Trentasei

368 17 2
                                        

Sabtu yang cukup menyebalkan bagi Kirania. Dia cemberut sambil sesekali memakan es krim cup yang tadi ia beli. Dia melirik ke arah kiri di mana es krim dengan rasa coklat yang belum tersentuh itu berada. Perasaan kecewa tiba-tiba menyeruak saat ingatan tentang Harsa yang meninggalkannya di sana sendirian terlintas.

"Tega banget, sih!" gerutunya.

Pandangan gadis itu mulai buram. Air menggenang dan tangan kanannya dengan sigap segera mengusap mata. Kecewa. Tidak perlu dijabarkan lagi seberapa kecewanya hati Kirania sekarang. Harsa tidak menepati janjinya. Laki-laki itu lebih memilih pergi setelah menerima sebuah telepon dari seseorang yang tidak diketahui oleh Kirania.

"Aku harus pergi sekarang. Ada urusan penting yang nggak bisa aku tinggalin. Kamu... pulang naik taksi online dulu, ya?"

Kira-kira begitu cara Harsa menyuruh Kirania untuk turun dari mobilnya. Terdengar halus di telinga tapi sakit di dada Kirania tidak bisa dijabarkan. Kirania memilih segera turun dan tidak banyak bertanya karena ekspresi Harsa menyiratkan bahwa laki-laki itu sedang dalam kondisi cemas, terburu-buru dan tidak menerima rengekan Kirania.

Gadis itu dengan duduk diam setelah berkata akan memesan taksi online sendiri. Tapi sampai es krim yang ia beli untuk Harsa mulai mencair, dia tidak ada niat untuk segera memesan taksi dan pulang ke kosnya.

"Heh!"

Kirania tersentak. Dia mendongak dan melihat sebuah mobil berwarna putih dengan seorang gadis di dalamnya. Seketika jantungnya terasa jatuh sampai ke tanah. Dia segera berdiri tanpa pikir panjang dan membawa es krim milik Harsa. Kemudian gadis itu masuk ke dalam mobil dan mengulurkan tangannya ke arah teman kantornya itu.

"Es krim buat lo," katanya.

Rora menerima es krim itu dengan wajah curiga. "Lo ngapain di sini?" tanyanya sembari memakan es krim yang diberikan oleh Kirania.

"Gue ditinggalin sama Harsa," jawab Kirania sambil membuang cup es krim ke dalam plastik putih yang ia temukan di mobil Rora.

"Kenapa?!" Rora menegakkan punggungnya. "Lo beli es krim dua sebenarnya mau lo makan berdua sama Harsa, kan?"

"Nggak perlu tanya!" sahut Kirania malas. "Gue kayaknya mau putus aja, Ra."

Rora tersedak. Dia terbatuk-batuk. Kemudian tatapan matanya menajam ke arah Kirania. Teman satu kantornya itu tidak lagi melanjutkan ucapannya.

"Kalau ada masalah, diomongin dulu. Jangan langsung minta putus! Lo pikir cowok suka cewek yang sedikit-sedikit minta putus?" Rora berdecak.

Kirania terdiam sebentar. Rora memang benar. Tapi perasaannya juga harus divalidasi. Apa yang dia rasakan adalah sebuah akibat dari apa yang Harsa lakukan kepadanya. Kirania mengusap matanya yang kembali basah.

"Ya ampun." Rora segera mengulurkan tissue kepada Kirania.

"Gue beli es krim itu di sana," ucap Kirania mulai bercerita sambil menunjuk ke arah penjual es krim keliling yang tak jauh di depan mereka. "Gue pengen banget makan es krim dari semalam. Gue sama Harsa baru aja sarapan bareng dan gue pikir waktu kami buat jalan berdua masih lama. Ini bukan cuma masalah es krim tapi..." Tenggorokan Kirania terasa tercekat. "Janji dia nggak ditepatin, Ra. Kalau lo mau bela dia dan nyalahin pikiran gue buat putus, nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang kalau gue nggak mau bikin hidup Harsa ribet. Dia nggak benar-benar butuh gue di hidupnya."

Rora menghela napas dalam. Sepertinya masalah hati Kirania tidak sedangkal yang sekarang ada di pikiran Rora. Gadis itu membuang cup es krim yang sudah habis. Kemudian dia bersedekap sambil memandang wajah sedih Kirania.

"Kalau putus adalah jalan terbaik buat lo dan Harsa, gue dukung keputusan lo. Tapi, Ki..." Rora mencoba mengingat bagaimana sikap Harsa terhadap temannya itu. "Gue lihat selama ini Harsa sayang banget sama lo dan gue berharap semoga masih ada jalan keluar buat masalah kalian ini selain putus."

Kirania hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

"Nonton sama gue aja, yuk!" Suara Rora berubah menjadi bersemangat.

Kirania terkekeh. "Gue traktir lo nonton?"

"Okay! Makan siang gantian gue yang traktir," ucap Rora.

Kemudian mereka berdua pergi meninggalkan taman yang sedang ramai oleh pengunjung itu. Setidaknya nasib Kirania tidak terlalu menyedihkan. Hadirnya Rora membuat gadis itu kembali tertawa.

***

"Nanti sore anterin aku beli celana buat kerja, ya?"

Cakra mengusap bahu Jelita pelan seraya mengangguk. Matanya tetap tertuju pada layar datar di depan mereka namun pikirannya sedang berkelana tak tentu arah.

"Kamu suka lihat aku pakai rok pendek atau celana buat kerja?"

Tangan Jelita melingkar di tubuh Cakra dengan manja. Kemudian jemari tangan sang gadis berpindah ke dada kekasihnya. Dia menggerakkan jari telunjuknya memutar di sana sampai membuat Cakra melirik kepadanya. Laki-laki itu hanya tersenyum tipis.

"Atau... aku pakai bikini aja, ya?"

Cakra mengerutkan kening dalam ketika mendengar celotehan Jelita yang semakin ngawur ini. "Sayang..." Cakra menggelengkan kepala. "Jangan ngomong yang aneh-aneh!" katanya.

Jelita tertawa. "Iya, aku tahu kamu bakal marah kalau aku bertindak gila kayak gitu.Tapi..." Jelita kemudian melingkarkan kedua tangannya ke leher Cakra yang membuat laki-laki itu menggerakkan kepalanya ke belakang.

Kepala Jelita kini mendongak dan wajahnya terlihat aneh di mata Cakra. "Kamu... kenapa?" tanya Cakra heran.

"Kalau di depan kamu, aku nggak pakai baju juga nggak masalah." Suara Jelita terdengar pelan tapi cukup membuat Cakra terkejut.

"Eh!" Cakra kemudian berdiri secara mendadak. "Aku lupa kalau aku ada janji sama teman," ucap Cakra sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Sekarang?" Jelita terlihat bingung.

"Iya, maaf. Aku lupa nggak kabarin kamu kemarin. Aku ada janji main PS sama teman," jawab Cakra.

Laki-laki itu mencoba meyakinkan sang kekasih hingga akhirnya dia berhasil membuat Jelita pergi dari apartemennya tanpa marah maupun merengek. Pada kenyataannya, Cakra berbohong kepada Jelita. Dia hanya bermain PS sendirian di apartemen.

"Gue jahat banget sama Jelita," gumamnya pelan.

Tanpa sadar, laki-laki itu merasa bosan dan dia memutuskan pergi ke suatu tempat. Dia tidak tahu ini benar atau tidak. Tapi Cakra kini sudah berada di depan pintu kos Kirania. Dia mengetuk pintu kamar di depannya sambil berharap kalau gadis itu ada di dalam sana.

"Ya!"

Cakra tersenyum setelah mendengar suara teriakan Kirania dari dalam kamar. Dan tak lama berselang, sosok itu muncul di depannya dengan kaos putih dan celana pendeknya.

"Hai!" Cakra tersenyum canggung.

"Ha- Hai!" Kirania mengangguk dan mengamati sekitar. "Kamu sama siapa?"

"Sendirian."

"Ada perlu apa sama gue?"

"Beli bakso, yuk!"

Kirania mengerjapkan matanya tak percaya. "Maksud lo?"

"Beli bakso yang ada di depan gang sana," jawab Cakra sambil tersenyum. "Udah lama kayaknya kita nggak jalan bareng," lanjut laki-laki itu.

Ada hal yang membuat Kirania merasa ragu. Dia bingung sendiri sambil melihat ke arah jam dinding yang ada di dalam kamarnya. Pukul setengah lima sore.

"Kita masih teman, kan?" Cakra merasa tidak sabar.

"Jelita?" Kirania hanya tidak mau terjadi salah paham.

"Dia baik-baik aja. Harsa juga baik-baik aja, kan?" Cakra tersenyum.

"Hm!" Kirania mengangguk meski hatinya ragu.

"Ayo!"

Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang