▪︎▪︎▪︎
Malam berikutnya, setelah pengesahan kahim dan wakahim, Jennie kembali datang selayaknya bank pnm yang selalu memaksa bayaran hutang. Dengan tas dan tentengan tangan penuh, dia menjatuhkan dirinya di atas kamar Lisa.
"Nih liat, udah gue kerjain!" Jennie menyerahkan berkas-berkas yang telah ia kerjakan sendiri.
"Ini prokernya ada yang diganti lagi? Terus ini? Kenapa departemennya balik lagi kayak yang awal? Katanya mau lebih singkat? Eh, dengerin!" Lisa membetulkan posisi duduknya. "Inget waktu sidang, kita bilang kalau banyak proker---"
"Ya kan proker yang kurang bermutu gue buang, terus gue munculin proker baru yang sekiranya bisa lebih bermanfaat dan terlaksana oleh semua anggota. Sekarang gini deh, ketimbang proker bagus-bagus tapi nggak pernah berhasil, coba kita turunin levelnya tapi dengan indikator keberhasilan yang tinggi. Daripada proker elite, kerja sulit. Yang capek anggota, yang marah-marah para demis." Cerocos Jennie memotong pembicaraan Lisa.
"Lagian nggak ada hubungannya dengan jumlah departemen, gue kemarin cuma bilang proker-prokernya aja yang terlalu boros. Sekarang, gue cuma mempersingkat itu." Sambungnya.
"Terus, jadi sekarang lo mau nurunin kegiatan-kegiatan proker lain juga, gitu?"
"Enggak lah. Yang sekiranya proker kepengurusan Kak Irene berhasil, ya kita pertahanin atau bahkan kita bikin proker baru, bikin proker yang lebih tinggi lagi. Gue nurunin level proker itu buat bidang yang emang bener-bener sulit."
"Apaan tuh?" Tanya Lisa.
"Pengmas."
"Aaaaah..." Lisa langsung manggut-manggut. "Bener sih, itu kinerja pengmas emang paling sulit dan paling lamban. Kalaupun pengen berhasil, butuh jangka waktu yang panjang. Oke, gue setuju kali ini."
"Tumben lo ikut mikir, biasanya iya-iya doang." Desis Jennie sembari mengeluarkan laptop dari tasnya.
"Untung gue udah restock sabar buat setaun ke depan Jen." Kata Lisa sambil mengusapi dadanya.
"Harusnya gue yang ngomong begitu." Ketus Jennie, balik lagi dengan nada suara paling--jutek.
Disaat Jennie sibuk sendiri mengatur tatanan struktur organigram di layar word, Lisa memanfaatkan kekosongan dengan membuka laporan tentang program kerja yang sudah terinci penuh beserta revisian departemen yang semakin mantap. Diam-diam dia melirik wajah Jennie yang sedang serius; dia kalau lagi serius cantik juga.
"Gue masih nggak percaya dengan alasan lo milih gue di antara banyak calon yang lebih berguna untuk lo ajak naik." Ujar Lisa tanpa menoleh dari kertas yang sedang ia genggam.
"Lo ngerasa nggak berguna?"
"Iya."
"Bagus. Sadar diri juga."
Refleks paru-parunya ikut menyempit mendengar penuturan itu. Emang nih ya, Jennie itu tipikal orang yang bakal muji-muji cuma buat formalitas. Selebihnya mah balik lagi pada jati dirinya yang bossy.
"Udah kepilih juga masih aja tajem tuh mulut. Baik-baik kek sama wakahim lo sendiri." Lisa menghembuskan napasnya.
"Lo kalau dibaikin nanti seenaknya." Celetuk Jennie.
"Sabar banget gue Jen ngadepin lo..."
"Nih, gue mau kasih liat susunan organigramnya! Coba lo isi beberapa departemennya!" Jennie menggeser laptopnya ke dekat Lisa. Menjadikan mereka duduk saling bersisian untuk menatap satu laptop bersama.
"Sekretaris 1 Wendy, sekretaris 2 Nayeon---kenapa nggak Joy?" Lisa mendongak meminta penjelasan setelah melihat dua kolom di bawah namanya dan Jennie.
"Nggak, gaakan bener kalau dia disatuin sama Wendy." Jennie menggeleng. Masih kurang lugas alasannya di kepala Lisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Himpunan | Jenlisa✔
Fanfic(+) OT GEN3 "Mau nggak, membina hima bareng gue?" - Jennie. "Maunya membina rumah tangga bareng lo." - Lisa. ©️Kanayaruna, 2023 Notes: bacanya di rumah aja, bahaya kalau dibawa-bawa keluar. Bisa disangka orang gila.