Kirania terbangun dari tidurnya. Dia menoleh ke belakang di mana seharusnya Cakra berada. Tapi laki-laki itu sudah taka da di atas ranjangnya. Kirania mendengus dengan keras. Dia bangkit dan duduk dengan rambut acak-acakan seperti singa. Gadis itu menguap lebar dan meregangkan tangannya dengan lebar ketika suara pintu kamar mandi dibuka oleh seseorang.
Mulut Kirania masih terbuka lebar dengan kepala menoleh ke belakang. Cakra terlihat keluar dari dalam kamar mandi. Baju yang dikenakan oleh laki-laki itu adalah baju yang sama dengan yang kemarin ia pakai. Kirania buru-buru menutup mulutnya dengan mata melebar sempurna. Dia berdiri dan menatap Cakra yang sudah terlihat segar dengan rambutnya yang setengah basah.
"Gue pinjam handuk yang ada di dalam lemari lo, ya, Kiya," ucap Cakra sambil tersenyum simpul.
Kirania menoleh dan menatap lemari pakaiannya. "Ki- Kiya?" dia bergumam dan untuk sesaat gadis itu terdiam tanpa bersuara.
"Kiya," panggil Cakra seraya duduk di atas karpet di mana selimut Kirania masih terlihat berantakan di sana.
"Kiya?!" Gadis itu melotot tak percaya. "Lo..." Kirania berbalik dan menunjuk Cakra yang terlihat tenang dengan tangan yang sibuk mengusap rambutnya dengan handuk. "Baca tulisan yang ada di bawah foto gue?" tanya Kirania dengan kaget.
"Iya! Ada tulisan begini, 'suatu saat Kiya bakal buktikan ke ayah kalau Kiya bisa ke Italia dengan usaha Kiya sendiri!' gitu." Cakra tertawa melihat wajah semerah tomat milik Kirania.
"Lo kenapa baca-baca tulisan gue, sih?!" Kirania memajukan bibirnya.
"Oh... jadi benar itu tulisan lo, ya?" Cakra mengangguk. "Tenang aja, Ki! Gue yakin kalau suatu saat nanti lo bakal bisa ke Italia seperti impian lo itu," ucapnya sungguh-sungguh.
Kirania ingin memukul kepala Cakra sekarang juga. Tapi mendengar kalimat Cakra yang seolah-olah sedang memberinya sebuah suntikan semangat itu membuat Kirania mengurungkan niat untuk melakukannya. Dia bergumam 'amin' di dalam hatinya dengan tatapan mata yang mulai melunak. Gadis itu menghela napas panjang dan segera pergi ke kamar mandi setelah sebelumnya mengambil pakaian ganti dari dalam lemari.
Setidaknya jika Cakra bisa yakin kalau dirinya bisa pergi ke negara itu maka dia tidak boleh mematahkan harapannya sendiri. Dia harus semangat mengawali hari dan bekerja dengan penuh sukacita karena tidak akan ada yang tahu rezeki seperti apa yang akan ia dapatkan nanti. Siapa yang tahu jika di kemudian hari impiannya benar-benar menjadi kenyataan?
Kirania masih belum mau menyerah meski ia tidak mendapatkan pekerjaannya yang sejak kecil sudah menjadi impiannya tapi dia tidak ingin berhenti begitu saja. Ada banyak sekali semangat di dalam dirinya yang mencuat keluar ketika dia mulai menggerakkan kuasnya di atas kanvas atau pensil di atas kertas. Dia menyukai hal semacam itu yang sayangnya tidak pernah masuk ke dalam kategori yang ada di dalam bayangan ayahnya. Tak apa karena Kirania sudah terbiasa mengalah pada keinginan ayahnya. Bahkan dia rela berhutang kepada Cakra demi dua buah laptop keluaran perusahaan dengan logo buah apel tersebut untuk memenuhi ego kedua adik tiri yang selalu menjadi kesayangan sang ayah.
"Ki, lo mau berangkat bareng gue?"
Kirania baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaian kerjanya. Dia menatap Cakra sambil mengerutkan kening dalam. Gadis itu berdiri di depan cermin dan mulai melakukan ritual paginya sebelum berangkat bekerja. Memakai skincare dan juga makeup sederhana. Setidaknya dia juga melakukan apa yang umumnya wanita lakukan.
"Lo kayaknya masih mabuk, ya?" tanya Kirania.
Cakra menggelengkan kepala dengan cepat. "Enggak! Gue udah sadar banget sekarang," jawab Cakra polos.
"Lo ke sini naik apa?" Kirania mengusapkan pelembab di wajahnya sambil melirik Cakra melalui cermin di depannya.
Cakra melebarkan mata dan tersenyum kaku. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Matanya melirik ke arah kiri sejenak sebelum kemudian kembali menatap gadis yang kini berdecak pelan.
"Gue ke sini naik taksi online, Ki," jawab Cakra. "Eh! Tapi dari mana lo bisa tahu?" lanjutnya.
"Gue nebak aja, Ca. Lagipula lo mabuknya lumayan parah jadi gue pikir nggak mungkin lo bisa sampai ke sini sendirian naik mobil lo apalagi jalan kaki. Lo nggak inget lo kira gue Eriska?" Kirania menoleh ke belakang dan melayangkan tatapan tajamnya.
Cakra menghela napas dalam dan mengangguk. "Sorry." Dia berdiri dan meletakkan handuk yang baru saja ia pakai ke kamar mandi. "Gue nebeng lo kalau gitu," kata laki-laki itu setelah keluar dari kamar mandi.
"Nah! Berarti lo nggak usah sok-sokan ngajakin gue berangkat bareng. Bilang aja mau nebeng gue, Ca." Kirania terkekeh pelan.
Dan mereka berdua benar-benar berangkat ke kantor bersama dengan motor Kirania. Cakra berada di depan sementara Kirania di belakang membonceng laki-laki itu. Jalan ibukota pagi itu terasa sangat menyebalkan karena kemacetan yang mengular. Kirania memandang ke sekitarnya. Polusi udara seolah-olah memancing dirinya untuk mengeluarkan sumpah serapahnya.
"Gila! Kita kesiangan ini, Ca! Makanya macet," ucap Kirania dengan wajah kesal.
"Iya, Kiya."
Kirania melotot. Jujur saja dia belum terbiasa mendengar Cakra memanggilnya dengan sebutan tersebut. Dia menelan ludah pelan dan pura-pura tak mendengar.
"Kiya... nanti kalau gaji kita berdua dipotong, lo kurangi aja utang lo sejumlah dua kali gaji lo yang dipotong itu karena telat masuk kantor." Cakra melirik Kirania melalui kaca spion motor.
Kirania mencubit pinggang Cakra dengan gemas. "Aduh, Ki!" Cakra berjenggit kaget. "Kenapa dicubit, sih?!" gerutunya.
"Kenapa lo manggil gue pakai panggilan itu? Panggil kayak biasanya aja! Dan juga... gue tetap akan bayar sisa utang gue ke lo sesuai dengan jumlah yang seharusnya gue bayarkan," kata Kirania.
"Terserah lo!" sahut Cakra cepat. "Tapi gue mulai suka nyebut lo pakai panggilan 'Kiya' jadi gue nggak akan nurut sama lo buat manggil nama lo kayak sebelumnya." Cakra menarik gas motor Kirania dengan sedikit kencang sampai membuat gadis itu mau tidak mau mencengkram erat ujung baju Cakra.
Kirania belum sempat menanggapi ucapan Cakra karena laki-laki itu mengendarai motornya dengan sedikit kencang. Cakra memilih jalan kecil yang memungkinkan mereka bisa sampai ke kantor dengan lebih cepat. Di saat seperti ini, Kirania enggan mengganggu konsentrasi Cakra. Dia membiarkan laki-laki itu memikirkan cara paling cepat supaya mereka setidaknya tidak terlalu telat sampai di kantor nanti.
"Pegangan, Ki!" Cakra mengeraskan suaranya.
Kirania memajukan wajahnya untuk mendengarkan suara Cakra. Dia meneguk ludah pelan dan menatap punggung Cakra yang terlihat sangat menggoda untuk ia peluk itu. Tapi dia segera mengusir pemikiran anehnya itu. Dia memilih pura-pura tidak mendengar. Dan setelah Cakra berbelok masuk ke dalam sebuah jalan yang berukuran lebih kecil, laki-laki itu tiba-tiba meraih tangan Kirania dan menempatkannya di sekitar pinggangnya.
"Nanti lo bisa jatuh!" dia kembali bersuara dengan suara keras.
Kirania hanya bergumam dan tidak banyak bergerak karena merasa canggung serta bingung. Bagaimana dia harus menatap mata Cakra setelah ini?

KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
Roman d'amourKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...