Quarantanove

309 16 0
                                    

Di keremangan malam, pria itu memilih duduk menjauh dari hiruk pikuk kota. Bintang-bintang yang beberapa saat lalu menemani kini mulai pergi dan digantikan oleh awan kelabu. Dia menengadahkan kepala seraya menatap langit mendung itu.

"Tega banget," gumamnya.

Ingatannya kembali berputar pada kejadian di mana dia melihat wajah Kirania beberapa hari yang lalu. Malam ini, gadis itu pergi ke Italia. Dada Cakra terasa sesak sekarang. Matanya memanas hanya karena mengingat teman baik yang tidak pernah menjadi lebih dari itu.

Dia mengeluarkan rokok dan pemantik api. Kepulan asap mulai membumbung tinggi ke angkasa. Kawasan yang biasanya ramai oleh anak-anak ketika pagi dan sore hari itu nampak lengang. Jam di tangan Cakra sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Hatinya berteriak menyuruhnya segera pergi berlari mengejar Kirania, meski hanya untuk mengucapkan kalimat klise yang biasanya orang lakukan.

Meski sangat ingin tapi hatinya menolak. Dia resah dan nikotin tidak bisa membuat dirinya tenang. Cakra menghela napas dalam dan membuang rokok yang baru beberapa kali dia hisap kemudian menginjaknya. Pria itu berdiri dan berjalan cepat menuju ke arah mobilnya.

Satu nama yang sedari tadi mengusik kewarasannya. Pada akhirnya, Cakra menyerah dan pergi menuju ke bandara. Sampai di sana dia berlarian seperti orang gila dengan mata yang mencari keberadaan gadis kesayangannya itu.

"Kiya," bisiknya lembut saat akhirnya dia melihat punggung gadis yang dia cari.

Langkah kaki Cakra yang sebelumnya nampak tergesa-gesa kini melambat dan berhenti. Dia mengatur napasnya untuk beberapa saat kemudian berjalan kembali mendekati Kirania. Gadis itu terlihat sedang duduk seorang diri. Dia mengenakan topi berwarna putih dan juga hoodie biru.

"Ki?" Cakra berhenti tepat di depan Kirania.

Gadis yang semula sibuk memandangi layar ponselnya itu mengangkat wajahnya. Dia menatap Cakra yang sudah berada di tepat di depan matanya. Kirania terbelalak kaget. Dia berdiri dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.

"Cakra?" Dia melihat ke arah sekitar. "Lo sama siapa ke sini?" tanyanya.

"Sendirian," jawab Cakra cepat.

"Ki!"

Kedua orang yang sedang berdiri berhadapan itu menoleh ke satu arah yang sama. Aurora, teman baik Kirania muncul dengan membawa dua cup kopi dan juga dua kantong berisi roti kopi yang sering ditemui di bandara dan juga stasiun kereta.

Aurora berhenti melangkah saat dia melihat keberadaan Cakra di depan Kirania. Dia menggigit bibirnya sambil melirik ke samping sejenak. Kemudian dia melangkah maju dan meletakkan kopi serta roti itu di atas kursi tunggu.

"Ini buat kalian berdua. Silakan mengobrol! Gue mau beli kopi di kafe sebelah sana," ucap Rora yang seolah mengerti dengan kondisi kedua temannya itu.

Setelah melihat Kirania mengangguk, Rora segera pergi meninggalkan kedua temannya itu. Dia berjalan cepat menuju ke kafe yang tak jauh dari sana. Wajahnya terlihat penasaran tapi dia bisa tetap berada di sana.

Ketika Rora sudah tak lagi terlihat oleh matanya, Kirania duduk. Dia membiarkan Cakra duduk di sampingnya. Tangan mereka sama-sama membawa kopi dan juga roti yang dibeli oleh Rora. Dengan perlahan, Kirania meminum kopinya yang masih panas itu.

"Apa lo bakal lama di sana?" tanya Cakra sambil memandang bungkusan berisi roti di tangannya.

Kirania tersenyum dan menggelengkan kepala. "Gue nggak tahu, Ca. Sejujurnya gue maunya pindah selamanya dari sini." Kirania menoleh dan melihat wajah sedih Cakra.

"Apa gue masih bisa hubungin lo besok?" pria itu melihat ke arah mata Kirania yang terpancar cahaya menentramkan bagi hatinya.

Kirania langsung mengangguk tanpa ragu. "Bisa!"

"Kalau gue minta lo tunggu gue, apa lo bisa?"

Kirania yang semula tersenyum lebar kini mengatupkan rahangnya. Dia menatap Cakra tanpa berkedip. Pertanyaan Cakra membuat otaknya harus bekerja dengan keras. Dia diam saja dan tidak menjawab. Sampai kemudian Cakra terkekeh pelan.

"Gue udah putus dari Jelita sebelum lo nolak gue, Ki. Dia selingkuh," kata pria itu berusaha jujur.

"Hah?" Mata gadis itu melotot.

"Waktu itu gue udah berharap lo menerima gue. Kasus perselingkuhan Jelita udah terjadi sebanyak dua kali. Dan yang terakhir kemarin, gue butuh waktu buat mengumpulkan semua bukti. Lucunya ketika gue sedang berada di hubungan yang retak, lo datang dan cium gue gitu aja." Pria itu meminum kopinya.

Rasanya tenggorokannya kering sekali. Mengatakan semuanya kepada Kirania secara gamblang tentang itu semua bukanlah hal yang mudah. Setelah Kirania tidak berniat untuk menjalin hubungan dengannya, Cakra berpikir bahwa dia harus melindungi harga dirinya. Dia tidak mengatakan apa-apa kepada Kirania tentang masalahnya. Dia berusaha terlihat baik-baik saja meski nyatanya saat itu harga dirinya sudah diinjak dua kali oleh dua gadis berbeda.

"Ca, gue..." Kirania menelan ludah pelan ketika tak menemukan satu kata yang tepat untuk berbicara.

"Perasaan gue ke lo nggak pernah salah, Ki." Cakra membuat Kirania semakin sulit berbicara.

Otak gadis itu terlalu lambat untuk mengolah data yang diterima. Mata Kirania memang tak lepas dari wajah Cakra tapi bibirnya terkunci rapat.

"Gue cuma telat sadar aja," ucap Cakra sambil terkekeh.

"Ca-"

"Gue suka sama Jelita tapi jantung gue nggak pernah berdebar tiap ketemu dia, Ki. Lo boleh anggap gue cowok brengsek karena macarin Jelita padahal sebenarnya yang gue cinta itu lo." Cakra meminum kopinya lagi. "Gue selalu denial sama perasaan gue sendiri ke lo. Salah gue, Ki. Gue udah terbiasa bareng sama lo sebagai teman. Rasanya aneh waktu gue mulai curiga sama perasaan gue sendiri ke lo. Gue nggak percaya dan gue menolak," lanjut pria itu.

"Karena gue bukan tipe cewek yang lo suka," sahut Kirania sambil tersenyum tipis.

"Hm!" Cakra mengangguk.

"Ca-"

"Gue cinta sama lo, Ki. Bahkan ada Jelita atau enggak, perasaan gue nggak pernah berubah. Take your time! Gue nggak akan nyuruh lo buat nunggu gue. Just... take your time as long as you are happy."

Senyuman Cakra terpatri jelas di benak Kirania. Bahkan ketika Rora kembali dan membuat lelucon di depan mereka berdua, kepala Kirania tetap dipenuhi oleh sosok Cakra. Dia bahkan tidak tertawa lepas seperti biasanya.

Dan waktu yang entah mereka tunggu untuk tiba atau tidak akhirnya terdengar. Kirania harus pergi dengan dilema yang kini menguasai hatinya. Sedangkan Cakra terlihat pura-pura tegar dan menerima, meski hatinya melarang Kirania pergi.

"Hati-hati, ya, Ki!" Rora meneteskan air mata ketika memeluk Kirania. "Selalu kabarin gue, jaga kesehatan dan jangan bikin ulah di sana!" ucapnya seperti seorang ibu yang melepas kepergian anaknya.

Kirania tertawa dan dia tidak bisa menahan air matanya. Rora adalah teman yang sangat baik baginya. Dia berjanji tidak akan melupakan Rora. Dan kini giliran Cakra yang mengucapkan kata perpisahan.

"Bahagia, ya, Ki! Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungin gue. Kata-kata gue tadi jangan dijadiin beban. Gue ikut senang kalau lo sukses di sana. Jangan lupa makan dan minum vitamin. Jangan begadang," ucap pria itu dengan tulus.

Kirania mengangguk sambil tersenyum. "Lo juga jangan lupa jaga kesehatan!" katanya.

Gadis itu menjabat tangan Cakra. Namun, Cakra justru menariknya dan memeluk tubuh Kirania dengan erat. Mata Kirania melotot. Dia melirik Rora. Temannya itu hanya mengangguk ringan dan tersenyum tipis. Kirania menelan ludah dan membalas pelukan Cakra.

Ada debaran halus yang tidak bisa dia katakan. Debaran yang kemudian berubah semakin cepat dan keras seperti genderang yang sedang ditabuh. Kirania memejamkan mata dan menikmati aroma tubuh Cakra. Meski hanya sesaat tapi dia akan mengingat pelukan hangat yang menenangkan ini.

Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang