Quarantuno

373 16 0
                                    

"Gaji kamu sebulan berapa, sih?"

Kirania yang sedang meminum es kopi susu yang dia beli melalui ojek online itu langsung mendongak. Dia melihat Yanuar dengan secangkir kopi di tangannya. Kopi itu pasti buatan Meuthia. Yanuar memang hampir tidak pernah membuat kopi sendiri semenjak menikahi Meuthia.

"Kenapa memangnya, Yah?" Kirania sebenarnya hanya tidak mau menjawab berapa gajinya karena menurutnya hal tersebut adalah sebuah privasi.

"Daripada kamu jajan kopi kayak gitu, lebih baik kamu nabung mulai sekarang. Kara sebentar lagi kelas dua belas terus kuliah. Ayah cuma berharap kamu bisa bantu bayar urusan uang semester Kara nantinya." Yanuar kemudian menyesap kopinya sambil duduk di kursi yang ada di teras.

Posisi Kirania yang sedang duduk di atas lantai langsung berubah. Dia memilih membelakangi sang ayah setelah ucapan itu terdengar di telinganya. Dia menatap pot bunga yang berada tepat di depan kakinya dengan wajah mendung.

"Memangnya Ayah nggak bisa bayar uang semesternya Kara?" Kirania memberanikan diri untuk balik bertanya.

"Ayah nggak sanggup kalau harus membiayai dua anak sekaligus. Kamu tahu kalau bunda nggak kerja. Sementara usaha Ayah juga sepi sekarang. Saingannya banyak banget. Kalau pelanggan yang kemarin itu adalah pelanggan setia Ayah dari awal Ayah buka toko." Yanuar menghela napas dalam.

"Ayah bisa coba buka usaha yang lain, kan?" Kirania mulai merasa jengkel.

"Bisa tapi buka usaha lain juga butuh modal. Ayah lagi nabung karena bunda pengen jalan-jalan ke Turki. Ayah nggak pernah ngajak bunda jalan-jalan jauh. Kalau uangnya dipakai buat usaha nanti bunda sedih karena nggak jadi pergi liburan," jawab Yanuar dengan sangat enteng.

"Memangnya liburan harus sampai ke Turki? Ayah juga nggak pernah ngajak aku sama ibu jalan-jalan. Memangnya harus pergi jalan-jalan di saat anaknya butuh biaya banyak buat masuk kuliah?" nada bicara Kirania mulai terdengar sinis.

"Kiya!" Yanuar menaikkan suaranya.

Kirania menoleh dan menatap Yanuar dengan mata berkaca-kaca. Di otaknya sekarang sedang terekam bagaimana wajah marah seorang ayah kepada putri kandungnya. Mata Yanuar melotot tajam dengan wajah tegang sambil mencengkram tangan kursi dengan erat. Kirania tidak pernah lupa wajah-wajah Yanuar ketika sedang murka terhadapnya. Sejak kecil dia sudah terbiasa dengan hal seperti ini.

"Apa Ayah pernah mikirin gimana masa depan Kiya? Apa Ayah pernah mencoba membantu mewujudkan mimpi Kiya?" Dia menatap tajam sang ayah. "Ah, bukan membantu..." lanjutnya. "Seenggaknya hanya memberikan dukungan atas mimpi Kiya. Apa Ayah ingat kalau Ayah bahkan nggak pernah memperlakukanku sama seperti kedua anak Ayah yang lain?" Bibir Kirania bergetar hebat.

Yanuar terdiam. Bibirnya seperti dilem sehingga dia tidak bisa membukanya. Ini adalah kali pertama anak sulungnya protes terhadap apa yang dia katakan. Ini adalah kali pertama Kirania berani menatap wajah sang ayah tanpa ada rasa takut. Dan ini adalah kali pertama di mana Kirania meneteskan air mata tepat di depan sang ayah yang hanya duduk diam seperti patung.

Kirania meraih gelas kopinya yang hanya tersisa setengah kemudian berdiri dan berjalan cepat memasuki rumah. Dia tidak menggubris suara Yanuar yang memanggilnya dari arah teras rumah. Kirania justru masuk ke dalam kamar dan membanting pintunya sampai membuat Meuthia yang sedang berada di dapur berjalan tergopoh-gopoh menghampiri sang suami.

"Kiya!"

"Ada apa, Yah?" tanya Meuthia dari ambang pintu.

Yanuar membuang napas berat. "Kiya kayaknya nggak mau bantu uang kuliah Kara," jawabnya dengan suara yang sudah kembali seperti semula.

Meuthia menoleh dan menatap pintu kamar Kirania yang berada tepat di samping ruang tamu. Dia berdecak sebal.

"Anak itu susah banget dikasih tahu!" gerutunya. "Bunda udah bilang dari awal, kan? Kiya itu dulu terlalu kamu manjain jadi sekarang gedenya kayak begini. Sama adeknya sendiri aja pelit apalagi sama orang lain. Semoga calon suaminya nanti nggak nyesel pilih dia!" suara Meuthia sengaja dikeraskan supaya terdengar sampai di telinga Kirania.

Yanuar hanya diam sambil kembali menyesap kopinya dengan tenang. Hal seperti ini sering terjadi di rumah itu. Yanuar tidak ingin memperpanjang masalah jadi dia memilih diam sampai istrinya itu kembali ke dapur sambil sedikit menghentakkan kakinya ke lantai.

Di kamarnya, Kirania duduk di meja belajar yang dulu sering dia pakai untuk menggambar. Dia memandang kopinya yang tak lagi terlihat menarik dengan air mata yang terus mengalir dengan derasnya. Gadis itu menahan suaranya supaya isak tangisnya tak terdengar sampai keluar kamar.

Dia menepuk dadanya dan mencoba mengatur napas sambil sesenggukan. Kirania seharusnya sudah terbiasa dengan kata-kata pedas yang kerap Meuthia katakan kepadanya. Dia seharusnya sudah tak lagi menangis ketika ucapan tidak mengenakan hati seperti ini terdengar.

Malam itu, Kirania tidak keluar dari kamar. Bahkan dia memilih melewatkan jam makan malam meski kedua adiknya sudah membujuknya supaya keluar dari kamar dan makan barang sedikit saja.

"Kakak masih kenyang, Dek. Lagipula Kakak lagi ada pesanan gambar ini," ucap Kirania sambil terus fokus pada kertas di depannya.

Kania berdecak. "Bunda nanti ngomel sama Kakak, lho." Dia menunggu Kirania sambil rebahan di atas ranjang di kamar itu.

"Udah biasa," sahut Kirania sambil terkekeh pelan. "Belajar sana! Besok kamu sekolah, kan?" Kirania menoleh sebentar ke belakang dan melihat Kania yang justru memejamkan mata.

"Aku ngantuk habis makan," jawab sang adik.

Kirania tertawa. Dia diam setelah Kania benar-benar tertidur. Dia menatap wajah cantik Kania yang sedang memejamkan mata. Adiknya itu meringkuk seperti bayi. Terlihat nyaman sekali. Dia menghela napas panjang.

"Kadang Kakak iri sama kamu dan Kara, Dek. Kenapa ayah dan bunda nggak bisa sekali aja memperlakukan Kakak kayak mereka memperlakukan kalian berdua. Kakak bahkan nggak bisa ganti handphone karena tuntutan mereka yang sering bikin kacau finansial Kakak," batinnya dengan sorot mata sayu.

Kemudian pintu kamarnya tiba-tiba terbuka lebar. Dia menoleh ke arah pintu kamarnya. Meuthia masuk kemudian meletakkan sepiring nasi beserta lauknya di atas meja belajar Kirania. Gadis itu hanya diam sambil menatap makanan di depannya. Dia lebih suka ayam bumbu rica daripada opor ayam seperti yang ada di piringnya itu.

"Makan biar nggak sakit!" ucap Meuthia sambil berlalu pergi dari sana.

"Kiya kurang suka sama o-"

Brakkk!

Kirania menghela napas dalam. Meuthia sudah keluar dari kamarnya dan menutup kembali pintu. Kirania menatap makanan di depannya dan memakannya dalam diam. Dia hampir lupa kapan terakhir kali ibu kandungnya memasak makanan kesukaannya. Selama ini dia terbiasa makan makanan yang disajikan oleh Meuthia meski wanita itu jarang sekali memasak makanan kesukaannya. Opor ayam adalah makanan kesukaan Kara.

Kirania tersenyum tipis. "Aku pengen dimasakin ayam rica, Bu," gumamnya pelan, seakan-akan di depannya ada ibu kandungnya.

Dia ingat sore Meuthia sempat bertanya kepada ketiga anaknya tentang menu makan malam. Kirania yang sedang berbunga-bunga karena baru saja menerima telepon dari Harsa ikut memberikan ide menu. Dia memilih ayam rica. Tapi melihat menu makan malam kali ini, Kirania jadi sadar diri kalau keinginannya sulit sekali terkabul di rumah itu.

"Seenggaknya bunda masih ingat kasih gue makan," batinnya menenangkan diri.


Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang