Ventidue

417 17 0
                                    

"Gimana? Enak?"

Cakra mendongak dan berhenti mengunyah padahal bukan dia yang ditanya tapi Kirania. Gadis itu menoleh dan menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar. Dia kemudian menggeleng-gelengkan kepala untuk menyingkirkan rambutnya.

"Rambutnya ganggu, ya?" Harsa tersenyum seraya mengulurkan tangan untuk menyelipkan anak rambut Kirania yang menutupi dahi gadis itu.

Cakra menelan makanannya dengan paksa. Dia mengerutkan kening dan segera menundukkan wajah. Laki-laki itu tidak bersuara. Dia tetap makan tanpa memikirkan kedua orang yang dia sendiri tidak tahu apakah sudah memiliki ikatan atau belum. Tanpa ia sadari, ada Rora yang menatapnya dengan wajah horor. Rora menganggukkan kepala seraya melirik Kirania yang masih makan dengan lahap.

Setelah makan siang, mereka pergi ke hotel bintang dua dengan tarif yang lumayan terjangkau. Hotel seperti ini biasanya dipesan oleh para karyawan yang dikirim untuk dinas luar kota. Dengan fasilitas yang bagus namun dengan harga yang yang murah serta pelayanan yang ramah membuat hotel itu cukup ramai karena banyak diminati.

"Kantor kita kalau dinas ke luar kota biasanya nginap di mana, Pak?" Rora menoleh dan menatap Cakra yang baru saja selesai check-in.

"Minimal di hotel bintang empat," jawab Cakra dengan santai.

Pria itu memandang Kirania yang masih terlihat sibuk untuk check-in. Harsa sedang ke toilet dan Cakra yang berdiri di depan Rora memilih kembali ke meja front office dan berhenti tepat di samping Kirania yang sedang sibuk memasukkan dompet ke dalam tas selempangnya.

"Udah?" tanya Cakra.

Kirania mengangguk. Dia kemudian celingukan. Cakra berjalan mengikuti Kirania menuju ke arah Rora. Laki-laki itu menggosok tengkuknya sendiri. Rora memicingkan mata sekilas kemudian tersenyum ketika Kirania mengatakan bahwa mereka sudah bisa masuk ke dalam kamar yang dipesan.

"Harsa ke mana?" Kirania merangkul lengan Rora sehingga mereka berdua menghadap ke arah Cakra.

"Kayaknya ke toilet. Kenapa? Lo kangen?" Rora melirik Cakra kemudian beralih menatap Kirania yang hanya tersenyum saja.

"Masuk ke kamar sekarang, yuk! Gue pengen selonjoran," ajak Rora.

Kirania mengangguk dan mereka berdua segera mengambil ransel masing-masing kemudian berjalan melewati Cakra begitu saja. Cakra menghela napas panjang dan dia tiba-tiba menyesal ketika melihat Kirania dan Rora yang sudah masuk ke dalam lift.

"Harusnya gue tanya ke dia, kan?" batinnya.

Kirania dan Rora sudah berada di dalam kamar mereka. Kamar mereka bersebelahan dengan kamar yang akan ditempati oleh Harsa dan juga Cakra. Rora yang merasa kakinya pegal segera masuk ke dalam kamar mandi setelah melihat Kirania keluar dari sana.

"Gue mau mandi pakai air hangat," ucap Rora.

Kirania tersenyum dan mengangguk. Dia berjalan ke arah meja yang ada di pojok ruangan dan duduk di kursinya. Gadis itu mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk yang disediakan oleh pihak hotel.

Kirania sedang mengganti celana tidurnya dengan celana pendek jeans dengan aksen sedikit robekan yang tidak sampai berlubang di bagian pahanya ketika suara ketukan pada pintu kamar terdengar. Dia menoleh dan buru-buru menaikkan resleting celananya kemudian berjalan cepat ke arah pintu itu.

Keningnya berkerut samar ketika di hadapannya berdiri seorang laki-laki dengan wajah yang ditutupi oleh sebuket bunga mawar berwarna pink dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Hanya melihat jam tangan yang ada di pergelangan tangan si laki-laki, Kirania sudah bisa menebak siapakah yang berada di balik bunga mawar yang nampak cantik itu. Dia tersenyum.

"Harsa," ucapnya.

"Kok tahu?" Harsa menurunkan bunga mawar dari depan wajahnya sambil terkekeh geli.

"Udah bisa gue tebak kalau itu lo," jawab Kirania sambil tertawa kecil. "Udah mandi?" tanyanya.

Harsa tersenyum. Wajahnya nampak segar dengan kulit yang kembali cerah. Laki-laki itu pasti juga sudah mencuci wajahnya dengan sabun muka. Kirania melirik bunga mawar yang Harsa bawa sekilas.

"Udah." Harsa mengulurkan tangannya ke arah Kirania dengan maksud memberikan buket bunga mawar itu kepada Kirania. "Buat cewek cantik di depan gue," katanya.

Pipi Kirania bersemu dengan rasa hangat yang menjalari leher hingga telinganya. Dia tersipu malu layaknya para gadis pada umumnya ketika disebut cantik oleh seseorang yang bisa dikatakan sedang dekat dengannya. Kirania meraih buket bunga mawar itu dan mencium aromanya.

"Terima kasih banyak, ya, Sa!" katanya tulus.

Harsa bisa melihat bagaimana senyuman di wajah Kirania yang selalu bisa menarik perhatiannya. Dia enggan untuk menoleh barang sejenak karena tidak ingin melewatkan momen di mana Kirania tersenyum dengan begitu lebar. Meski jika dibandingkan dengan Nania, Kirania memang masih kalah cantik. Tapi wajah gadis di depannya itu terlihat menarik dan tidak membosankan meski dia terus menatapnya.

Harsa mengangguk. "Mau jalan-jalan sore sama gue?" tanya Harsa.

Kirania menoleh ke belakang dan berpikir sebentar. "

"Rora masih di kamar mandi." Kirania kemudian menatap ke arah kamar yang ditempati oleh Harsa dan juga Cakra. "Cakra di mana?" tanyanya.

"Dia lagi mandi juga kayak Rora," jawab Harsa sambil tersenyum. "Kita berdua aja, mereka bisa nyusul setelah selesai mandi." Harsa melihat wajah Kirania yang masih nampak ragu-ragu. "Kita jalan-jalan di sekitar sini aja. Ada kafe bagus di dekat sini, kalau lo mau kita bisa nongkrong di sana sambil minum kopi," ajak laki-laki berkaos biru tua itu.

Kirania akhirnya mengangguk. Dia masuk ke dalam kamar dan meletakkan buket bunga mawar itu di atas meja kemudian berpamitan kepada Rora. Gadis itu memakai topinya yang berwarna putih dengan kaos oversize yang juga berwarna putih. Harsa memakai kacamata hitamnya. Dengan topi yang juga berwarna hitam.

Mereka keluar dari hotel dan berjalan menuju ke kafe yang dimaksud oleh Harsa. Penampilan mereka berdua terlihat sangat menarik dan juga cocok. Sesekali Kirania akan tertawa karena mendengar cerita yang mengalir dari bibir Harsa di sepanjang perjalanan mereka. Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah kafe bergaya semi outdoor bernama Nuansa Alam coffee and eatery.

Suasana di tempat tersebut begitu asri dan juga nyaman. Kirania melihat bagian dalam kafe itu. Beberapa orang yang datang ke sana terlihat menikmati kopi mereka dengan buku yang mereka baca. Kirania jadi ingin menggambar di sana dengan kopi dan juga beberapa cemilan yang enak.

Mereka memesan minuman dan juga makanan kemudian memilih meja yang ada di pojokan dengan pohon palem yang cukup besar di sebelah kirinya. Kirania duduk di kursi yang terbuat dari kayu kemudian menatap Harsa yang sedang sibuk mengeluarkan rokoknya dari saku celana.

"Lo ngerokok?" tanya Harsa secara tiba-tiba.

Kirania mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, kenapa? Kelihatan dari muka gue, ya?" Dia tertawa.

Harsa menggelengkan kepala. "Enggak! Gue cuma nebak aja, Ki." Dia tersenyum. "Tapi lo beneran bisa ngerokok?" Harsa sepertinya tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Kirania.

"Iya, gue bisa ngerokok. Lo... nggak suka cewek perokok, ya?" Kirania kemudian menatap Harsa yang mengaggukkan kepala.

"Gue kira lo nggak ngerokok," ucap Harsa.

Kirania mengedipkan mata beberapa kali. Dia hanya bisa tersenyum karena sejujurnya Kirania tidak tahu apa yang harus dia katakan kepada Harsa. Pembicaraan mereka tiba-tiba terasa kurang nyaman untuk Kirania padahal sebelumnya Kirania merasa bahwa obrolan mereka selalu menyenangkan.

_______________________________________________________________________________

Terima kasih karena udah baca kisah Kirania sampai di chapter ini. Btw, kalian bisa bantu share cerita ini supaya lebih banyak orang yang tahu kalau kisah mereka sangat menggemaskan!

XOXO

Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang