"Ciao, Carlos!"
"Ciao, Kirania!"
"Don't forget to wash your face!" ucap Kirania sambil tersenyum.
Pemuda bernama Carlos itu sontak menyentuh pipinya sambil menatap Kirania dengan wajah panik. Dia buru-buru berjalan ke arah toilet untuk membasuh wajahnya. Kirania tertawa melihat bagaimana Carlos berjalan dengan cepat.
"Kenapa dia?" Leona datang dengan tangan membawa gelas berisi kopi.
Kirania mengangkat bahunya. "Kayaknya dia habis melewatkan malam yang panas sama pacarnya. Bekas bibir merah itu menjadi bukti," jawab Kirania yang kemudian memantik tawa Leona.
"Pantas aja dia buru-buru kayak orang kesurupan," ucapnya.
"Ayo masuk!" ajak Kirania.
Mereka berdua kemudian berjalan melewati beberapa lukisan yang terpajang di lorong museum. Kaki dua gadis itu memasuki sebuah ruangan yang menjadi tempat mereka bekerja. Kirania harus pulang sebelum petang karena dia harus menemui dosen di kampus.
"Lo nggak capek?"
Pertanyaan yang kerap dia dengar dari Leona, Rora dan juga Cakra. Mengambil pendidikan S2 sembari bekerja nyatanya begitu menyenangkan. Meski terkadang stres menghampiri tapi Kirania bangga dan juga menikmati prosesnya.
Apa saja yang dilakukan dengan hati pasti akan terasa menyenangkan. Begitu juga dengan Kirania. Dia membuka komputernya dan melihat beberapa email yang masuk. Dia membalas satu per satu email yang dia terima. Sampai kemudian dia mendengar suara ponsel yang dia letakkan di atas meja.
Satu pesan masuk dari Cakra. Bibirnya tersungging begitu manis. Dia menantikan pesan itu sejak kemarin dan akhirnya pria itu menghubunginya. Kirania membaca ucapan selamat menjalani hari yang Cakra kirimkan dengan hati berbunga. Setiap hari pria itu akan mengirim pesan semacam itu untuknya. Sederhana tapi mampu membuat Kirania senang.
"Siapa?"
Kirania menoleh dan melihat Leona. Gadis itu menyipitkan matanya dengan wajah penuh tanda tanya. Kirania hanya tersenyum sambil melirik ponselnya. Leona seolah tahu siapa yang dimaksud oleh Kirania. Dia langsung mengangguk dan mengacungkan jempolnya.
"Hubungan nggak jelas kalian memang sangat luar biasa!" ucap Leona.
Kirania hanya mampu tersenyum tanpa mau menanggapinya. Dia sudah terbiasa digoda seperti itu oleh Leona. Kirania kemudian kembali fokus dengan ponselnya. Dia segera mengetikkan pesan balasan untuk Cakra.
"Semoga hari lo selalu menyenangkan, ya, Ca!"
"Oh, ya! Kalau lo ada waktu buat liburan ke sini, gue bakal ajak lo ke restoran langganan gue."
Dia masih tersenyum ketika mengirimkan pesan tersebut. Kirania masih menatap layar ponselnya dengan harapan yang membumbung tinggi. Detik demi detik, menit demi menit. Kirania tak juga menerima balasan dari Cakra.
"Mungkin dia lagi sibuk," ucapnya lirih.
Gadis itu meletakkan ponselnya ke atas meja dan kembali bekerja dengan perasaan tak menentu. Tidak biasanya Cakra demikian. Pria itu pasti akan langsung membalas pesannya di jam-jam ini. Mereka biasanya akan mengobrol tentang banyak hal. Meski tidak lama karena Kirania harus bekerja tapi itu cukup bagi Kirania supaya merasa tetap dekat dengan Cakra.
***
"Lo pernah nonton film tentang Van Gogh?"
Sore itu, mendung sudah berada di atas kepala. Aroma hujan bahkan sudah tercium di ujung hidung Kirania. Dia menghirup udara yang kala itu terasa dingin. Matanya terarah pada jalanan yang tidak pernah terlihat sepi.
"Belum." Pria yang duduk dengan sebatang rokok di antara jari tangannya itu menggeleng tanpa menoleh.
"Sumpah?! Judulnya At Eternity's Gate." Kirania menaikkan satu alisnya.
Cakra menoleh dan menatap gadis itu dengan wajah datar. "Memangnya kenapa kalau gue belum nonton?" tanyanya.
"Ya... Nggak apa-apa, sih." Kirania tersenyum tipis. "Gue jadi mikir kalau misalnya gue nekat jadi pelukis terus karya gue baru terkenal setelah gue mati, apa semuanya bakal sepadan dengan rasa senang dan bebas yang mungkin bakal gue dapat?" Gadis itu memajukan bibirnya. "Mungkin gue harus tetap kerja kantoran sambil melukis biar tetap hidup." Dia tertawa.
Cakra ikut terkekeh pelan. "Lo nggak pernah ngasih gue hasil karya lo jadi gue nggak bisa komentar apa-apa." Dia mengangkat bahunya.
"Lo mau gue lukis?" tanya Kirania.
Wajah Cakra kembali berubah datar. Dia menatap Kirania tanpa berbicara. Kirania tersenyum dan menepuk bahu Cakra.
"Kayaknya lo nggak akan kuat diem lama di depan gue." Dia kemudian berdiri. "Harsa udah jemput. Gue balik dulu, ya!" Kirania berjalan menjauh sambil melambaikan tangan tanpa menoleh ke belakang.
Cakra hanya diam dan menatap kepergian gadis itu. Dia bahkan hanya mengangguk saat Harsa membunyikan klakson mobil. Cakra kemudian berdiri dan pergi dari sana.
Keesokan harinya, dia hendak duduk. Namun gerakannya berhenti. Pria itu menatap benda yang saat itu berada di atas meja kerjanya. Dia diam saja sampai akhirnya tangan kanannya meraih tas belanja berlogo supermarket terkenal itu dan membukanya.
"Lukisan?" gumamnya.
Dia mengerutkan dahi ketika lukisan itu tepat berada di depan matanya. Sosok pria yang nampak dari belakang. Punggungnya mengingatkan Cakra akan seseorang. Dia melihat baju serta latar tempat di mana pria itu duduk diam sambil memandang ke atas.
Di samping sosok itu juga ada seorang gadis yang sedang menoleh ke samping. Cakra menelan ludah pelan. Ponselnya berdering. Dia mengeluarkan benda itu dari saku celana. Matanya membaca satu kalimat yang dikirimkan ke nomornya.
"Gue kasih lo salah satu lukisan favorit gue."
Cakra membeku. Dia duduk dan kembali memandang lukisan di tangannya. Senyumnya terbit bersamaan dengan rasa hangat yang menjalar di dadanya.
***
Sudah dua hari Kirania tidak menerima kabar dari Cakra. Selama dua hari itu juga dia menjadi sangat sensitif. Bahkan ketika Rora meneleponnya, Kirania menjawab dengan nada ketus.
"Gue telepon baik-baik, lho!"
"Iya, maaf!" jawab Kirania sambil memijat keningnya.
Dia merebahkan diri di atas ranjang ketika mendengar suara helaan napas dari seberang telepon. Dia buru-buru menebak jika ada sesuatu.
"Ada apa, Ra?" tanyanya.
"Gue harusnya nggak perlu basa-basi, ya," ucap Rora. "Cakra lagi nggak di Jakarta. Papanya meninggal karena kecelakaan, Ki."
Wajah Kirania berubah kaget. Dia kembali duduk dan mencoba mencerna tentang apa yang sedang terjadi.
"Maksud lo?" Kirania menelan ludah dengan susah payah.
Dia ingat apa yang sudah dia katakan kepada Cakra kemarin saat pria itu tidak menghubunginya. "Rora?" Kirania memanggil sahabatnya itu karena tidak ada jawaban.
"Gue kira lo udah tahu, Ki. Gue kemarin ke rumah Cakra yang di Jogja. Gue sibuk banget karena ikut bantu-bantu di sana. Papa Cakra baru aja selesai di makamkan."
Kirania seperti orang bingung. "Lo ke rumah Cakra yang di Jogja?" tanyanya dengan nada pelan.
"Ki, gue harus pergi. Nanti gue telepon lagi."
Sambungan telepon terputus sebelum Kirania menjawab. Gadis itu menatap layar ponselnya. Dia membuka ruang obrolan antara dirinya dan Cakra. Rasa bersalah menyusup di dalam dada. Kirania seketika merasa menjadi orang paling jahat sedunia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
Lãng mạnKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...