Kirania membuang napasnya dengan kasar sambil berjalan keluar ruangannya. Kepalanya seakan terbakar karena mendengar celotehan supervisornya yang menurutnya sangat ribet. Kirania masuk ke dalam lift yang membawanya ke lantai paling atas gedung tersebut. Keluar dari sana, dia berjalan menaiki rangga darurat dengan sebotol air mineral di tangannya yang ia pegang dengan erat.
Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul lima lebih sepuluh menit. Dia duduk di bean bag berwarna merah yang ada di rooftop gedung itu. Beberapa orang juga nampak duduk di sana untuk menikmati senja sepulang dari bekerja.
Tempat itu terasa menyenangkan jika digunakan untuk menanti matahari terbit atau tenggelam. Dengan lantai kayu setinggi empat puluh senti meter dari lantai di bawahnya dan juga atap galvalum, tempat itu menjadi salah satu tempat favorit para karyawan yang ingin bersantai sejenak dari kesibukan dunia kerja.
Seperti Kirania yang sekarang terlihat meminum air mineralnya sampai tersisa setengah. Dia membuang napas kasar. Hari ini terasa sangat berat. Dimulai dengan mata yang terus saja mengantuk sejak pagi sampai siang. Kemudian dilanjutkan dengan mendengar omelan supervisornya karena dia melakukan kesalahan membuat beberapa jurnal.
Gadis itu ingin berteriak saja karena kepalanya terasa penuh. "Padahal dia juga nggak bisa ngerjain kerjaannya Rora!" ucapnya pelan.
Kirania menghadap ke arah matahari sore. Dia menyugar rambutnya ke belakang sambil menggigit bibirnya. Dunianya terasa sangat membosankan. Dia ingin melakukan apa yang ia mau tapi ia tidak pernah diberikan kesempatan.
"Kenapa dulu gue harus nurut sama Ayah, sih? Tahu begini, gue mending kabur dari rumah aja!" lanjutnya masih mengomel dengan kaki yang menendang-nendang udara kosong.
"Selain suka minum sama ngerokok, lo juga suka ngomong sendiri begini, ya?"
Kirania menegakkan tubuhnya dan segera menoleh ke samping. Wajah laki-laki yang tadi pagi menjemputnya di kos itu terlihat menatapnya dengan sorot penuh tanda tanya. Kirania segera memasang wajah angkuhnya dan melengos.
"Bukan urusan lo kalau gue suka ngomong sendiri," jawabnya judes.
Cakra tertawa hambar. "Lo masih marah sama gue? Seriously?"
"Memangnya muka gue kelihatan lagi bercanda?" Kirania menoleh dan memandang Cakra dengan wajah datar.
Cakra menggaruk pelipisnya yang tidak gatal sambil mengangguk-angguk paham. "Terserah lo kalau gitu!" katanya kemudian berdiri dan siap pergi dari sana.
Kirania melirik Cakra sebentar. "Mau ke mana lo?" tanyanya.
Cakra menoleh kemudian berbalik. "Mau duduk di tempat lain, lo lagi marah sama gue. Gue nggak enak sama lo kalau duduk di situ," jawabnya.
Kirania memutar bola matanya malas. "Nggak usah sok nggak enak sama gue. Tadi pagi juga lo masuk kamar kos gue nggak pakai permisi, nggak ada rasa nggak enak kayak sekarang." Gadis itu menunjuk bean bag di sampingnya dengan dagu. "Duduk lagi! Gue udah maafin lo."
Cakra melebarkan matanya dengan dengusan yang tak bisa ia tahan. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja Kirania katakan padanya. Apa gadis itu baru saja memberikan perintah padanya? Cakra kemudian duduk kembali meski rasanya dia gemas sekali dengan sikap Kirania hari ini. Dia pikir Kirania adalah gadis manis yang tidak akan membuatnya sakit kepala. Tapi ternyata Kirania adalah gadis keras dengan ego setinggi langit.
"Kenapa lo?" tanya Cakra melihat Kirania memainkan ujung rambutnya sendiri.
Kirania menoleh dan menggelengkan kepala. "Nggak kenapa-kenapa. Gue cuma lagi mikir, kenapa manusia nggak bisa terbang?"
Cakra hampir tidak berkedip melihat ekspresi Kirania yang kini sedang sibuk memandang langit sore di atas mereka. Beberapa burung terlihat terbang berkelompok. Laki-laki itu belum menjawab pertanyaan Kirania yang tidak ia duga akan keluar dari bibir gadis galak itu.
"Seandainya kita bisa terbang, kita bisa pergi ke mana aja yang kita mau. Nggak perlu beli tiket pesawat. Eh!" Kirania kemudian menghadap ke arah Cakra. "Lo pernah nonton 500 Days of Summer?" Kirania memandang temannya itu dengan mata menyala. "Menurut lo, siapa yang menyebalkan di film itu?" lanjutnya dengan tubuh yang sedikit ia condongkan ke arah Cakra.
Cakra terlihat sedang berpikir sebentar dengan dahinya yang berkerut dan mata yang sedikit memicing karena merasa tidak yakin dengan jawabannya. "Eumm..." Dia melihat wajah Kirania yang nampak sangat tertarik dengan jawaban yang akan ia utarakan. "Summer?" jawabnya dengan nada ragu-ragu.
Kirania memajukan bibirnya seperti bebek sambil manggut-manggut. "Seperti kebanyakan orang yang gue kenal. Mereka cenderung menyalahkan Summer." Gadis itu kemudian kembali menatap jauh ke angkasa. "Lo mau tahu jawaban gue kalau ada yang tanya tentang siapa yang menyebalkan di antara mereka berdua?"
Cakra mengangguk dengan sedikit ragu. "Memangnya siapa yang menurut lo menyebalkan?"
Dia mencoba fokus dengan gadis di sampingnya itu. Kirania bersedekap dengan matanya yang berbinar penuh semangat.
"Menurut gue mereka berdua sama. Sama-sama menyebalkan! Tapi sama-sama ingin dipahami juga," jawabnya. "Lo mau tahu kenapa?" Kirania kembali menoleh ke arah Cakra yang kini sedang menyimak penjelasannya.
"Kenapa?" tanya Cakra yang mulai penasaran dengan jawaban gadis itu.
"Hidup ini berputar, dunia ini terus bergerak. Tidak ada yang menetap selamanya dan tidak ada yang pergi tanpa ada yang datang." Kirania tersenyum.
Cakra tidak paham dengan ucapan gadis itu. Kirania adalah salah satu gadis ajaib yang baru Cakra temui. Obrolan random yang kini tercipta sekarang mulai menarik perhatiannya. Laki-laki itu bertopang dagu dan tetap mendengarkan ocehan Kirania yang entah akan bermuara ke mana.
"Lalu?"
Kirania melirik menatap wajah Cakra dengan serius. "Sebenarnya Summer sudah berhasil membuat Tom bahagia. Obrolan mereka sangat nyambung tapi tiba-tiba Summer resign. Dia kayak seenaknya sendiri. Semua penonton ingin ending yang bahagia dengan bersatunya Tom dan Summer, banyak yang berharap hubungan mereka akan awet selamanya. Tom terlihat mengharapkan hubungan mereka akan kembali seperti semula. Menurut gue kayak belum bisa menerima bahwa Summer berbuat baik padanya tapi bukan berarti ingin menjalin hubungan serius dengan Tom, dia berekspektasi tinggi ke Summer layaknya manusia kebanyakan." Kirania tertawa pelan.
Dia kemudian menggelengkan kepala pelan. "Di dunia ini, manusia tidak seharusnya meletakkan ekspektasinya terlalu tinggi tanpa melihat risiko yang harus diterima karena seperti yang gue bilang tadi, hidup tetap berputar, semesta tetap bergerak. Perasaan bisa berubah dan hubungan seseorang dengan manusia lainnya atau bahkan dengan Sang Pencipta juga bisa renggang atau justru semakin erat."
Cakra kemudian mengangguk setelah menangkap penjelasan Kirania. "Gue berharap kalau hubungan pertemanan kita akan menetap selamanya dan nggak renggang, Ki," ucapnya seraya tersenyum lebar.
"Gue nggak bisa jamin," sahut Kirania yang membuat Cakra berhenti tersenyum.
"Kenapa?"
"Karena lo suka bikin gue kesal! Ingat, ya, Ca! Hidup gue nggak cuma buat ngurusin manusia yang suka bikin sebal kayak lo," jawab gadis itu.
Cakra menggaruk pelipisnya. "Oh, okay."
Sesaat kemudian Kirania tertawa melihat ekspresi kaget Cakra. "Sebenarnya gue juga maunya begitu tapi gue takut juga kalau lo jatuh cinta sama gue tapi gue malah sama cowok lain, gimana?" Gadis itu memicingkan mata dengan senyuman lebar, terlihat sekali sedang menggoda Cakra.
"Nggak! Gue nggak akan suka sama lo!" Cakra menggelengkan kepala penuh rasa percaya diri. "Lo bukan tipe gue, Ki. Gue suka cewek yang anggun dan juga hangat. Lo aja orangnya galak begini, gimana gue bisa suka sama lo?"
Kirania memukul bahu Cakra. "Awas, ya! Kalau lo cinta sama gue, baru tahu rasa!" kata Kirania tak terima karena merasa tertolak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
RomanceKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...