Quaranta

386 14 0
                                    

"Brengsek!" Cakra terbangun dari ranjangnya.

Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Bau alkohol tercium di mana-mana. Dia terbatuk karena kamarnya juga bau rokok. Dia menutup hidung dan mulutnya sambil berlalu pergi ke arah lemari. Pria itu hanya mengenakan celana pendek dan tubuh bagian atasnya terbuka. Cakra meraih kaos berwarna hitam dengan terburu-buru sambil melirik jam yang menggantung di dinding kamarnya.

"Sumpah lo goblok banget, Ca!" geramnya.

Dia memakai celana jeans dengan cepat sambil berjalan ke arah kamar mandi. Cakra berkumur dengan cairan pembersih mulut kemudian mencuci mukanya. Dia juga menyempatkan diri memakai parfum karena takut jika bau alkohol dan rokok yang menempel di badannya akan tercium.

Cakra berlari keluar kamar dengan tangan yang sempat menyambar kunci mobil di atas meja. Pria itu terus menatap angka di dalam lift dan berharap benda berbahan baja itu segera terbuka. Kakinya bergerak dengan gelisah. Cakra seperti sedang menghadapi sidang skripsi. Dia nampak tegang dan juga cemas.

"Ayolah! Lama banget!" gerutunya.

Ting!

Pintu di depannya terbuka, Cakra buru-buru masuk ke dalam sana. Di perjalanan, dia mengendarai mobilnya dengan cukup kencang. Dia harus bersyukur karena jalanan pagi itu tidak terlalu padat. Lampu lalu lintas yang semula menyala hijau kini berganti kuning. Cakra memicingkan mata dan semakin dalam menginjak pedal gasnya.

Tepat saat di melewati perempatan, lampu berwarna merah menyala. Cakra membuang napas lega. Tak berapa lama kemudian dia sampai di stasiun. Dia membuka pintu mobil dan segera keluar dari sana. Pria itu berlari setelah melihat jam tangannya sendiri. Dia mencari seseorang di tengah banyaknya orang yang sedang duduk di kursi tunggu.

Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri. Kirania tidak ada di sana. Cakra melanjutkan langkahnya dan tepat ketika suara petugas kereta api menyebutkan nama kereta beserta alamat tujuan Kirania yang sebentar lagi sampai di stasiun tersebut, kaki Cakra berhenti bergerak. Beberapa langkah di depannya, dia melihat perempuan yang sedari tadi dia cari.

"Kiya," gumamnya pelan.

Matanya terpaku pada sosok pria di depan Kirania. Cakra menelan ludah pelan ketika netranya menangkap adegan yang membuat jantungnya seperti direnggut paksa. Harsa mengecup bibir Kirania. Meski adegan itu terjadi dengan sangat cepat tapi entah kenapa di dalam kepala Cakra, apa yang dilakukan oleh Harsa itu terkesan sedikit lambat dan terus berada di dalam otaknya.

"Shit!" umpatnya.

Dia buru-buru berbalik ketika Kirania sedang melambaikan tangannya kepada Harsa. Napas Cakra belum teratur. Dia masih terengah-engah akibat berlari dari area parkir sampai ke dalam stasiun. Dia mengusap keringat di dahinya dan berjalan menjauh dari sana.

***

"Kak Kiya kapan balik ke Jakarta lagi?" Gadis cantik dengan rambut sebahu itu menatap Kirania yang sedang menata makanan di atas meja makan dengan sorot mata penuh antusias.

"Dek, jangan ganggu Kak Kiya!" Suara lain menyahut dari ambang pintu kamar.

Kirania menoleh dan tersenyum melihat Kara berjalan ke arah meja makan. Kamar gadis itu memang terletak tepat di sebelah ruang makan. Rumah Kirania di Pekalongan tidak besar. Rumah dua lantai itu tidak mempunyai kebun belakang. Di bagian depan hanya ada garasi untuk satu mobil dan dua motor serta teras rumah saja.

"Sini makan sama kita!" ajak Kirania dengan ramah.

Kara mengangguk dan duduk di sebelah adiknya, Kania. Kirania tersenyum melihat dua orang yang kini sudah tumbuh dewasa itu. Kara sekarang kelas sebelas SMA sedangkan Kania duduk di kelas sepuluh SMA. Waktu memang terasa begitu cepat berlalu. Mata Kirania tiba-tiba terasa buram. Dia pura-pura menjatuhkan sendok makannya ke atas lantai. Kemudian dia membungkuk untuk mengambil sendok itu. Saat membungkuk itulah dia mengusap kedua matanya secara bergantian supaya tidak ketahuan kalau air matanya hendak menetes.

"Aku suka masakan padang!" ucap Kania dengan penuh semangat.

Kirania terkekeh geli. "Ayah sama bunda tadi perginya pagi banget, ya?" tanya Kirania sambil mengambil nasi, sayur dan juga lauknya.

Kara mengangguk. "Mereka harus antar barang ke Jogja karena pelanggannya pesan banyak kain batik tapi maunya diantar sama ayah."

Kirania mengangguk paham meski diam-diam dia merasa kecewa. "Oh," ucapnya pelan.

"Kakak nggak bilang ke ayah atau bunda kalau mau pulang ke sini?" tanya Kania sambil mengunyah nasi dan juga daging rendang.

Kirania tersenyum tipis. "Aduh! Kakak lupa udah chat ayah atau bunda belum," jawabnya sambil terkekeh.

Kirania berbohong. Dia menahan bibirnya supaya tetap tersenyum manis. Kirania sudah menghubungi ayah dan bunda tirinya sejak dua minggu yang lalu. Dia sudah memberi kabar kalau dirinya akan pulang dan berada di Pekalongan selama beberapa hari.

"Ah! Kakak emang sebenarnya nggak ada niat pulang ke rumah, kan? Kakak nggak ingat pulang, kan?" Kara memicingkan mata dengan curiga.

"Ada. Memangnya Kakak lupa sama kalian sampai nggak ingat pulang ke sini?" Kirania tertawa.

Kara mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. "Oh, ya! Makasih buat laptopnya. Aku sama Kania suka banget. Iya, kan?" Gadis itu menyenggol lengan Kania.

"Hm!" Kania mengangguk dan tersenyum manis.

"Baguslah! Pokoknya kalian harus tambah semangat belajar." Kirania berdiri sejenak dan mengacak rambut kedua adiknya secara bergantian.

"Aduh, rambutku!" teriak Kania kesal.

Kara hanya tertawa saja. Kirania kembali duduk dan menikmati makan siangnya. Rumahnya memang terasa lebih nyaman ketika dia hanya berada di sana bersama kedua adiknya itu. Dia betah berlama-lama di sana dan menggoda dua gadis yang sejak bayi sudah mencuri hati Kirania.

Setelah makan siang, Kirania baru sempat mandi kemudian berdandan. Dia meminta Kara untuk mengantarnya pergi ke suatu tempat. Kirania tersenyum di sepanjang perjalanan. Mereka mengendarai motor matic milik adiknya itu.

"Kakak mau ketemu teman-teman Kakak?" tanya Kara.

"Iya, nanti pulangnya Kakak pakai ojek online aja. Kamu nggak usah jemput." Kirania menyipitkan matanya karena angin yang cukup kencang.

"Siap!" ucap Kara. "Eh, Kak?"

"Hm?" Kirania menatap Kara melalui kaca spion.

"Kata bunda, uang Kakak banyak. Pekerjaan Kakak juga udah bisa dibilang bagus." Kara membasahi bibirnya sejenak.

Kirania diam dan menyimak ucapan sang adik yang cukup membuatnya terkejut itu. Uangnya banyak? Kirania ingin tertawa keras sekarang juga.

"Kakak kemarin bahkan mampu beliin aku sama Kania laptop baru yang harganya mahal. Bulan depan, Kara boleh minta dibeliin handphone baru?" tanya Kara.

Kirania menghela napas samar. "Buat apa? Bukannya punya kamu masih bagus?" tanya Kirania dengan suara halus.

"Pengen ganti, Kak. Kata bunda, aku disuruh bilang langsung ke Kakak. Bunda bilang nggak apa-apa kalau aku minta handphone baru ke Kakak biar aku tambah semangat berangkat ke sekolah." Kara tersenyum manis. "Sebenarnya bukan aku yang awalnya butuh. Tapi Bunda yang mau pakai handphone-ku ini. Katanya biar kelihatan gaul kayak teman-temannya."

Kirania meneguk ludah pelan. "Kita lihat bulan depan aja, ya, Dek. Kalau Kakak lagi ada rezeki lebih, Kakak usahain beliin handphone baru buat kamu," jawab Kirania dengan bijak.

"Okay!" Kara mengangguk dengan penuh semangat.

Di dalam hatinya Kirania mendengus geli. Bunda tirinya memang sangat luar biasa. Padahal dia tahu di mana Kirania tinggal. Kirania selalu pusing kepala jika sudah menyangkut soal uang. Dia adalah samsak bagi kedua orang tuanya jika sedang membutuhkan uang.

"Lama-lama gue bisa gila kalau begini terus!" batinnya.

Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang