Kirania melenguh kesakitan ketika tubuhnya baru saja bangkit dari atas ranjang. Kepalanya bagai di pukul dengan palu besar. Nyeri luar biasa sampai membuatnya meremas sprei dengan kuat. Gadis itu mengernyitkan kening sambil memegangi kepalanya sendiri. Dia memicingkan mata ke arah pintu kamar ketika suara ketukan pada pintu kayu di depannya terdengar begitu nyaring untuk yang ke sekian kalinya.
"Buka!"
Kirania tahu suara itu. Dia mendengus kesal. Kepalanya menoleh ke arah kiri di mana jam dindingnya berada. Pukul tiga dini hari. Matanya melotot seperti hendak keluar. Dia pikir sekarang sudah pagi. Sepertinya tamunya kali ini tidak tahu aturan karena datang di saat dia bahkan sedang tertidur dengan nyenyak.
Dengan malas, gadis itu bangkit dari atas ranjangnya dan berjalan ke arah pintu. Dengan cepat dan sebelum tamunya itu kembali menggedor dengan seluruh tenaga yang ia miliki, Kirania memilih untuk segera membuka pintu tersebut. Dia mendongak dan menatap seorang laki-laki dengan mata sayu dan juga kemeja kerja yang sudah kusut. Rambutnya acak-acakan dengan senyuman yang terlihat menyebalkan di mata Kirania.
Cakra melesak maju dan masuk seraya mendorong tubuh Kirania supaya minggir dari jalannya. Kirania berdecak sebal melihat kondisi Cakra saat ini. Dia keluar ke depan pintu kamar dan melihat ke sekitar untuk memastikan tidak ada penghuni kos yang melihat kejadian itu. Kemudian dia masuk kembali ke kamarnya dan menutup pintunya.
Gadis itu memutar tubuhnya dan bersedekap melihat Cakra yang dengan sesuka hatinya sudah berbaring di atas ranjang. Laki-laki itu mengusap wajahnya. Kirania tahu, Cakra masih memakai kemeja yang sama dengan kemeja yang kemarin dipakai oleh laki-laki itu. Dia pikir setelah mengajaknya makan malam, Cakra akan bergegas pulang ke apartemennya.
"Lo mabuk?" tanya Kirania.
Cakra terkekeh. "Gue sadar," jawabnya singkat sambil menarik kedua kakinya kemudian menyelimuti tubuhnya.
Kirania berdecak tak percaya. Dia berjalan mendekati Cakra dan duduk di samping laki-laki itu. "Lo nggak pulang semalam? Ke sini sama siapa?" Dia masih penasaran dengan apa yang dilakukan oleh laki-laki yang kini menatapnya dengan mata setengah terbuka itu.
"Lo banyak ngomong, ya, Ris!"
Kirania terbelalak kaget. "Ris?" dia membeo.
Gadis itu baru saja hendak berdiri sebelum Cakra meraih tangannya dan menariknya sampai jatuh ke atas tubuh laki-laki yang sedang mabuk itu. Kirania menelan ludah pelan ketika Cakra tersenyum melihatnya dan mengusap pipinya dengan ibu jarinya. Lembut sekali, seolah-olah Kirania adalah sebuah porselen yang akan tergores jika Cakra tidak berhati-hati.
"Ca, jangan begini!" ucap Kirania setelah sadar bahwa ada bahaya yang bisa saja menjerumuskan dirinya.
"Kenapa? Lo nggak mau tidur sama gue, Ris? Bukannya lo mau tidur untuk yang kedua kalinya sama Galen setelah Kak Estu nikah kemarin?" Suara tawa Cakra menyergap telinga Kirania.
Gadis itu mengedipkan mata saat sadar kalau Cakra pikir dia adalah Eriska. Dia kembali menarik tubuhnya tapi kedua tangan Cakra justru memeluk punggungnya dengan semakin erat. Kirania tidak suka jika kondisi mereka seperti ini. Buruk sekali.
"Ada gue, kenapa lo milih dia? Lo tahu dia udah menolak anak kalian dan pergi meninggalkan lo sampai akhirnya lo keguguran. Dan di saat seperti itu, gue yang selalu ada di samping lo, Ris! Gue!" suara Cakra meninggi dan berhasil membuat jantung Kirania berdetak semakin cepat.
Dia ketakutan melihat Cakra dalam kondisi seperti sekarang. Seperti bukan Cakra. Dia tidak mengenali laki-laki di bawah tubuhnya itu. Tatapan Cakra kepadanya terlihat seperti seorang laki-laki kepada wanita yang dicintainya. Kirania menghela napas panjang dan mendorong dada Cakra sehingga laki-laki itu mau melepaskan dirinya.
Oh, tidak semudah itu! Cakra membalik tubuh mereka berdua. Kirania melebarkan mata ketika dirinya kini sudah berada di bawah kungkungan laki-laki itu. Dia hendak menarik tangannya ketika Cakra menahannya di samping kepala. Kirania bisa mencium aroma alkohol dari mulut Cakra. Laki-laki itu mengerjapkan mata dan satu tetes air mata terjatuh di pipi Kirania. Gadis itu membeku ketika Cakra menangis di depan matanya.
"Ca..." Kirania tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat.
"Gue bahkan nggak pernah menyangkal setiap orang lain bilang kalau lo pacar gue, Ris," suara Cakra terdengar bergetar hebat.
"Ca, berhenti. Gue Kirania bukan Eriska." Kirania menggelengkan kepalanya tapi Cakra tetap tidak mau melepaskan dirinya.
Cakra justru semakin berani. Dia mendekatkan wajahnya dan membuat Kirania memalingkan wajahnya. Kirania pikir, Cakra akan berhenti. Ternyata laki-laki itu tak juga sadar. Dia mendaratkan ciumannya ke pipi Kirania dan turun ke leher jenjang gadis itu.
Kirania memejamkan mata dan menahan diri untuk tidak menjerit karena urusannya akan semakin panjang. Beberapa orang yang tinggal di kos itu tahu bahwa Cakra pernah ke sana dan masuk ke kamarnya. Jika mereka tahu, bisa saja Kirania justru dituduh menyembunyikan Cakra karena saat itu jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Gerbang kos juga sudah dikunci oleh penjaga kos. Kirania tidak seharusnya memasukkan Cakra ke dalam kamarnya, kan? Dia pusing sendiri ketika pikiran itu datang. Kirania tidak bisa sabar lagi. Dia menendang perut Cakra ketika laki-laki itu hendak mengubah posisinya yang menyebabkan tubuhnya tak lagi menghimpit tubuh Kirania.
Cakra terjengkang ke belakang dan spontan dia memegangi perutnya sambil meringis kesakitan. Tak sampai di sana, Kirania segera bangkit dan melayangkan satu tamparan keras di pipi Cakra dengan sekuat tenaga sampai kepala laki-laki itu terpelanting ke samping.
"Sialan lo!" katanya dengan napas terengah-engah.
Cakra mengerjapkan mata seakan-akan dia tersadar akan sesuatu. Dia menoleh dan menatap wajah seorang gadis yang sudah bersimbah air mata itu dengan raut penuh rasa bersalah. Cakra melihat Kirania sedang mengusap kedua pipinya yang entah sejak kapan sudah basah karena air matanya sendiri.
"Ki?" gumamnya.
Kirania turun dari ranjang sementara Cakra menyugar rambutnya dengan wajah pias. "Ki?" Dia ikut turun dari ranjang dengan sedikit sempoyongan. "Gue kurang ajar sama lo, ya?" tanyanya dengan wajah cemas.
Kirania bungkam. Dia meraih bantal di atas ranjangnya beserta selimut tebal. Gadis itu menggigit bibirnya sendiri supaya tak lagi menangis karena perlakuan Cakra padanya. Meski dia sudah lega karena Cakra sadar bahwa dia bukanlah Eriska tapi tetap saja Kirania merasa sakit hati. Kirania tidak akan masalah jika Cakra menciumnya di pipi tapi laki-laki itu mengira bahwa dirinya adalah orang lain. Ada sakit yang tidak bisa Kirania jabarkan seperti rasa kecewa yang sangat menyiksa.
"Ki?" Cakra duduk di atas karpet di mana Kirania baru saja membaringkan tubuhnya di sana.
"Gue mau tidur! Kalau lo mau balik, silakan!" kata gadis itu dengan suara ketus.
Cakra masih diam di sana sambil menatap Kirania yang memejamkan mata. Dia hendak kembali bersuara tapi nyalinya tidak sebesar sebelumnya. Dia juga bingung kenapa dia bisa meminta kepada sopir taksi online yang ia pesan supaya mengantarnya ke kos Kirania. Dan yang lebih gila lagi, Cakra rela memanjat gerbang kos demi bisa sampai di sana.
"Ada apa sama gue?" gumamnya pelan. "Biasanya gue tetap minta diantar ke apartemen bukan ke tempat orang lain." Cakra memukul kepalanya sendiri dengan kesal. "Bodoh banget!"
![](https://img.wattpad.com/cover/340641996-288-k734296.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
RomanceKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...