Siang itu, Jakarta sangat terik. Matahari seperti membelah diri dan menjadi dua bagian sama besarnya. Seperti amoeba yang berfragmentasi. Kirania beberapa kali mengusap peluhnya yang membanjiri pelipisnya. Dia sedang berada di tempat makan yang menyajikan makanan khas sunda. Rasa sambal yang pedas dan terasa menusuk lidahnya semakin membuat buliran-buliran air bersamaan menuruni leher jenjangnya.
"Lo biasanya makan siang bareng teman-teman kantor, ya?"
Kirania mengangguk. "Sesekali aja. Gue suka bawa bekal dari kos dan kadang makan siang di ruangan kalau lagi males keluar," jawab gadis itu seraya menyunggingkan senyumnya.
Harsa tersenyum dan mengangguk. Dia memandang Kirania sekilas sebelum kembali memakan nasi hangat di hadapannya dengan ikan bakar yang mereka pesan. Gurame bakar di sana memang terkenal lezat. Saung Mamang memang sudah cukup terkenal di Jakarta.
"Gue pernah ke pusat tempat makan ini, Ki. Ada di Bandung," kata Harsa.
"Beneran?" Kirania mendongak sambil mengusap keringatnya di dahi untuk ke sekian kalinya.
"Iya dan kalau gue boleh jujur, rasanya memang hampir sama tapi sambalnya lebih enak yang di Bandung." Harsa mengulurkan gelas berisi es jeruk milik Kirania ketika gadis itu mulai kewalahan menahan rasa pedas di lidahnya sendiri. "Kapan-kapan kita ke Bandung, yuk! Liburan, Ki," ajak Harsa dengan nada santai.
Kirania yang mendengar kalimat ajakan dari Harsa sontak memandang laki-laki di depannya itu dengan mata melebar sempurna. Dia tidak salah mendengar, kan? Kirania meneguk es jeruk yang masih berada di dalam mulutnya. Dia buru-buru meletakkan gelasnya kembali ke atas meja.
"Kita... berdua?" tanyanya.
Harsa mengangguk sambil tersenyum. "Ya, kita berdua. Sorry," laki-laki itu segera menggelengkan kepala saat menyadari apa yang ada di dalam benak Kirania. "Nggak apa-apa kalau mau ngajak teman lo yang lain."
Kirania mengangguk. "Gue ngajak Cakra sama Rora kalau gitu," ucap gadis itu.
Harsa mengangguk dengan senyuman tak selebar sebelumnya. Cakra. Lagi dan lagi, Kirania memilih untuk mengajak orang itu. Bukannya Harsa membenci Cakra, hanya saja dia merasa kesempatannya untuk mendekati Kirania jadi berkurang karena atensi gadis itu pasti akan mengarah ke Cakra semua.
***
Hari berganti dan kesibukan Kirania masih tetap sama. Di sela-sela rutinitas hariannya di kantor, gadis itu juga memiliki hobi yang tidak pernah ingin ia tinggalkan. Hobi yang selalu berhasil mengisi kekosongan jiwanya. Dulu sekali, dia ingin mewujudkan cita-citanya itu. Di mana jiwa mudanya yang bebas bisa mereguk setetes madu yang diberikan oleh dunia. Hanya saja, langkahnya tak pernah direstui. Dia tak berdaya. Gadis muda yang bahkan tak tahu apakah ada rumah yang lain selain rumahnya sendiri.
"Lo di sini?"
Kirania menoleh. Cakra sedang berdiri dengan Eriska yang menggandeng lengannya. Gadis itu meneguk ludah pelan dan mengangguk. Dia kemudian kembali menatap kanvas di depannya. Sabtu pagi adalah hari yang sudah ia tunggu-tunggu. Dia merealisasikan rencananya untuk melukis di tepi danau. Keinginan sederhana yang selalu membuat batinnya tenang.
"Lukisan lo... bagus," ucap Eriska.
Kirania berhenti menyapukan kuasnya di permukaan kanvas. Dia melirik ke kanan sekilas dan tersenyum samar. Dengan keberaniannya yang kuat sambil membuang memori menyebalkan di mana Cakra mengira bahwa dirinya adalah Eriska, gadis itu berdiri dari tempat duduknya dan meletakkan alat lukisnya. Dia berbalik dan bersedekap.
Celana pendek di atas lutut dengan wana hijau krem memperlihatkan kaki Kirania yang mulus. Gadis itu dengan penuh percaya diri berjalan mendekati Cakra. Dia berdiri tepat di depan laki-laki itu meski pandangannya jatuh ke arah Eriska.
"Thanks, Ris!" ucap Kirania dengan tulus.
Dia kemudian beralih memandang Cakra yang hari itu mengenakan kaos berwarna abu-abu dan celana jeans. "Kalian udah baikan?" tanya Kirania.
"Baikan?" Eriska menyahut.
Kirania mengangguk. "Ya, Cakra... lo udah jelasin ke dia? Gue nggak mau kalau sampai kalian salah paham tentang kita berdua, Ca."
"Kiya..." Cakra hendak berbicara tapi Eriska lebih dulu mengeluarkan suaranya.
"Tentang apa, Ki? Ada masalah apa?" Eriska terlihat penasaran.
Angin pagi itu terasa sangat sejuk. Sinar mentari yang hangat menerpa kepala Kirania. Sinar yang mampu membuat hati Kirania yang semula terasa dingin saat melihat Cakra mulai menemukan semangatnya lagi. Setidaknya dia akan membuat semuanya menjadi jelas. Meski Eriska tidak perlu tahu tapi tidak ada yang salah dengan tindakan jujur. Dia bisa menjalani harinya dengan tenang.
"Cakra ke kos gue saat dia mabuk dan dia mengira kalau gue adalah lo, Ris. Untuk lebih lengkapnya, lo bisa tanya ke Ca-"
"Kiya!" Cakra meraih lengan Kirania dan meminta gadis itu berhenti menjelaskan kepada Eriska bersamaan dengan tatapan memohonnya.
Kirania mengangguk. "Lo tanya ke Cakra sendiri aja. Kayaknya memang yang lebih pantas menjelaskan itu dia daripada gue. Dan lagi... Gue cuma mau menekankan kalau kami nggak ada hubungan apa-apa di belakang lo," ucapnya.
Eriska kemudian terkekeh pelan seraya menggeleng. "Maksud lo? Kalau kalian ada hubungan, gue nggak apa-apa," katanya dengan nada tenang.
Cakra menatap Eriska dengan pandangan tak suka. Kirania bisa melihat itu dari sorot matanya. Eriska kemudian menepuk pundak Kirania dengan pelan.
"Kayaknya lo salah paham sama hubungan gue dan Cakra. Kami nggak seperti apa yang ada di dalam bayangan lo, Ki. Kami bukan sepasang kekasih." Eriska tersenyum.
Kirania mengerutkan kening dalam. Dia memandang Cakra untuk meminta penjelasan. Tapi sepertinya mood laki-laki itu benar-benar sedang tidak baik sekarang. Dia terlihat melempar pandangannya ke arah danau dan tak lagi memperhatikan dua orang wanita yang masih ada di hadapannya.
"Oh, ya! Gue balik duluan, ya! Thanks karena udah ngajak sarapan dan jalan-jalan sebentar," ucapnya sambil memandang Cakra.
Cakra belum bereaksi ketika Eriska kembali menepuk bahu Kirania sambil mengedipkan mata. Eriska pergi begitu saja meninggalkan Cakra dan Kirania. Cakra membuang napas dengan kasar. Dia terkekeh pelan dan berkacak pinggang. Raut wajahnya tidak ramah sama sekali.
Kirania kembali duduk di kursinya dan mencoba untuk tidak terlalu peduli pada Cakra. Tapi ketika dia kembali memoleskan cat pada kanvasnya, Cakra bergerak mendekat dan membungkukkan badan ke arah Kirania.
"Lo udah puas sekarang?" tanyanya.
Kirania melirik Cakra dan menggeleng tak mengerti. "Gue nggak tahu apa yang lagi lo omongin." Tangannya kembali bergerak dengan lincah.
"Lo udah bikin Eriska kembali menegaskan kalau kami berdua bukan apa-apa. Nggak ada hubungan apa-apa setelah semua yang gue lakukan, Ki!"
Kirania memekik kaget dan spontan berdiri saat Cakra memukul kanvas Kirania sampai jatuh. "Lo kenapa?!" Gadis itu bergerak menjauh dari Cakra dan buru-buru mengambil kanvasnya.
"Kita cuma teman, Ki! Dan seharusnya sejak awal lo sadar ada batasan yang nggak boleh lo lewatin, termasuk tentang masalah gue dan Eriska!" Cakra berjalan cepat meninggalkan Kirania yang sekarang sedang menahan tangis karena mendengar bentakan dari Cakra.
Dia membetulkan letak kanvasnya dan menghela napas panjang. Dia tidak berani melirik ke sekitarnya. Orang-orang yang ada di sana kemungkinan besar melihat drama yang baru saja terjadi. Dia malu dan juga sakit hati. Padahal maksudnya baik. Dia hanya tidak ingin terjadi salah paham di antara Eriska dan Cakra. Lebih baik dia jujur supaya hatinya juga tenang dan kelak tidak akan ada masalah yang menghampiri jika sampai Eriska tahu. Tapi mungkin memang benar bahwa apa yang menurutnya baik belum tentu baik juga untuk orang lain. Buktinya Cakra marah besar kepadanya karena sudah membuat Eriska mengatakan hal yang cukup mengejutkan baginya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
RomanceKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...