Kirania gagal menunda pertemuannya dengan keluarga Harsa. Laki-laki itu terus menyakinkan sang kekasih supaya menyetujui idenya tersebut. Kirania pada akhirnya menyerah dan tidak lagi mendebat ucapan Harsa. Harsa kemudian tersenyum dan mengusap kening Kirania yang berkerut-kerut karena terlalu lama berpikir.
"Tenang, Sayang. Semuanya bakal baik-baik aja. Keluargaku ramah, kok." Harsa kemudian mengecup pipi Kirania sekilas.
Gadis itu tersenyum kaku. Dia sekarang berpikir kalau Harsa suka sekali menunjukkan perhatiannya dengan cara kontak fisik. Meski Kirania masih belum terbiasa tapi gadis itu berusaha menerima. Dia yakin kalau nanti dirinya akan mulai terbiasa dengan perlakuan Harsa kepadanya.
"Tapi nanti kamu di samping aku terus, ya?" pinta Kirania.
Tanpa ragu, Harsa mengangguk sebagai tanda setuju. Mereka kemudian pergi ke rumah Harsa yang letaknya memang searah dengan kos Kirania. Sampai di halaman rumah sederhana nan asri itu, Kirania tidak langsung turun. Matanya spontan menatap ke arah perempuan paruh baya yang rambutnya sudah mulai memutih di bagian atas. Perempuan itu berdiri sambil memegang gunting tanaman. Kegiatan seorang ibu di sore hari yang terlihat menyenangkan.
"Itu mamaku, Sayang," kata Harsa setelah melepaskan sabuk pengamannya.
Kirania menoleh ke arah sang kekasih dan tersenyum. Harsa nampak mengarahkan pandangannya kepada sang mama dan melambaikan tangannya disertai senyuman lebar. Senyuman yang membuat hati Kirania merasa nyaman. Mama Harsa sudah melihat kehadiran mereka jadi tidak ada alasan bagi Kirania untuk terus berdiam diri di dalam mobil.
Mereka turun dan langsung menyalami mama Harsa dengan sopan. "Siapa ini? Cantik banget," tanya mama Harsa yang bernama Susan itu.
"Ini... pacar Harsa, Ma." Harsa menjawab sambil memeluk pinggang Kirania.
Kirania tersentak kala Harsa menarik pinggangnya supaya berdiri lebih dekat dengan laki-laki itu. Kirania tersenyum ramah dan memperkenalkan diri kepada calon ibu mertuanya itu. Oh! Menyebut mama Harsa sebagai calon ibu mertua membuat Kirania malu sendiri. Dia merasa belum pantas mengingat apa yang hatinya simpan. Tentang teman baiknya dan tentang kisah mereka yang tak pernah beranjak ke mana-mana.
Kirania kemudian dibawa masuk ke dalam rumah. Tempat itu terasa nyaman dan juga tentram. Kirania melihat ada pigura yang terpasang di dinding ruang keluarga Harsa. Foto Susan bersama suami dan juga tiga anaknya. Setahu Kirania, Harsa adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak perempuannya sudah menikah dan kini tinggal di Belanda bersama sang suami. Kakaknya tersebut dikaruniai seorang putri yang cantik.
Adik Harsa masih duduk di bangku kuliah dan dari cerita singkat Harsa, adiknya itu akan lulus sekitar satu tahun lagi. Kirania baru tersadar akan sesuatu ketika duduk di kursi dengan Susan yang berada di depannya. Harsa memang jarang sekali bercerita tentang keluarganya kepada Kirania. Laki-laki itu hanya akan bercerita secara singkat dan seingat Kirania memang hanya beberapa kali Harsa berbicara tentang kedua orang tua serta saudara-saudaranya. Dan yang membuat Kirania sekarang merasa bersalah adalah karena gadis itu tidak benar-benar menanggapi cerita Harsa dengan baik. Dia cukup pasif untuk bertanya tentang keluarga Harsa dan itu membuat Kirania merasa buruk saat ini.
Gadis itu menoleh dan menatap Harsa dengan lembut. "Thank you," ucapnya lirih.
Harsa tidak berkedip menatap wajah cantik kekasihnya itu. Dia tidak tahu apa maksud Kirania mengucapkan terima kasih kepadanya. Tapi yang jelas suara berbisik gadis itu sungguh menenangkan dan merasuk ke dalam relung sukmanya. Kirania terlihat berbincang dengan Susan dan juga Yoshi, papa dari Harsa.
"Adiknya Harsa nggak pulang, rasanya rumah jadi sepi." Yoshi tersenyum. "Kalau Harsa hampir setiap hari pulangnya malam banget. Om udah wanti-wanti biar nggak antar kamu pulang kemalaman, takutnya kos udah dikunci," lanjut pria paruh baya tersebut.
Kirania mengerutkan kening sekilas sebelum tersenyum lebar dan mengangguk. Dia kemudian menoleh kepada Harsa. Laki-laki itu terdengar sedang berdehem dan menegakkan tubuhnya.
"Papa malam ini jadi ke supermarket sama Mama?" tanya laki-laki itu.
Dan obrolan yang sebelumnya mengarah kepada Kirania, kini sudah beralih ke hal yang lain. Seperti tentang bahan makanan dan juga kehidupan seputar ibu rumah tangga. Susan terlihat sangat antusias bercerita apa saja yang baiknya dilakukan oleh seorang perempuan ketika sudah menikah. Kirania mendengarkan dan sesekali menanggapi. Mereka nampak akrab satu sama lain dan hal yang dibicarakan oleh Susan sama sekali tidak mengganggu pikiran Kirania. Setidaknya untuk saat ini.
"Papa sama mama kamu baik, ya." Kirania memegang mug yang berisi kopi susu yang baru saja dibuat oleh Harsa.
Susan dan Yoshi sudah pergi ke supermarket setelah mereka semua selesai makan. Susan harus membeli keperluan rumah yang stoknya sudah menipis. Kirania dan Harsa sekarang sedang duduk di ruang keluarga. Memandang foto-foto yang dipajang di dinding maupun di meja membuatnya merasa sedikit iri. Dia rindu rumah. Dia rindu ibunya dan dia rindu ketika ayahnya masih begitu perhatian kepadanya.
"Iya," jawab Harsa seraya menyesap kopi hitamnya. "Sekarang kamu nggak perlu cemas lagi karena mereka udah jelas menerima kamu. Dari cara mereka ngajak ngobrol kamu, aku bisa menyimpulkan kalau mama sama papa memang merasa cocok sama kamu, Sayang." Harsa tersenyum.
Kirania ikut tersenyum. "Sa!" Gadis itu mengangkat kepalanya ketika teringat dengan ucapan Yoshi ketika mereka makan bersama tadi.
"Hm?" Harsa meletakkan mug berwarna hitam ke atas meja.
Laki-laki itu mengubah posisinya menjadi menghadap ke arah sang kekasih. Dia menatap Kirania dengan pandangan memuja. Kirania hanya mampu menunduk dan meremas jemarinya. Tiba-tiba saja dia merasa canggung. Dia tidak pernah merasa secanggung ini sebelumnya di depan Harsa. Dipandang sedemikian rupa oleh laki-laki itu nyatanya membuat dada Kirania sedikit berdebar.
"Tadi... papa kamu bilang kalau kamu hampir setiap hari pulang larut malam." Kirania mendongak dan melihat ekspresi terkejut di wajah Harsa. "Kamu... sering lembur, ya?" tanya gadis itu.
Harsa menyandarkan kembali punggungnya ke belakang dan memutus kontak mata di antara mereka berdua. "Oh... Eh... Iya, aku kadang-kadang lembur," jawabnya singkat tanpa menjelaskan apa pun.
"Sa..." Kirania merasa tidak puas dengan jawaban sang kekasih. "Kita nggak setiap hari ketemu dan kalau ketemu juga nggak sampai malam banget. Kamu... beneran lembur di kantor?" tanya Kirania.
Harsa mengangguk dengan tegas. "Ya, aku lembur. Memangnya kamu pikir aku pergi ke mana?" Laki-laki itu menjawab dengan nada tak suka.
"Setiap hari?" Kirania sepertinya tidak tahu jika Harsa benar-benar risih dengan pertanyaannya itu.
"Udah! Kenapa kamu jadi tanya hal-hal yang nggak penting begini, sih?!" Tanpa sadar nada bicara Harsa meninggi dan membuat Kirania terkesiap karena kaget. "Aku kerja bukan main, Ki!" lanjut laki-laki itu dengan tatapan mata tajamnya.
Dalam beberapa saat, Kirania langsung merasa bersalah. Dia menyesal dan meraih lengan Harsa yang kini menampilkan muka masam di hadapannya.
"Maaf, Sa."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
RomantikKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...