Harsa menghela napas panjang. Setelah percakapan yang yang membuat suasana menjadi tidak nyaman itu, Harsa kemudian menawarkan diri untuk mengantarkan Kirania pulang dengan alasan hari sudah malam. Kirania hanya mampu mengangguk dengan tatapan canggung. Dia belum ingin pulang tapi sepertinya Harsa sedang membutuhkan waktu untuk sendirian.
Kirania jelas memberikannya. Dia bukan tipe gadis yang akan merengek tidak ingin pulang dan akan selalu menempel di sisi sang kekasih sampai kekasihnya itu kesulitan untuk bernapas. Kirania adalah gadis yang cukup tahu bagaimana caranya dia menempatkan diri.
Gadis itu bahkan tidak banyak bertanya dan hanya mengucapkan terima kasih kepada Harsa setelah mereka sampai di depan gerbang kos. Setelah dia masuk ke dalam kamarnya, beban di pundak yang terasa berat perlahan menguap. Kirania menarik napas panjang dan membuangnya dengan sedikit keras.
"Gila! Gue salah ngomong!" umpatnya.
Dia masih kesal kepada dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga ucapan. "Kayaknya Harsa marah sama gue," lanjutnya.
Dugaannya ternyata meleset. Laki-laki itu justru menelepon Kirania ketika gadis itu hendak tidur. Suaranya terdengar berat dan juga dalam. Kirania tidak pernah menyangka kalau Harsa akan menghubunginya setelah apa yang dia katakan kepada laki-laki itu.
"Kamu lagi di mana?" tanya gadis itu dengan suara halus.
Terdengar sangat halus, berbeda dari biasanya. Harsa bahkan sampai terdiam beberapa saat kemudian terkekeh pelan.
"Aku belum sampai di rumah. Lagi di depan minimarket sambil minum kopi," jawab Harsa dari seberang telepon.
"Kenapa nggak langsung pulang?" Kirania menghela napas panjang. "Pasti karena omonganku tadi, ya?" Dia memejamkan mata sambil menggigit bibirnya.
"Enggak. Aku udah nggak kepikiran tentang hal itu lagi. Aku..." ucapan Harsa terpotong bersamaan dengan suara seseorang yang terdengar memanggil nama laki-laki itu. "Nanti aku telepon lagi, ya. Ada teman aku. Cepat tidur. Selamat malam, Ki!"
Kirania mengerutkan dahi setelah sambungan teleponnya terputus begitu saja. Dia bahkan belum sempat mengucapkan selamat malam kepada Harsa. Dia menatap layar ponselnya. Kontak atas nama Harsa sudah tidak lagi terlihat di sana. Kirania sedikit kecewa dengan apa yang baru saja terjadi.
"Gue kenapa, sih?!" gerutunya.
Tidak seperti biasanya, malam ini Kirania merasa seperti ada sesuatu yang menggedor pintu hatinya. "Mungkin gue udah mulai suka dan nyaman sama Harsa," lanjutnya.
Dia kemudian meletakkan ponselnya di atas ranjang dan memejamkan mata. Gadis itu tidak berharap jika Harsa akan benar-benar menghubunginya lagi karena dia tahu kalau hari ini Harsa pasti lelah. Lebih baik laki-laki itu beristirahat saja daripada menelepon dirinya di tengah malam. Toh, mereka juga baru saja bertemu malam itu.
Keesokan paginya, Kirania dibuat kaget. Dia menatap ponselnya dengan wajah tak percaya.
"Udah tidur belum, Sayang?"
Satu panggilan tak terjawab
"Selamat tidur, aku sayang kamu."
Gadis itu melompat dari atas ranjangnya dan berpindah duduk di atas karpet. "Harsa beneran telepon gue?" Dia melotot membaca berulang kali pesan yang dikirimkan oleh laki-laki itu.
Kirania tidak tahu jika perasaannya pagi itu akan jauh lebih baik daripada semalam. Pesan yang dikirimkan Harsa cukup membuatnya merasa lega. Setidaknya Harsa tidak marah kepadanya. Kirania bahkan tidak berhenti untuk tersenyum bahkan sampai dia tiba di kantornya.
"Lo kenapa? Kayak orang gila yang biasa lewat depan rumah gue!" Rora menggelengkan kepalanya.
"Iya, lo dari tadi senyum-senyum sendiri. Lo kesurupan setan penunggu ruangan ini, ya?" sahut Adam.
"Lo kalau ngomong nggak pernah dipikir dulu, ya, Dam?" Kirania menoleh dan memicingkan mata kesal.
Adam tertawa terbahak-bahak kemudian berjalan melewati meja Kirania. "Minta permennya satu, ya!" Tangan pria itu meraih salah satu permen yang ada di atas meja Kirania kemudian berlalu pergi tanpa menunggu jawaban Kirania.
Rora berdecak. "Adam memang suka seenaknya! Untung dia ganteng." Dia bersedekap.
Kirania berdiri dan menyentil kening Rora. "Ingat! Lo udah punya pacar!" Kirania menegaskan dengan mata tajam.
Rora tersenyum dan menggaruk pelipisnya. "Eh! Lo kenapa senyum-senyum sendiri?" Rora seketika kembali bertanya.
Kirania kembali duduk dan tersenyum. "Gue mulai tertarik sama Harsa, Ra." Gadis itu menjawab disertai pipi yang bersemu kemerahan.
Rora melebarkan mata. "Serius lo udah move on dari Cakra?!"
"Nggak usah sebut merek pakai suara keras!" Kirania melotot.
"Ups! Sorry!" Rora terkekeh geli.
"Harsa pintar banget ngambil hati gue. Semalam gue makan malam di rumah dia bareng bokap nyokapnya. Mereka terima gue dan memperlakukan gue dengan sangat baik. Harsa juga perhatian banget sama gue. Gue jadi merasa kalau gue ini ada di dalam daftar prioritas hidup dia, Ra. Lo tahu apa yang gue maksud, kan? Perasaan dihargai dan juga diinginkan. Hal yang biasanya diinginkan sama banyak wanita." Kirania menjelaskan dengan mata berbinar-binar.
Rora mengangguk paham. "Memangnya apa yang Harsa lakuin sampai lo luluh begini?"
Kirania mulai bercerita tentang kejadian semalam secara runtut. Bahkan dia juga menceritakan sikap Harsa yang selalu menepati ucapannya. Rora yang mendengar sekelumit kisah Kirania dan Harsa cukup ikut terpesona.
"Lo beruntung, Ki! Harsa itu laki-laki idaman banyak wanita. Siapa yang nggak suka sama cowok kayak dia? Kayak..." Rora sampai bingung menjelaskan apa yang dia maksud. "Aduh! Gue nggak bisa berkata panjang lebar lagi. Pokoknya kalau lo sampai bikin Harsa kecewa, gue bakal ambil dia!" ucap gadis itu.
"Mulut lo!" Kirania kemudian tertawa.
"Eh! Lo udah ciuman belum sama dia?"
Tawa Kirania terhenti begitu saja. Dia melotot dan menatap Rora dengan wajah tegang. Pertanyaan macam apa ini? Kirania segera melempar tatapannya ke arah lain dan mengangkat bahunya acuh.
"Bukan urusan lo!" jawabnya dengan nada judes.
Rora langsung tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi kesal Kirania. Untuk orang seusia Rora dan Kirania, pasangan yang berciuman bukan lagi hal yang tabu untuk dibicarakan. Rora tentu sudah bisa menebak dan Kirania terlalu malas untuk meladeni pertanyaan yang diajukan Rora.
"Enak, kan?" Rora mengedipkan sebelah matanya.
Kirania bergidik ngeri dan langsung melempar Rora dengan pena yang dia raih dari atas meja. "Geli lihat muka lo, Ra!" katanya.
"Ciuman doang atau udah sampai tahan gerilya?" Rora masih belum puas menggoda Kirania.
Gadis itu berdiri dan hendak menjitak kening Rora. Tapi usahanya itu berhenti di tengah jalan ketika sebuah suara membuat kedua gadis itu menoleh dengan mata membulat.
"Maksud lo apa, Ra?"
"Cakra," Kirania tanpa sadar berbisik.
Kaget? Tentu saja. Rora bahkan mengedipkan mata beberapa kali untuk memastikan bahwa dia tidak salah melihat. Ekspresi Cakra terlihat tak suka dan laki-laki itu kini sudah berdiri menjulang di depannya. Dia menatap Rora dengan wajah dingin. Laki-laki itu lantas meraih pergelangan tangan Kirania dan menyeret gadis itu meninggalkan Rora sendirian.
"Ca?" Kirania menatap tangan Cakra yang memegangnya dengan kuat.
"Ikut gue dan jangan banyak tanya sekarang!" bentak Cakra tanpa menatap ke arah Kirania.
"Lho? Kirania!" Rora berdiri dan memanggil Kirania dengan wajah panik.
Kirania menoleh ke belakang dengan wajah bingung. Dia menggelengkan kepala sebagai tanda bahwa Rora tidak perlu mengikutinya. Meski Rora sangat ingin memukul kepala Cakra yang sudah seenaknya kepada Kirania, tapi Rora mencoba menahan diri.
"Lo harus cerita ke gue setelah ini, Ki," batin Rora dengan wajah cemas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
RomanceKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...