Cinquanta

391 19 1
                                        

"Siapa?"

Kirania buru-buru menutup ponselnya dan meletakkan benda itu di atas meja. "Lama banget lo!" ucapnya sambil memasang muka sebal.

"Gue tanya, Ki!"

Gadis yang memakai tas berwarna merah itu duduk tepat di seberang Kirania. "Cowok yang lo suka itu, ya?" Dia masih mengejar jawaban dari Kirania.

"Pesan kopi sana!" Kirania tetap tidak ingin menjawab.

"Kita taruhan! Kalau sampai cowok itu ke sini bulan ini, lo traktir gue di restoran pasta yang baru buka itu. Kalau dia nggak ke sini, gue yang akan traktir lo! Gimana?" Gadis yang bernama Leona itu tersenyum sambil bersedekap.

"Deal!" sahut Kirania yang kemudian memutar bola matanya malas.

"Asyik!" teriak Leona.

Dia kemudian berdiri dan pergi untuk memesan kopi dan juga kudapan.

Kirania kembali memandangi ponsel yang tergeletak di atas meja. Ada satu pesan masuk dari pengirim yang diam-diam selalu dia nantikan. Senyumnya merekah. Dia membuka ponselnya dan memandang pesan itu dengan bunga-bunga yang semakin bermekaran di dada.

"Gue kangen sama lo. Apa gue resign aja terus pindah ke sana, ya?"

Kirania tertawa kecil. "Jangan macam-macam! Pacar lo pasti marah kalau lo pindah negara," balasnya memancing.

"Gue maunya sama lo. Nggak mau sama yang lain."

Leona kembali duduk sambil memandangi Kirania dengan wajah heran. "Sial! Dia beneran udah bikin lo gila!" ucapnya kemudian tertawa.

Kirania mengangguk. "Gimana gue nggak makin suka sama dia, Le? Dia pinter banget bikin jantung gue kelojotan." Gadis itu meletakkan ponselnya di atas meja. "Gue masih nggak bisa jawab setiap kali dia bilang sesuatu yang mengindikasikan kalau dia masih suka sama gue dan masih nunggu hubungan kami berkembang." Wajah Kirania terlihat bimbang.

"Why?"

Kirania menaikkan alisnya. Dia meraih cangkir kopi dan meminum isinya sedikit. Gadis itu melirik ke kanan ketika dua orang laki-laki masuk ke dalam kafe itu dan berjalan menuju ke arah bar.

"Susah, Le." Kirania meneguk ludahnya pelan. "Gue cuma takut kalau gue sama dia pacaran dan ternyata hubungan kami nggak berjalan dengan baik sampai harus pisah, selanjutnya kami nggak bisa jadi teman yang saling mengisi dan berbagi kayak sebelumnya. Lo tahu? Gue kira perasaan kayak gitu akan hilang tapi malah makin menjadi-jadi. Gue kewalahan." Dia kembali meraih cangkirnya.

"Lo cuma perlu sebuah keberanian aja, Ki. Ada dua pilihan yang bisa diambil dan masing-masing ada risikonya. Lo pacaran sama dia dengan risiko yang bikin takut atau kalian temenan kayak begini sampai seterusnya sambil terus menahan perasaan masing-masing dan kalian berdua pasti udah tahu kalau itu sangat menyiksa. Tinggal pilih aja, Ki. Lo nggak bisa terus-terusan lari dari Cakra. Both of you deserve better in this relationship!" Leona terlihat tenang.

Kirania tersenyum dan hanya mengangguk. Awalnya berada jauh dari Jakarta akan membuatnya merasa jauh dari Cakra. Ternyata tidak, pria itu justru terasa semakin dekat dengan dirinya. Sepanjang hari Cakra akan mengirimkan pesan-pesan untuknya. Sampai Kirania sering berpikir kalau Cakra pasti akan merasa bosan dengan kondisi hubungan pertemanan aneh mereka. Dia kembali keliru.

Sudah satu tahun, Cakra terus bersikap manis seperti itu. Kirania yang masih menaruh perasaan kepada pria itu semakin berharap akan hubungan mereka. Ketika Cakra beberapa kali mengirimkan sinyal supaya ada perubahan pada hubungan mereka, Kirania justru bungkam. Bimbang yang tidak pernah dia harapkan justru tiba-tiba hadir dan belum juga mau pergi.

***

Jakarta masih terasa sama saja seperti kemarin. Cakra yang malam itu masih menikmati sepuntung rokok dengan kopi kaleng yang dia beli di minimarket terlihat diam sambil memandang jalanan di depannya.

"Lo ngapain diam di sini?"

Cakra menoleh dan melebarkan mata. "Lagi ngerokok," jawabnya santai.

Rora menggelengkan kepala sambil membuang napas kasar. "Liburan sana ke Italy! Gue males banget tiap lihat muka lo ditekuk terus!" Dia masuk ke dalam minimarket dan tidak menoleh ke arah Cakra.

Wajah Cakra mengendur. Dia menghela napas dalam.

"Seandainya gue bisa, gue pengen pindah ke sana juga biar dekat sama Kirania," batin Cakra merana.

Tak berapa lama, Rora keluar dari minimarket sambil menenteng kantong plastik di tangan kanannya. "Lo di sini karena ini minimarket yang paling dekat sama mantan kos Kirania, kan?" Dia menunjuk wajah Cakra dengan mata menyipit.

Cakra tersenyum kecut sambil menyugar rambutnya ke belakang. "Hm!"

"Gila! Kalian berdua bikin gue ikutan gila!" Rora berjalan pergi dari sana sambil menggelengkan kepala.

Cakra meneguk kopi kalengnya sambil melihat Rora yang membawa mobilnya pergi dari halaman minimarket. Cakra menatap arloji di pergelangan tangannya. Sudah pukul sembilan malam. Dia juga harus segera pulang ke apartemen.

Setelah menghabiskan kopi dan rokoknya, pria itu akhirnya pulang. Dia menyempatkan diri untuk melewati jalan yang dulu sering dia lalui bersama Kirania. Ingatan manis tentang pertemanan mereka berputar di kepala. Dia tersenyum sendirian di keremangan malam.

Pria itu ingin membawa gadis itu kembali pulang ke Indonesia tapi sepertinya itu juga bukan ide yang bagus. Pergi ke negara itu adalah cita-cita Kirania sejak sebelum mereka bertemu. Cakra tidak mungkin menyeret Kirania kembali ke Jakarta dengan seenaknya.

"Mama?" Cakra melebarkan mata setelah dia membuka pintu apartemen.

"Anak Mama sudah pulang," ucap Wulan sambil berdiri dari duduknya.

Dia menyambut Cakra yang datang dan memeluknya. Meski bukan anak kecil lagi tapi Cakra tidak malu memeluk mamanya. Dia tersenyum dan memandang wajah ayu Wulan yang kini sudah semakin keriput. Usia mamanya tidak muda lagi dan Cakra sadar kedatangan mamanya ke Jakarta karena ingin membicarakan sesuatu.

"Gimana foto yang Mama kirim kemarin?" Wulan kembali duduk dengan mata yang tak lepas dari sosok sang putra.

Cakra berjalan menuju ke kamarnya dengan wajah malas. "Aku mandi dulu, Ma." Dia belum ingin membahas masalah tersebut saat ini.

Wulan mengerti dengan sikap Cakra. Dia mengangguk dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya. Dia meraih ponsel di atas meja dan mulai melihat foto yang dia simpan dengan mata berbinar. Harapannya setinggi langit dan dia yakin Cakra tidak akan mengecewakan dirinya.

Di kamarnya Cakra membuang napas gusar. Dia memeriksa ponselnya. Tidak ada satu pun pesan atau telepon dari Kirania. Pesan yang dia kirimkan terakhir kali juga tidak dibalas oleh gadis itu. Cakra frustasi. Dia mengacak-acak rambutnya.

Pria itu melemparkan tubuhnya ke atas ranjang dan menatap nyalang langit-langit kamarnya. Dia memutar otaknya untuk menemukan cara supaya mamanya bisa lebih bersabar lagi. Tidak ada yang bisa dia salahkan kemarin. Tapi di situasi sekarang dia mulai berpikir bahwa kematian kakak perempuannya membawanya ke masalah yang tidak dia inginkan.

"Gue nggak bisa ke mana-mana!" katanya dengan nada frustasi.

Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang