Quarantacinque

470 19 4
                                        

Kirania memandang jalanan aspal yang basah karena hujan baru saja berhenti mengguyur kota. Dia duduk dengan kopi panas yang dia beli di sebuah minimarket dekat kosnya. Gadis itu tak langsung pulang. Dia juga tidak tahu hendak pergi ke mana setelah pertemuannya dengan Harsa berakhir.

Gadis itu hanya duduk diam di depan minimarket yang cukup ramai itu dengan rambut setengah basahnya. Dia nekat menerobos hujan yang sudah tak terlalu deras setelah taksi online yang dia naiki terjebak macet beberapa meter dari tempatnya sekarang berada.

"Udah nggak ada beban lagi sekarang," gumamnya.

Dia menghela napas dalam dan meminum kopinya yang sudah tidak sepanas tadi. Meski dadanya sesak tapi Kirania berusaha menahan air mata yang sudah berdesakan ingin keluar. Setelah dua puluh menit Kirania duduk diam tanpa melakukan apa-apa, rasa bosan mulai menyerbu. Dia berdiri dan bergegas pulang ke kosnya.

Kakinya baru saja sampai di depan gerbang ketika kedua matanya menangkap sebuah mobil yang sudah dia kenali dengan baik. Kirania meneguk ludah pelan. Dia menimbang-nimbang dengan tangan tergenggam. Dia berada di antara perasaan ragu dan juga rindu. Tapi apa haknya? Dia memutar tubuhnya dan berjalan cepat saat suara pintu gerbang dibuka tertangkap oleh indra pendengarannya.

"Jangan sekarang, tolong!" teriaknya di dalam hati.

"Kiya!"

Kirania mendengar langkah kaki setengah berlari di belakangnya. Wajahnya berubah panik dengan kaki yang mengayun lebih cepat. Sayangnya, dia gagal berlari. Dia sadar kalau dia tidak bisa lagi bersembunyi lagi dari Cakra.

"Lo mau menghindar lagi dari gue?"

Kirania masih belum mau berhadapan dengan Cakra. Dia memejamkan mata sambil memaki dirinya yang sekarang terlihat kekanakan. Cakra menarik tangan Kirania dan membuat gadis itu dengan terpaksa memutar tubuhnya.

Kirania menundukkan pandangannya dengan rasa malu yang luar biasa. "Gue nggak menghindar, Ca!" bantahnya.

"Terus kemarin lo ke mana? Kenapa nggak ada di kos?" tanya Cakra dengan wajah penuh rasa penasaran.

Kirania menelan ludah susah payah. "Gu- gue..."

"Lo ke mana, Kirania?" Cakra menegaskan setiap kata dalam kalimatnya.

"Gue nginap di hotel," jawab Kirania akhirnya.

Cakra mendengus keras. "Ngapain nginap di hotel? Lo di usir dari kos?" Kalimat yang keluar dari bibir pria itu seperti sebuah sindiran bagi Kirania.

"Bukan urusan lo, Ca!" Kirania kini mendongak dan menatap mata Cakra dengan tajam. "Lagipula lo ngapain nyari gue? Nanti cewek lo marah kalau sampai tahu lo ke kos gue," lanjutnya.

Kirania melirik pergelangan tangannya sendiri. Cakra masih menggenggam tangannya dengan erat. Kirania menarik tangannya sampai Cakra melepaskannya. Gadis itu melipat tangannya di depan dada dan berusaha bersikap santai.

"Kenapa nggak dijawab? Lo ngapai nyari gue?" Kirania menutupi rasa malunya dengan berpura-pura berani.

Dia melihat bagaimana ekspresi Cakra setelah mendengar kalimat tanyanya itu. Cakra semula diam dan tak berkedip. Matanya menatap wajah Kirania dengan tajam. Dan tak berselang lama, tawa pria itu memasuki telinga Kirania. Cakra menyugar rambutnya ke belakang.

"Sial, ganteng banget!" ucap Kirania di dalam hati sambil buru-buru mengalihkan perhatiannya ke arah lain.

"Setelah lo tiba-tiba cium gue terus gue bakal diam aja?" tanya Cakra dengan wajah tak percaya.

"Lo nggak perlu ambil pusing soal kejadian kemarin, Ca," jawab Kirania tanpa melihat wajah Cakra yang sekarang berubah kesal.

Pria itu meremas rambutnya sendiri. "Lo sengaja bikin gue bingung, ya?" tanyanya.

Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang