▪︎▪︎▪︎
"Lo kenapa Jen? Gue ada salah, ya?"
Jennie membanting pintu apartemennya dan berjalan gontai dengan sejumput perasaan berantakan. Setelah berjam-jam duduk di mobil tanpa suara, setelah menguatkan diri untuk mengulum semua keresahan dari orang-orang, akhirnya Jennie tepi di ujung. Dia membanting tubuhnya dengan air mata yang spontan meretas ke bawah pipinya.
Lo nggak salah, tapi gue yang salah...
Jennie tak bisa mengatakannya secara gamblang. Ada dua bagian yang terus bersiteru. Di antara logikanya yang terus memaksa ia untuk tetap tegar dan menyokong kesimpulan, "gue bisa melakukannya sendiri" dengan hati yang selalu bersuar "gue capek", akan selalu bertemu dan berakhir saling kuat mengotot.
Seperti saat ini, Jennie berpikir bahwa lelahnya yang sedang menimpanya adalah kosekuensi mengapa ia memutuskan untuk menjadi ketua himpunan. Sementara dalam air matanya yang mengalir, Jennie mengelak bahwa rasa lelah akan perasaan sialan yang ikut andil ini tidak pantas untuk diurusi. Padahal kenyataannya, seluruh tubuhnya sudah tak kuasa menopang beban lagi. Entah untuk mengerti orang-orang, mengurusi hal-hal ini sendirian, termasuk jatuh cinta yang benar-benar menyebalkan.
Jennie ingin berhenti di sini.
Jennie ingin, dia menyerah saja. Dan biarkan semua orang yang bergilir untuk mengurusi urusan himpunan ini.
Sudah cukup ia memikirkan bagaimana kegiatan ini dan 2 proker terakhir yang benar-benar besar di depan. Sudah cukup pertengkaran dengan sesama anggotanya yang membuat ia lelah untuk mengerti orang lain. Sekali saja, Jennie juga ingin dimengerti oleh yang lain. Jennie ingin ditenangkan. Jennie ingin dipeluk. Tapi sayangnya, dia juga malas untuk mencari ketenangan itu--sekalipun Lisa akan terus menawarkannya.
Tidak. Hakikatnya, memeluk inti luka itu akan semakin hancur. Dan Jennie akui, dia sedang hancur oleh wanita itu. Pecah berkeping-keping harapannya yang selama ini dia jaga dalam diam.
Jennie meraih asal bantalnya, kemudian ia bungkam ke atas wajahnya. "AAARRGHHHHH!!!"
Ini masih pukul 4 sore. Tadi di bawah lobby para petugas dan penghuni beberapa lantai ini cukup ramai berkeliaran. Juga, kecerahan sorot matahari jingga menembus lewat kaca, membuat tubuhnya terpapar hangat. Dan ketika air mata itu jatuh, rasanya akan sepanas ini.
GUE PENGEN MARAH SAMA LO, LISA!!!
MUNAFIK LO!!!
NYATANYA PERHATIAN LO MASIH TERTUJU UNTUK DIA!!!
BRENGSEK!!!
GUE UDAH CAPE URUS HIMPUNAN!!!
TAPI LO BIKIN GUE MAKIN CAPEK!!!
Jennie hanya bisa menggigiti bantal guna menyalurkan segala jeritan hatinya agar tak keluar dari pita suara. Dia sudah terlalu dewasa untuk berpikir menangis kencang-kencang disaat matahari masih hadir. Dia juga yakin bahwa tetangga apartemennya ini ada yang sudah pulang. Walaupun mungkin mereka tidak perduli, beda lagi dengan Jennie.
Bermenit-menit Jennie hanya menangis, kemudian melempar bantal dan menyambar ponselnya. Di sana, panggilan tak terjawab dan puluhan pesan dari Lisa tertera. Matanya semakin panas melihat kata maaf yang tersodorkan begitu banyak.
Lisa
Jennieeeee
Gue minta maaf
Jen
Jangan marah
Lo capek ya?
Sekarang lagi istirahat ya?
Maafin gue ya
Maaf
Besok udah masuk kelas
Maaf Jen
Maaaaffff
Gue masih kurang ngebantu ya?
Jennnn
MaafHarusnya bukan dia yang meminta maaf, tapi Jennie.
Tapi Jennie di sini, yang telah membuatnya keruh dan membuat dia kebingungan dengan sikapnya yang terkadang lepas kendali seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Himpunan | Jenlisa✔
Fanfic(+) OT GEN3 "Mau nggak, membina hima bareng gue?" - Jennie. "Maunya membina rumah tangga bareng lo." - Lisa. ©️Kanayaruna, 2023 Notes: bacanya di rumah aja, bahaya kalau dibawa-bawa keluar. Bisa disangka orang gila.