" tanya gadis itu.

"Lo melamun daritadi," ujar Arlo dengan matanya yang masih terpejam.

Berlian menelan ludahnya kasar, tidak tahu harus menjawab apa ia lebih memilih untuk melihati ke arah layar tv didepan.

"Kenapa?" tanya Arlo yang tidak dijawabi Berlian.

Arlo menautkan alisnya, segera membuka kedua matanya kemudian bangun dari tidurnya dan meraih remote tv kemudian mematikannya.

"Ada masalah?" tanya Arlo lagi, kini memberikan tatapan lembutnya ke arah Berlian seolah melenyapkan setengah dari kesadaran Berlian dan hampir menceritakan kejadian Kevin tadi siang. Sial, Arlo terlihat ahli dalam membaca pikiran seseorang.

Berlian menggeleng, "Gue cuman kesal aja," ujarnya kemudian menepuk kakinya kembali, mengisyaratkan Arlo untuk kembali tidur.

Arlo menurutinya, ia kembali berbaring dengan tatapannya yang terarah sepenuhnya ke arah Berlian dari bawah.

"Karena Laura?" tanya Arlo yang jelas-jelas pertanyannya itu tidak perlu dijawab.

"Rasanya gue pengen berantem sama Laura," ujar Berlian tiba-tiba. Jika tadi sifat Laura seperti Alicia yang blak-blakan, besok disekolah Berlian pasti akan langsung melabrak dirinya kemudian menjambaknya hingga botak. Tapi Laura berbeda, polos tapi menyebalkan, Berlian benci menghadapi orang seperti itu. Mengajaknya berkelahi tidak akan seru.

"Daripada lo habisin energi lo buat dia, bagusan ke gue aja," ujar Arlo yang mengundang kebingungan Berlian.

"Lo pengen berantem sama gue?" 

Arlo mendengus kecil, "Bukan gitu," ujarnya kemudian meraih tangan Berlian dan menuntutnya tepat ke atas pelipis pria itu.

"Kepala gue sakit," lanjutnya.

"Gue bukan tukang pijet lo ya Ar," ujar Berlian tapi gadis itu tetap menjalankan perintah Arlo membuat pria itu mengulum senyum. Lagian siapa yang bilang Berlian itu tukang pijetnya, gadis itu adalah pacarnya.

Berlian memperhatikan wajah damai Arlo dari atas, alis lentiknya dengan kedua matanya yang terpejam, hidung mancung pria itu, hingga turun ke bibir merah mudanya yang menggoda. Berlian menggeleng pelan, mengenyahkan pikiran anehnya itu. 

"Ar," panggil Berlian tiba-tiba.

"Hm..." Arlo berdehem sebagai jawaban.

"Gue atau Laura lebih cantik?" 

"Lo," jawab Arlo langsung, tidak ada keraguan dalam nada bicara pria itu membuat Berlian mengigit bibir bawahnya.

"Oh," hanya itu yang Berlian berikan sebagai reaksi, sepertinya ia menyesal menanyakan hal seperti itu.

"Elus gue," perintah Arlo yang lagi-lagi dituruti oleh Berlian, gadis itu menenggelamkan jarinya diantara rambut hitam lekat Arlo. Memutarnya sesekali memainkan rambut pria itu.

Untuk sejenak, topik pembicaraan mereka bisa terlepas dari seputar memikirkan alur dan pusing perihal bagaimana endingnya. Berlian menyukainya, menikmati momen singkat dengan Arlo dengan mengobrol ringan seperti ini.

"Ceritain kehidupan lo dong sebelum masuk kesini," pinta Arlo tiba-tiba.

Berlian tersenyum kecil, sembari tangannya terus mengelus kepala Arlo dan pria itu terlihat nyaman dengan posisi mereka yang seperti itu. 

"Gue punya bapak yang kerja kantoran, biasanya setelah dia pulang kerja, ibu bakal masak buat makan malam. Gue bantuin dia susun meja makan terus kita makan malam sama-sama. Setiap ada hari libur, kita keluar buat jalan-jalan ditaman," ujar Berlian sembari menerawang kembali kehidupan damainya sebelum masuk ke dalam sini.

"Lo kangen sama mereka?" tanya Arlo.

"Kangen, makanya alasan gue nangis dikamar waktu itu karena gue kangen mereka," terang Berlian yang menjawab kebingungan Arlo selama ini.

Berlian tertawa kecil, "Kehidupan gue itu umum banget, gak ada yang menarik disana."

"Tapi sayangnya hal umum kayak gitu gak terjadi sama gue," ujar Arlo tanpa sadar, ia membuka kedua matanya dan bertubrukan dengan milik Berlian.

"Ar..."

Arlo tersenyum kecil seolah mengatakan dirinya tidak apa-apa.

"Sekarang giliran lo yang cerita?" tawar Berlian degan nada pelan, awalnya gadis itu pikir Arlo akan menolak tapi setelah Arlo mulai menceritakan kisah hidupnya dengan detail, Berlian mengerti alasan kenapa Arlo rela masuk ke dalam dunia ini demi ibunya walaupun dirinya sendiri benar-benar dirugikan.

Karena sejak awal, Arlo menyayangi ibunya, menghormati semua keinginannya bahkan rela mengorbankan dirinya demi kebahagiaan wanita itu.

---

🫶 Thanks for reading 🫶

I'M FIGURAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang