Undici

507 16 0
                                        

Kirania melipas celemek dan melipatnya dengan rapi. Dia meletakkan benda itu kembali ke tempatnya semula. Dahinya terasa kaku dengan bibir yang terkatup rapat. Tangannya terkepal dengan mata yang menyusuri sudut-sudut dapur sampai dia menemukan benda yang ia cari yaitu tasnya yang ia letakkan di dekat tempat cuci piring.

Gadis itu mengambil tas dan melangkah menuju ke arah pintu apartemen. Dia menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang di mana ia bisa melihat pintu kamar Cakra yang sedikit terbuka. Hembusan napas yang terdengar berat keluar dari bibirnya. Dia merasa aneh karena berada di antara kedua orang yang bahkan tidak lagi menyadari jika dirinya ada di sana.

Kirania melangkah pergi dari sana tanpa berpamitan terlebih dahulu. Biarlah nanti dia mengirimkan pesan singkat kepada Cakra. Dia tidak enak hati jika harus mengetuk pintu kamar laki-laki itu hanya untuk berpamitan. Lagipula kenapa dia harus masuk ke sana dan mengganggu mereka? Mereka berdua bahkan seperti tidak ingat bahwa Kirania masih ada di dalam apartemen itu.

Kirania sampai di kosnya dengan wajah kecewa. Entahlah, dia sendiri juga tidak tahu kecewa terhadap apa dan kepada siapa. Dia sendiri yang berinisiatif untuk bergegas ke apartemen Cakra setelah mampir ke apotek sebentar. Dia juga yang bersedia memasak untuk laki-laki itu. Semuanya dia lakukan tanpa paksaan.

Seharusnya, Kirania merasa biasa saja. Tapi tidak, dia tidak bisa merasa baik-baik saja. Sekarang, Kirania bahkan hanya menatap ponselnya yang sepi. Tidak ada pesan dari Cakra. Dia mendesah untuk yang ke sekian kalinya.

"Kenapa gue harus berharap hal konyol kayak gini, sih?!" gerutunya.

Kirania menutupi seluruh tubuhnya sampai ke atas kepala dengan selimutnya. Gadis itu memejamkan mata dengan kerutan-kerutan di dahinya. Sampai kemudian telinganya menangkap adanya sebuah pesan masuk dari ponsel yang ia letakkan di bawah bantalnya.

"Tuh, kan! Apa gue bilang! Dia pasti nyariin gue," katanya dengan tangan yang sibuk meraba-raba bagian bawah bantalnya sendiri.

Kirania diam dengan mata yang tidak berkedip membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. Bukan dari Cakra. Sepertinya dia terlalu percaya diri sampai dia lupa kalau Cakra sedang bersama seseorang yang mungkin laki-laki itu cintai.

Harsa, ya... dia yang mengirim pesan kepada Kirania malam itu. Kirania melirik ke kanan dan ke kiri sejenak. Matanya menyipit dengan tangan yang masih menggenggam ponselnya. Dia bangun dari tidurnya dan ranjangnya berbunyi akibat gerakannya yang penuh tenaga dan mendadak.

Jemari gadis itu menari di atas layar ponselnya dengan gigi-gigi yang menggigit bibir bawahnya. Dia menaikkan satu alisnya ke atas dan menekan tombol kirim. Pesannya sudah terkirim dan dia yakin bahwa Harsa yang tadinya bertanya apakah dirinya sedang sibuk atau tidak akan langsung meminta maaf karena sudah menganggu waktu istirahatnya. Kirania menurunkan kedua kakinya sampai menyentuh permukaan lantai yang terasa dingin.

Tak berapa lama, suara pesan balasan masuk ke dalam ponselnya. Kirania dengan enggan membukanya dan matanya melotot seolah-olah hendak keluar dari tempatnya ketika membaca sebaris pesan dari laki-laki yang sangat ia yakini berusia lebih tua darinya itu.

"Kalau besok ada waktu, bisa kita ketemu di tempat makan yang tadi? Jamnya kayak tadi juga. Sorry kalau gue ganggu waktu lo."

Kirania mengerutkan kening dalam. Bibirnya maju seperti bebek dengan bola mata yang bergerak-gerak. Pada akhirnya dia menyetujui ajakan Harsa. Dia pikir tak ada salahnya untuk menghabiskan waktu dengan teman barunya itu.

"Semoga Harsa jauh lebih menyenangkan dari Cakra," ucap Kirania dengan wajah masam.

***

"Ki!"

Kirania yang baru saja keluar dari lift segera menoleh ke belakang. Matanya membola melihat siapa yang baru saja ikut keluar dari benda itu. Cakra yang masih berwajah sedikit pucat dan juga terlihat lemas kini tersenyum kepadanya.

"Mau ngapain dia?" batin Kirania malas.

"Lo mau pulang, ya?" tanya Cakra.

Kirania mengangguk tanpa mau bersusah payah mengeluarkan suaranya. Gadis itu tidak ingin banyak berbasa-basi dengan laki-laki di depannya itu. Cakra adalah tipe teman yang akan melupakannya saat sedang bersama dengan gadis yang ia sukai. Seperti tidak ada tempat lagi bagi Kirania di hidup Cakra.

Tapi, jika dipikir-pikir lagi, kenapa Kirania harus pusing? Bukankah dia dan Cakra tidak punya hubungan lebih dari sekedar teman? Gadis itu menghela napas panjang saat Cakra kini justru menatapnya dengan wajah yang terlihat seperti sedang merasa bersalah.

"Ki, lo semalam ke-"

"Ca, gue lagi buru-buru banget sekarang. Kalau lo mau ngobrol sama gue kayaknya nggak bisa sekarang," kata Kirania dengan wajah menyesal.

Dia berbalik tanpa menunggu tanggapan dari lawan bicaranya. "Bye, Ca!" Kirania melambaikan tangannya tanpa memandang Cakra.

Gadis itu pergi begitu saja dan membuat Cakra menyugar rambutnya ke belakang dengan wajah kecewa. Dia kemudian ikut pergi dari sana. Kirania bergegas pergi ke tempat di mana dia dan Harsa hendak bertemu. Gragnano Restaurant adalah nama tempat di mana mereka berdua kini duduk dan menikmati sajian makana malam yang selalu menggugah selera makan Kirania.

"Lo suka banget sama makanan Italia, ya?" tanya Harsa dengan senyumannya.

Tampan, Harsa memang tampan dan jujur saja bagi Kirania sendiri Harsa memang terlihat sangat menarik dengan lengannya yang lebih kekar daripada lengan Cakra serta jambangnya yang membuat laku-laki itu terlihat lebih dewasa. Jika ada yang bertanya kepada Kirania seperti apa wajah Harsa maka dia akan menjawab Harsa mirip dengan salah satu artis tanah air yang bernama Abimana Aryasatya dalam versi lebih muda.

Kirania mengerjapkan matanya dan menggelengkan kepalanya ketika teringat bahwa nama Cakra juga Aryasatya, lebih tepatnya Cakra Aryasatya Wijaya. Dia bahkan baru sadar kalau sudah membandingkan Harsa dengan Cakra. Kenapa harus Cakra? Entahlah, Kirania juga tidak tahu.

"Kalau lo nggak suka kenapa mau gue ajak makan di sini?" Harsa mengerutkan kening.

"Hah?" Kirania membuka bibirnya tapi dia bingung apa yang sedang dibicarakan oleh Harsa.

Harsa terkekeh pelan. "Lo lagi mikirin sesuatu, ya?" tanyanya dengan suara yang terdengar sabar.

Kirania meneguk ludah pelan dengan wajah tak enak. Dia tersenyum tipis dan mengangguk. Kirania merasa menjadi teman paling menyebalkan saat ini. Bagaimana mungkin dia malah kepikiran Cakra di saat dia sedang bersama Harsa?

"Sorry, lo tadi tanya apa, ya?" Kirania bodoh sekali.

Dia ingin melempar tubuhnya sendiri ke laut karena sangat malu. Melihat Harsa yang tertawa kecil membuatnya terlihat seperti gadis tidak tahu diri. Sudah ditraktir makan tapi tidak fokus dengan obrolan di meja itu.

"Gue tanya, lo suka banget sama makanan Italia? Lo tadi geleng-geleng kepala jadi gue kira lo nggak suka," jawab Harsa.

Kirania memejamkan mata sejenak dan menyentuh keningnya sendiri. "Aduh, maaf banget gue sempat nggak nyambung tadi," katanya.

"Sekarang bisa disambungin?" Harsa menahan senyuman di kedua ujung bibirnya.

Matanya menatap intens ke arah Kirania yang kini meneguk ludah pelan dan mengangguk dengan sedikit ragu. "Gue jawab sekarang," katanya. "Gue suka makanan Italia, gue suka negara itu dan gue..." Kirania diam dan sesaat kemudian dia menggelengkan kepala. "Ya... gue suka," lanjutnya setelah ia tersadar kalau dia terlalu banyak mengatakan hal yang tidak perlu Harsa tahu.

Harsa mengangguk paham. "Gue juga lumayan suka sama makanan Italia. Kebetulan banget ketemu sama lo di sini kemarin."

Kirania tidak tahu harus mengatakan apa. Konsentrasinya sudah terpecah dan dia ingin segera melangkah pergi dari sana. Rasa tidak nyaman yang tiba-tiba datang karena teringat dengan Cakra membuat gadis itu ingin mengumpat.

Dan begitulah adanya, mereka pulang setelah mereka selesai makan dan mengobrol beberapa hal. Kirania bersyukur karena Harsa berkata kalau laki-laki itu ada pekerjaan yang harus ia kerjakan di rumah. Itu sangat membantu gadis itu yang sedang merasa tidak nyaman dengan pertemuan mereka kali itu.

Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang