▪︎▪︎▪︎
Lisa sengaja membelokan arah motornya lebih jauh dari kost-an. Meminimalisir tindakan Jennie yang bisa datang seperti hantu sebab untuk terakui rasanya terlalu malas menanggapi Jennie. Iya, Lisa sedang tak ingin mendekati pusat keresahan itu. Dia sendiri bahkan tak paham apa yang terjadi dengan dirinya. Maka dari itu, biarkan ia mendistraksi segala pikirannya dengan cara menjauhi sejenak untuk merenungkan apa yang salah dari hari ini.
Pada ujungnya Lisa memutuskan untuk bertamu ke rumah neneknya. Butuh lebih banyak waktu untuk menempuh titik lokasi yang berbeda. Namun sore itu, Bandung terlihat sepi diguyur kesedihan air semesta. Hari yang biasanya akan dihiasi kemacetan kota, kala itu Lisa bisa menekan gas motornya tanpa rem. Mentok-mentok melalui rambu lalu-lintas karena kalau dihajar bisa-bisa kena tilang.
Olah pikir yang menyangka berdiam diri di bawah hujan lebih dari 10 menit akan sakit, kenyataannya malah hinggap di dada. Gemuruh dan hujan sudah berhenti sekitar 15 menit yang lalu, namun di sini, di depan telivisi Lisa merasa bahwa tayangan channel itu yang memindahkan hujan itu pada dadanya.
Dengan dua mata serius yang kosong, Lisa menatap kosong ke depan. Sementara mulutnya tiada henti menyemili keripik singkong.
Tring!
Notifikasi itu menyala lagi. Beruntun dan terus mengantri hingga yang semula nenek tidak mau perduli dibuat kesal.
"Neng, jawab dulu itu!" Katanya menunjuk ponsel Lisa.
"Gak ah, biarin aja. Biasa itumah temen-temen yang riweh." Lisa mengendikan bahunya.
"Iya siapa tau lagi butuh neng, dijawab dulu kasian."
Butuh apanya? Tanpa harus melihat-pun, batin Lisa sudah bisa menerawang apa saja deret-deret isinya. Lantas berpikir untuk membalasnya saja Lisa sudah merasa sebal. Dan secara tidak sadar bahwa gemuruh itu terletak di sana. Di salah satu orang yang mengirim pesan padanya.
"Udah libur belum neng ngampus teh?" Tanya Abah.
"Udah sih sebenernya, cuma lagi ada kegiatan aja." Akhirnya Lisa melepas pandangnya dari sinetron tidak jelas di sana.
"Sampe tanggal berapa neng?"
"Sebulanan sih Bah, lumayan da." Lisa mengangguk.
"Wih, gak mau pulang dulu ke Si Mamah?"
"Lisa ada acara. Bener-bener sibuk, pusing kana sirah ieu ge." Celetuk Lisa sambil mengusak rambutnya frustasi.
"Acara naon dei? Asa loba acara?" Nenek kini yang menimpali.
"Banyak atuh mak, kan Lisa teh anak organisasi. Mana Lisa jadi ketuanya. Pusing tah."
"Jadi ketua? Bisa kitu?" Godanya.
"Wah parah, teu emak teu babaturan eweh nu baleg." Lisa bergeleng-geleng tak percaya.
"Jadi kamu bakal di sini? Gaakan pulang?" Tanya Abah yang langsung diangguki.
"Iya Bah, Lisa bener-bener sibuk banget. Belum ngurusin tugas juga. Semua temen-temen juga gaada yang pulang, soalnya abis ini mau ada acara lagi. Rencana tuh kita---"
Ucapan Lisa terpotong begitu saja akibat dering ponsel yang lebih lama berdering. Kali ini terpampang jelas nama Jennie di sana, bahkan Abah dan Nenek sampai memerintah lewat matanya untuk Lisa mengangkat panggilan tersebut. Jadi, pada jadi-jadinya dengan semua rasa yang semakin angkuh, Lisa meraih ponsel itu dan berjalan ke arah kamar.
"Neng, makan dulu itu jangan lupa. Emak udah bikin teh juga. Diisi perutnya bisi pusing itu abis ujan-ujanan!"
Lisa hanya membalasnya dengan acungan jempol sebelum akhirnya dia menutup pintu kamar dan menyekap dirinya dengan sebuah panggilan yang tersambung lekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Himpunan | Jenlisa✔
Fiksi Penggemar(+) OT GEN3 "Mau nggak, membina hima bareng gue?" - Jennie. "Maunya membina rumah tangga bareng lo." - Lisa. ©️Kanayaruna, 2023 Notes: bacanya di rumah aja, bahaya kalau dibawa-bawa keluar. Bisa disangka orang gila.