Kirania berdiri dengan kedua tangan saling bertaut. Bagaimana caranya dia bisa menemui Cakra? Dia berdiri dengan gugup di depan ruangan laki-laki itu. Senin pagi bukanlah hari yang menyenangkan untuk meminta maaf karena berbagai pekerjaan yang sudah siap menyiksa dirinya ada di depan mata. Tapi, Kirania tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan hal yang terjadi kemarin di mana Cakra marah kepadanya.
Bahkan jika sebenarnya masalahnya bukan ada pada dirinya, tidak apa bagi Kirania meminta maaf terlebih dulu dan berbesar hati. Baginya hubungan pertemanan yang terjalin di antara dirinya dan juga Cakra lebih dari sekedar egonya sebagai manusia biasa yang tak mau disalahkan.
Setelah menghela napas dalam, dia mengulurkan tangan hendak mengetuk pintu di depannya. Namun sebelum dia melakukannya, pintu tersebut sudah lebih dulu terbuka dari dalam. Kirania berjenggit kaget. Matanya membola dan kakinya sontak melangkah mundur. Bibirnya tiba-tiba terasa kelu begitu melihat Cakra yang kini berada di ambang pintu itu. Padahal semalaman dia sudah merangkai kata untuk meminta maaf kepada laki-laki itu.
"Ca."
"Ki."
Mereka memanggil satu sama lain secara bersamaan. Kirania menelan ludah pelan dan mencoba tersenyum meski senyumannya terlihat tidak sampai mata. Sementara Cakra menunjuk gadis di depannya dengan telunjuk sekilas.
"Lo... mau ngomong sama gue?" tanya Cakra tanpa banyak basa-basi.
Kirania mengangguk. "Iya, gue mau..."
"Kita ke rooftop sekarang!" potong Cakra ketika Kirania bahkan sedang mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan apa yang ada di dalam kepalanya.
"Eh?" Kirania terkejut kala Cakra menarik tangannya dan membawanya pergi ke tempat yang dimaksud.
Di sana, Kirania duduk berhadapan dengan Cakra yang terlihat tenang. Tapi Kirania tahu bahwa Cakra pasti juga seperti dirinya. Berpikir bahwa masalah kemarin memang harus segera diselesaikan. Gadis itu menghela napas dalam. Cakra mempersilakan dirinya untuk berbicara terlebih dahulu.
"Gue mau minta maaf soal kejadian kemarin, Ca," ucap Kirania pelan.
Dia menunduk dengan mata yang sibuk menatap ujung sepatunya sendiri. Rasanya tidak nyaman baginya jika harus meminta maaf sambil memandang wajah Cakra. Apa yang dia rasakan memang sangat mengganggu.
"Ki..." Cakra meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya dengan erat. "Lo nggak salah." Dia terlihat menyesal tapi Kirania justru menjadi bingung.
"Maksud lo?" Kirania mengerjapkan mata.
Suasana di sana cukup tenang. Awan di atas gedung itu menutupi cahaya matahari yang menyinari bumi. Angin berdesau menerbangkan helaian rambut Kirania dan membuat Cakra bertindak di luar dugaan Kirania. Laki-laki itu membetulkan letak rambut Kirania dengan telaten. Kirania hanya diam dan tidak bergerak. Bahkan untuk bernapas saja rasanya dia kesulitan.
Aroma tubuh Cakra begitu menggoda hidungnya, menggelitik dan membuatnya merasa nyaman di waktu yang bersamaan. Laki-laki itu menarik tangannya kembali setelah ia pikir rambut Kirania tak lagi berantakan. Tindakan impulsive? Ya, Kirania pikir memang demikian. Jadi dia tidak ingin membahas hal tentang Cakra yang tiba-tiba merapikan rambutnya karena terbang disapu oleh angin.
"Gue..." Cakra kembali bersuara.
Kirania melirik tangan kanannya yang masih digenggam oleh Cakra. Dia tidak berani menariknya karena ternyata saat tangannya digenggam oleh Cakra rasanya sangat menenangkan jiwa. Kenapa bisa demikian? Kirania juga tidak tahu.
"Gue marah karena sebenarnya ego gue terluka waktu Eriska bilang kayak kemarin. Gue udah lega karena dia udah nggak pernah lagi menegaskan masalah hubungan kami yang..." Laki-laki itu mengangkat bahunya. "Memang nggak pernah bisa melangkah ke arah yang gue mau. Dia nggak pernah mau mencoba berkomitmen sama gue, Ki."
Melihat pancaran mata Cakra yang tak seterang biasanya membuat hati Kirania terasa seperti sedang disentil. Dia meneguk ludah pelan sambil tetap diam dan mendengarkan apa yang selanjutnya hendak Cakra katakan kepadanya.
"Gue berencana langsung melamar dia karena gue pikir nggak ada lagi hal yang bikin dia ragu tentang gue. Dan apa yang dia bilang kemarin seolah-olah nampar gue, ego gue nggak bisa terima gitu aja. Gue marah dan menyalahkan lo yang sebenarnya juga nggak tahu apa-apa tentang hubungan gue dan Eriska. Dan hal itu karena gue pikir karena lo bahas tentang kejadian kemarin dan berakhir dengan Eriska yang mungkin merasa kembali ragu sama gue." Cakra menatap mata Kirania dengan dalam. "Gue... yang seharusnya minta maaf sama lo, Kiya."
Kiya.
Kirania tersenyum tipis. "It's okay, Ca. Di dunia ini, satu hal bisa terjadi karena banyak kemungkinan. Kita nggak tahu kemungkinan mana yang ternyata benar-benar menjadi faktor utamanya. Gue nggak marah sama lo. Justru gue ngerasa nggak enak karena bikin hubungan lo dan Eriska jadi begi-"
"Nggak!" Dengan cepat Cakra menyahut. "Semalam gue mikir dan gue sadar kalau selama ini hubungan kami memang kayak begini. Nggak ada hal lain yang bisa bikin gue membela diri karena memang demikian adanya, Ki." Dia tersenyum.
Kirania mengangguk seraya menghela napas dalam. Dia tersenyum dan balik menggenggam tangan Cakra dengan sama eratnya.
***
Liburan tak pernah terasa membosankan jika dihabiskan bersama dengan orang-orang yang menyenangkan. Begitu juga Kirania yang akhirnya merealisasikan rencananya untuk pergi ke Bandung bersama dengan Harsa. Mereka tidak hanya pergi berdua. Kirania memang dijemput oleh Harsa di kosnya dengan taksi online dan akan bertemu dengan Rora dan Cakra di stasiun.
Ya, mereka ingin pergi ke Bandung naik kereta api. Menyenangkan sekali, kan? Kirania duduk bersama Rora di saat Harsa sudah mempersiapkan tiket dengan nomor urut untuk mereka berdua supaya bisa duduk bersama. Tapi sayang sekali, Kirania meminta Cakra untuk bertukar tempat duduk dengan dirinya dan membuat Harsa harus duduk di samping Cakra yang hanya diam saja sampai kereta mereka berangkat menuju Bandung.
Rora mengeluarkan sebungkus besar keripik kentang yang sempat ia beli di minimarket. "Lo harus cerita semuanya ke gue. Selama ini gue diam karena gue nunggu lo sendiri yang buka mulut tapi kayaknya lo nggak akan mau cerita apa-apa ke gue karena udah dua minggu gue menunggu." Gadis itu membuka bungkus keripik kentang dengan rasa sapi panggang miliknya dan memakannya dengan mata yang sibuk menatap Kirania dengan memicing.
Kirania menoleh. Tempat duduk mereka berjarak satu bangku dengan Cakra dan Harsa. Meski berada di deret yang sama tapi tetap saja Kirania dan Rora pasti sangat kesulitan jika hendak mengajak bicara Harsa dan Cakra. Ada dua bangku di depan mereka yang memisahkan.
"Cerita tentang apa, sih?" Kirania bingung.
Dia memasang bantal leher yang dibawakan oleh Rora dan bersedekap sambil membuang pandangan ke luar jendela. Sementara Rora, gadis itu mengunyah keripiknya dengan wajah tak percaya.
"Lo pura-pura nggak ngerti, ya?" tuduh Rora.
Kirania mendesah pelan dan kembali menatap Rora. "Gue beneran nggak ngerti," ucap gadis itu dengan ekspresi jujur.
"Ada yang lihat lo dan Cakra pegangan tangan di rooftop," kata Rora.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
RomanceKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...