Kirania celingukan mencari keberadaan Cakra. Laki-laki itu memberik kabar kalau dia sudah sampai di teater lima menit yang lalu melalui sebuah pesan singkat. Kirania bisa masuk ke dalam karena Cakra memberikannya tiket nonton film pendek saat mereka masih berada di Bandung. Kirania bahkan masih ingat dengan jelas wajah masam yang ditunjukkan oleh Harsa saat dia menerima tiket itu dari tangan Cakra.
Mata Kirania membulat senpurna. Dia melambaikan tangan ketika melihat Cakra berdiri dari kursinya. Kirania segera pergi menuju ke tempat di mana Cakra berada. Dia tersenyum lebar ketika kakinya sudah berada di depan kursi yang menjadi tempatnya duduk malam ini.
"Hai!" sapa Kirania dengan ceria.
"Lama banget lo!" Cakra berdecak.
"Iya, ojek online gue lama banget tadi. Katanya sempat kesasar. Maaf, deh!" ucap Kirania.
Mereka kemudian duduk karena filmnya akan segera diputar. Lampu di dalam teater itu meredup dan seluruh ruangan itu menjadi gelap. Kirania menahan napas saat Cakra tiba-tiba mendekatkan wajahnya dan berbisik tepat di depan telinga gadis itu.
"Harsa kayaknya bakal benci sama gue setelah ini."
"Sialan! Cakra pakai parfum apa, sih? Wangi banget sampai bikin gue pengen meluk dia!" batin Kirania.
"Heh!"
Kirania mengerjapkan mata saat lengannya disenggol oleh Cakra. Gadis itu menoleh dan melihat wajah Cakra di dalam keremangan. Kirania tidak berkedip. Bodohnya, dia justru hanya diam dan tiba-tiba otaknya menjadi kosong ketika Cakra menatap tepat di manik matanya. Laki-laki itu kemudian tersenyum lembut.
"Ganteng banget!" teriak batin Kirania.
"Ki? Lo kenapa?" tanya Cakra yang merasa bahwa Kirania sedikit aneh.
"Eng... enggak! Gue nggak kenapa-kenapa," jawab Kirania sambil mengedipkan matanya beberapa kali dan kembali menghadap ke arah depan dengan leher yang terasa kaku.
"Jadi... gimana tentang Harsa?" bisik Cakra.
"Gue nggak tahu! Filmnya udah mulai, lo kalau masih berisik bakal gue tendang keluar dari sini!" ancam Kirania sambil melirik Cakra sekilas.
Bibir Cakra lantas terkunci rapat. Mereka menikmati film yang diputar dari awal sampai akhir. Sesekali mereka berdua mengomentari isi cerita atau tokoh yang ada di dalam film dengan berbisik. Dan ketika sudah saatnya untuk pulang, Kirania berdiri dengan gugup di depan mobil Cakra.
"Kenapa lo? Mau masuk atau enggak?" tanya Cakra.
Kirania mengangguk kaku dan buru-buru masuk ke dalam mobil tersebut. Mereka meninggalkan Taman Ismail Marzuki dan segera menuju ke arah kos Kirania. Tapi di tengah perjalanan, Cakra tiba-tiba mengarahkan kemudinya ke kiri, di mana kos Kirania seharusnya berbelok ke kanan.
"Kita mau ke mana?" Kirania menoleh ke belakang dengan wajah bingung.
"Makan, gue lapar," jawab Cakra pendek.
"O- oh!" Kirania mengangguk.
"Lo lapar juga, kan?" Cakra melirik gadis di sampingnya yang sejak tadi tidak banyak bicara itu.
"Iya." Kirania kembali mengangguk.
Cakra mengerutkan kening dalam. "Lo kenapa?" tanyanya.
Cakra sedikit kesal karena Kirania bersikap aneh malam ini. Dan setiap kali dia bertanya maka Kirania hanya akan menjawab dengan kalimat yang sama. Seperti saat ini. Kirania menggelengkan kepala dan berkata bahwa tidak ada apa-apa.
"Lo aneh banget! Dari tadi irit ngomong. Gue ada salah sama lo?" tanya Cakra.
"Nggak ada, Ca."
Cakra membuang napas dengan sedikit kasar. "Lo mikirin Harsa, ya?"
Kirania menoleh dengan wajah kaget. "Nggak! Gue nggak mikirin tentang dia." Gadis itu kemudian memiliki sebuah ide. "Lagipula..." Dia menatap Cakra dengan mata menyipit. "Kalau gue lagi mikirin Harsa, kenapa?" tanyanya.
Cakra terkekeh pelan. Dia melirik Kirania kemudian mengangkat bahunya dengan wajah yang terlihat tidak terlalu peduli. Setidaknya itu yang ditangkap oleh Kirania.
"Nggak kenapa-kenapa, Ki. Memangnya gue harus bersikap kayak gimana? Kalau lo senang, gue sebagai teman lo juga bakal ikut senang." Kirania mengatakan semua itu tanpa melihat wajah Kirania yang nampak sedikit terganggu.
Mungkin awalnya hanya sedikit terganggu tapi di menit-menit selanjutnya hati Kirania terasa mencelos. Apa yang sedang dia lakukan? Gadis itu mengangguk dan pura-pura tertawa untuk menutupi kegundahan hatinya.
"Bagus! Itu yang gue harapkan, Ca. Lo teman baik gue." Kirania kemudian membuang muka ke arah jendela di sampingnya.
"Iya, gue teman baik lo," balas Cakra dengan cepat.
Kirania menelan ludah dengan susah payah. Teman baik. Hanya itu? Jika Cakra melihat wajah Kirania saat ini maka dia pasti akan langsung paham kalau gadis itu sedang menelan rasa kecewa yang kini menjalari dadanya.
"Makan di sini aja, ya? Atau lo pengen makan yang lain?" tanya Cakra ketika mobilnya sudah sampai di depan sebuah restoran yang menyajikan makanan dari negara Korea.
"Makan sate ayam aja, yuk, Ca? Gue lagi pengen makan sate ayam," ucap gadis itu berkata jujur.
Cakra mengerjapkan mata dan langsung memutar kemudinya. "Gue tahu ada sate ayam yang enak di sekitar sini," kata Cakra.
Kirania tersenyum. Meski hatinya kecewa pada Cakra tapi dia tidak bisa mengabaikan laki-laki yang sebenarnya baik hati itu. Kirania dan Cakra akhirnya makan di warung tenda yang terletak di depan taman kota.
Kirania nampak lahap memakan sate ayamnya. Meski memakai tenda tapi ternyata peminat tempat makan itu sangat banyak. Beruntung karena antriannya tidak terlalu banyak jadi Cakra dan Kirania tidak perlu terlalu lama menunggu.
"Enak?" Cakra tersenyum melihat cara makan Kirania yang memang tidak pernah malu-malu di depannya.
"Enak banget! Gue baru tahu kalau di sini ada sate ayam seenak ini," ucap Kirania.
Otak Kirania tiba-tiba membisikkan sebuah ide yang kembali Kirania turuti. "Kapan-kapan gue mau ajak Harsa ke sini."
Cakra tak menanggapi ucapan Kirania. Laki-laki itu memilih mengeluarkan kotak rokoknya dari kantong celana dan sebuah pemantik berwarna biru. Dengan santai tenang, Cakra merokok di depan Kirania yang menahan kesal karena tak ada reaksi yang berarti dari Cakra.
"Lo pernah ke sini sama siapa aja, Ca?" Gadis itu mencari cara lain untuk mengetahui bagaimana hati Cakra terhadapnya.
"Sama... mantan pacar gue," jawab Cakra sambil sedikit mengingat seseorang yang pernah ia ajak ke sana.
"Lo punya mantan pacar?" Kirania menaikkan alisnya tinggi.
Cakra mengangguk. "Punya. Lo kira gue nggak laku, ya?" Dia tertawa.
"Siapa?" Kirania memicingkan mata.
Dia sangat penasaran sampai dia lupa jika di dalam mulutnya masih ada sate ayam yang belum jadi ia kunyah. Cakra mengangkat bahunya acuh dan tak menjawab. Kirania mendengus keras.
"Pelit banget lo sama gue!" gerutu gadis itu.
"Dia cantik dan juga anggun. Udah, itu aja yang bisa gue bagi sama lo," sahut Cakra.
Kirania memajukan bibirnya sambil menunduk. Dia pura-pura sibuk menatap piringnya sendiri meski sebenarnya dia sedang mencoba menebak siapa mantan pacar Cakra. Tapi dia jelas tidak menemukannya karena Kirania tidak mengenal teman-teman Cakra selain teman-teman di dalam kantor mereka dan juga beberapa orang yang mereka jumpai di teater tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
Любовные романыKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...