Trentaquattro

415 16 0
                                        

Kirania menghempaskan tangan Cakra yang menggenggamnya dengan erat ketika mereka sampai di rooftop gedung kantor. Tangan Cakra terlepas dan membuat laki-laki itu memutar tubuhnya ke belakang untuk melihat Kirania. Matanya setajam ujung pisau dan rahangnya mengetat kuat. Kirania mundur satu langkah tanpa melepaskan pandangan dari wajah Cakra.

"Lepasin gue!" sentak Kirania dengan mata memicing curiga. "Lo kenapa?" Dia menatap wajah Cakra yang nampak sedang marah.

"Ngapain lo sama Harsa?!" Cakra mengepalkan kedua tangannya.

Bibir Kirania terbuka dan rahang gadis itu seperti hendak jatuh ketika mendengar suara bernada tinggi milik Cakra. Dia meneguk ludah pelan sambil mengerjapkan mata. Wajahnya terlihat kaget dan lidahnya seperti kehilangan daya untuk berucap. Kirania berakhir diam saja dan membuat Cakra semakin marah.

"Kenapa nggak jawab? Lo budeg?" Cakra berjalan maju satu langkah dan membuat Kirania mundur secara otomatis.

Gadis itu menelan ludah dengan mata yang tak lepas menatap rahang Cakra. "Lo..." Kirania kesulitan mengeluarkan suaranya. "Lo marah?" tanyanya seperti tikut mencicit.

Cakra diam dengan mata yang masih saja menatap Kirania dengan sorot tajam dan kelam. Hanya saja, seiring berjalannya waktu, tatapan mata laki-laki itu mulai melemah. Tak lama berselang, Kirania kembali melihat wajah teduh Cakra seperti biasanya. Laki-laki itu menghela napas dalam kemudian menunduk dan mengusap tengkuknya yang terasa kaku.

"Sorry, ini nggak benar," ucap Cakra secara tiba-tiba.

Kirania hanya diam. Dia memandangi Cakra yang kini mengusap wajah sayunya. Laki-laki itu melemparkan pandangannya ke arah lain selama beberapa saat. Kemudian dia kembali memandangi Kirania yang berdiri dengan raut wajah bingungnya.

"Gue..." Cakra menelan ludah kasar. "Gue cuma mau ngasih tahu, jangan pacaran sampai melebihi batas. Lo cewek dan gue cuma... sedikit cemas," lanjut laki-laki itu.

"Sedikit... cemas?" Kirania ingin memastikan jika pendengarannya tidak salah menangkap ucapan Cakra.

Cakra mengedipkan mata dan mengangguk. Dia memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celana kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar, sedangkan Kirania hanya diam dan memandang ke arah lain. Kemudian Cakra tertawa lirih.

"Sorry kayaknya gue bikin lo takut, ya?" Dia mengacak rambut Kirania hingga membuat gadis itu memekik kesal.

"Rambut gue!" Kirania menata kembali rambutnya sambil menggembungkan kedua pipinya.

Wajah Kirania terlihat lucu dan hal itu memancing senyuman di wajah Cakra. Laki-laki yang memakai kemeja berwarna putih itu lantas merentangkan kedua tangan dan memainkan kedua alisnya dengan wajah jenaka.

"Adik kecil, sini Abang peluk!" ucap Cakra. "Gue menganggap lo teman sekaligus adik makanya gue cemas."

Kirania bergidik ngeri sambil berbalik hendak meninggalkan Cakra. "Orang gila!" umpatnya.

"Ki, lo nggak mau peluk gue?" Cakra menurunkan kedua tangannya.

Kirania kesal sekali. Dia benar-benar ingin memukul kepala Cakra. Sikap laki-laki itu benar-benar tidak jelas dan dia tidak ingin menoleh ke belakang hanya untuk melihat wajah menyebalkan Cakra. Laki-laki itu tidak tahu jika jantung Kirania sudah berdetak cepat ketika telinganya mendengar kata 'cemas'.

Nyatanya Kirania termakan oleh ucapannya sendiri bahwa manusia tidak boleh berekspektasi terlalu tinggi. Sekarang dia merasa kecewa karena rasa cemas yang Cakra katakan tidak merujuk pada sesuatu yang ada di benak gadis itu.

Kirania berjalan dengan cepat dan sama sekali tidak menggubris panggilan Cakra. Laki-laki itu terus memanggil namanya tapi Kirania sudah terlanjur sakit hati karena merasa sudah dipermainkan sedemikian rupa.

Sesampainya di ruang kerjanya, Kirania duduk dengan wajah menahan marah. Dia membuang waktu sekian menit hanya untuk meladeni tingkah laku Cakra. Dia meraih botol yang berisi air mineral dan meneguknya dengan cepat. Rora yang memperhatikan temannya lantas bersedekap dan menghela napas panjang. Dia sudah tahu kalau sesuatu telah terjadi.

"Gue bakal nunggu lo sampai lo siap cerita ke gue," ucap Rora.

Kirania menoleh dan hanya memutar bola matanya dengan malas.

***

"Besok minggu kamu ada waktu nggak?"

Harsa yang sedang sibuk dengan kemudinya lantas melirik sekilas ke samping kiri. "Belum tahu, Sayang. Ada apa?"

Kirania menatap layar ponselnya kemudian memilih untuk membatalkan niatnya yang ingin membeli dua tiket nonton di bioskop. "Nggak ada apa-apa. Cuma tanya aja." Dia tersenyum sambil memendam rasa kecewanya sendiri karena kemungkinan jika Harsa sudah menjawab demikian berarti laki-laki itu tidak akan punya waktu untuknya.

Harsa mengangguk dan tak banyak bicara. Kirania tidak ingin merusak suasana hanya karena dirinya merengek kepada Harsa supaya laki-laki itu mau menemaninya nonton bioskop. Dia menerima situasi yang cukup membuatnya galau tanpa banyak bicara.

"Minggu besok..." Harsa kembali bersuara. "Kayaknya aku ada acara. Maaf, ya! Aku lupa, Sayang."

Kirania ingin mengeluh karena Harsa semakin sibuk saja. Tapi Kirania sadar bahwa Harsa adalah laki-laki dewasa yang memiliki segudang aktivitas lain selain mengajaknya nonton bioskop di hari Minggu. Kirania akan memilih untuk belajar memahami Harsa daripada protes karena waktu untuk dirinya berkurang cukup banyak.

Lagipula Kirania masih berstatus sebagai kekasih, bukan istri dari Harsa. Di dalam otak Kirania yang masih bisa berpikir jernih, kurang tepat rasanya jika dia memaksa Harsa untuk menemaninya menonton bioskop di hari Minggu besok. Dia tidak ingin menanggung malu kalau sampai Harsa akan tetap menolaknya.

"Nggak apa-apa, aku bisa ngerti," jawab Kirania pada akhirnya.

Gadis itu terlihat tersenyum tapi senyuman yang tidak dilihat oleh Harsa itu hanyalah senyuman palsu yang dipaksakan. Kirania menelan bulat-bulat rasa kecewanya dan berusaha bersikap seperti biasa. Di tengah ruwet-nya isi kepala Kirania, telapak tangan yang berukuran lebih besar dari miliknya itu mengusap kepala Kirania dengan lembut.

"Maaf, ya. Kamu pasti lagi mikir kalau aku sekarang nyebelin." Harsa terkekeh pelan. "Sabtu besok aku ada waktu. Kamu mau pergi ke mana? Kita jalan-jalan dari pagi sampai malam kalau perlu, Sayang."

Kirania menoleh dan melihat Harsa menoleh sejenak dengan senyuman lebarnya. Dia menaikkan alisnya dan menantikan kalimat yang mungkin akan diucapkan oleh Harsa selanjutnya. Dia memiringkan kepalanya dan menatap Harsa dengan wajah penasaran.

"Sabtu besok waktuku buat kamu semua. Aku janji kalau urusanku udah selesai, aku pasti bakal ngasih waktu yang lebih banyak dari sekarang buat kamu," ucap Harsa.

Laki-laki itu terlihat mantap dan berhasil meyakinkan Kirania dengan ucapannya. "Beneran?" tanya Kirania.

"Tentu aja!" sahut Harsa cepat.

"Eumm..." Kirania menggigit bibirnya sesaat. "Kalau aku boleh tahu, kamu ada urusan apa hari Minggu besok?"

Kirania tahu dirinya lancang tapi dia merasa bahwa Harsa sedang memberikan dirinya ruang untuk bertanya melalui kalimat 'kamu pasti lagi mikir kalau aku sekarang nyebelin' dan Kirania sudah menggunakan ruang itu sekarang.

"Apa itu yang bikin kamu resah?" Harsa bertanya balik.

"Kamu... tahu kalau aku lagi resah?" Kirania memicingkan mata.

"Iya, tahu." Harsa tersenyum. "Wajah kalau kamu resah, aku juga sadar kalau waktuku sekarang udah berkurang buat kamu. Tapi... apa nggak jadi masalah kalau aku nggak kasih tahu kamu tentang urusanku?" ucap Harsa.

Kirania mengatupkan rahangnya dengan kuat dan menelan ludah pahit. Dia tidak mendapatkan jawaban yang dia inginkan sekarang.

"Aku cuma pengen kamu percaya kalau aku lagi mengusahakan sesuatu yang baik buat masa depan. Dan aku mau kamu percaya sama aku tanpa aku harus menjelaskan urusanku. Seenggaknya... buat sekarang... aku mau kamu mengerti."

Hening. Kirania tidak berminat untuk melontarkan kalimat setelah mendengar penuturan Harsa. Dia memilih mengangguk dan melemparkan pandangannya ke luar jendela. Sedangkan Harsa, laki-laki itu kembali sibuk dengan kemudinya.

Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang