"Kiya!"
Gadis dengan wajah yang tertutup rambut panjangnya itu mencoba membuka mata. Dia kembali memejamkan mata karena terlalu berat untuk membukanya. Kemudian suara itu kembali terdengar di telinganya bersamaan dengan ketukan pada pintu yang semakin nyaring.
"Kiya, bangun!"
Kirania terbangun dari tempat tidurnya dengan cepat ketika otaknya mengingat suara itu. "Cakra?" gumamnya sambil duduk dengan daster usang yang masih menempel di tubuhnya.
"Ki, ayo bangun!"
Kirania memandang dirinya sendiri. "Enggak, jangan masuk dulu!" ucapnya.
"Kenapa? Lo udah mandi, kan?"
"Tunggu aja di situ!" teriak Kirania sambil berdiri seperti orang gila.
Dia berlari ke kamar mandi dan membanting pintunya. Kirania tidak bisa berpikir apa-apa sekarang kecuali dia harus segera mandi dan keluar menemui Cakra. Gadis itu bahkan hampir saja menjatuhkan sikat giginya ke dalam closet yang terbuka karena terlalu terburu-buru.
"Dia ngapain ke sini, sih?!" gerutunya sambil keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit pada tubuhnya.
Hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk memakai baju kerja dan berdandan ala kadarnya. Kirania segera membuka pintu dan melihat Cakra yang duduk di kursi dengan senyuman merekah.
"Lo ngapain ke sini?" tanya Kirania dengan wajah galak.
"Mau pergi ke kantor sama lo," jawab Cakra enteng.
Pria itu berdiri dan menghela napas panjang. "Lo kayaknya lagi marah sama gue, ya?" tanya Cakra.
"Iya! Baru sadar lo?" Kirania mengunci pintu kamar kosnya dan berjalan melewati Cakra dengan wajah kesalnya.
"Ki..." Cakra meraih tangan Kirania. "Maaf kalau gue ke sini dan nggak bilang dulu sama lo," katanya.
Kirania menyentak tangan Cakra sampai terlepas. "Kenapa lo jadi bertingkah begini, sih? Lo nggak takut kalau Jelita tahu?" Kirania sangat cemas dengan apa yang Cakra lakukan.
"Gue hilang rasa sama dia, Ki." Cakra memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana sambil terus berjalan di samping Kirania.
"Jangan!" Kirania menoleh dan menatap Cakra dengan mata melotot. "Jangan macam-macam sama hubungan kalian. Jangan sampai lo putusin Jelita cuma karena gue! Gue bakal marah kalau lo begitu." Kirania kemudian melanjutkan langkah kakinya.
"Gue hilang rasa sama dia bahkan sebelum kejadian itu, Ki. Kalau hubungan gue sama dia berhenti di tengah, itu semua bukan karena lo. Tapi karena memang hati gue sejak awal nggak pernah benar-benar buat Jelita," ucap Cakra sambil melihat Kirania yang masuk ke dalam mobilnya.
Kirania yang sudah duduk di bangku penumpang lantas melayangkan tatapan tajamnya kepada Cakra dengan tangan memegang handle pintu. Dia diam saja dan sengaja menutup pintu mobil Cakra dengan keras sampai Cakra sedikit kaget. Pria itu hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala pelan.
Di dalam mobil, Kirania hanya diam sambil mendengarkan musik yang diputar oleh Cakra. "Lo masih suka sama gue, kan?" tanya Cakra tanpa basa-basi.
"Apapun alasan yang lo pakai buat pisah sama Jelita, tetap bakal bikin nama gue rusak di depan banyak orang. Lo mikir sampai situ? Gue memang suka sama lo dari lama. Lo mungkin nggak akan dengar ini lagi dari mulut gue buat ke depannya karena..." Kirania berhenti berbicara. "Karena gue mungkin nggak ada ada di Jakarta lagi." Dia melirik Cakra yang wajahnya sudah terlihat masam.
"Maksud lo apa, Ki? Kenapa lo bikin gue kayak cowok bodoh begini?" Suara Cakra bisa menjelaskan bahwa pria itu benci dengan apa yang Kirania ucapkan. "Lo mau pergi dan lari dari tanggung jawab setelah lo bikin gue sadar kalau gue cinta sama lo?" Cakra tertawa sinis. "Dasar egois!" lanjutnya tanpa perasaan.
Kirania menunduk dan berusaha menjaga perasaannya sendiri. Dia tidak mau menangis meski rasanya susah sekali setelah mendengar ucapan Cakra.
"Gue salah karena nyium lo waktu itu dan gue sadar kalau gue lagi bikin neraka buat kita berdua. Lo pernah bilang kalau lo suka sama Jelita dan dia adalah cewek yang sempurna di mata lo. Terus..." Kirania menoleh dan melihat rahang Cakra mengeras. "Lo tiba-tiba bilang cinta sama gue cuma karena gue nyium lo waktu itu? Lebih baik lo pikirin lagi, Ca. Tindakan itu gue lakukan secara spontan dan gue nggak berharap lo bakal balas perasaan gue karena menurut gue udah terlambat, Ca." Kirania kemudian melempark tatapannya ke luar jendela karena tidak mampu melihat kemarahan yang tersirat di wajah Cakra.
"Fine! Gue ngerti sekarang apa mau lo," jawab Cakra.
Tidak ada yang berbicara lagi setelah jawaban Cakra terdengar. Mereka berdua hanya sama-sama diam dan tidak melirik satu sama lain. Cakra terlihat marah dan Kirania terlihat begitu merana. Mereka sama-sama didera rasa bimbang. Sampai kemudian mobil Cakra tiba di gedung kantor, Kirania baru berani membuka suara meski hanya sekedar mengucapkan terima kasih kepada Cakra.
"Ki!" Cakra memanggil gadis yang hendak berlalu pergi itu.
Kirania menoleh ke belakang dan melihat Cakra berdiri tepat di samping mobilnya. Gadis itu menatap wajah Cakra yang tak lagi terlihat marah. Namun, ada hal lain yang kini bisa Kirania simpulkan dan sedikit membuat hatinya menyesal.
"Thanks karena lo udah nyuruh gue mikir lagi tentang ini semua. Gue rasa lo benar, gue nggak perlu putus dari Jelita karena gue ternyata cuma jadi badut di mata lo. Mulai sekarang, kita lupakan rasa cinta itu. Ada hal lain yang perlu kita perjuangkan demi masa depan dan itu..." Cakra menatap mata Kirania yang dia tahu kini berembun. "Itu bukan tentang kita berdua. Take care!" Pria itu lantas pergi dari sana meninggalkan Kirania yang menahan perih di dada.
Setelah pertemuan mereka di pagi itu, Kirania tak lagi menerima telepon atau pesan dari Cakra. Meski diam-diam dia masih berharap kalau Cakra akan menghubunginya sebagai teman tapi nyatanya hal itu tak pernah terjadi. Beberapa kali Kirania bertemu dengan Cakra di kantor tapi pria itu hanya menatapnya sekilas dan pergi.
"Lo musuhan sama Cakra?" tanya Rora penasaran.
"Udah nggak ada hubungan apa-apa lebih tepatnya," jawab Kirania sambil membereskan mejanya yang berantakan karena banyak dokumen.
"Kalian nggak jadi pacaran?" Rora berdiri dan membungkuk.
Gadis itu berbicara dengan suara rendah karena takut orang lain akan mendengar percakapan mereka. Kirania melirik Rora dan menggeleng lemah. Kecewa dan penyesalan jelas terlihat pada raut wajahnya. Kirania tidak memungkiri kalau dia merasa kehilangan.
"Gue dukung apa pun keputusan lo, Ki. Semangat! Sore ini kita makan ramen, gue traktir." Rora menepuk pundak Kirania sekilas kemudian kembali ke meja kerjanya.
"Ini yang terbaik, Ki," batin Kirania memberi peringatan kepada dirinya sendiri.
Sore itu, langit senja di atas kota Jakarta terasa berbeda. Kirania tak lagi merasa senang berada di kantornya. Dia tak lagi merasa nyaman berada di satu gedung yang sama dengan pria itu. Cintanya layu sebelum berkembang. Gadis itu mempertahankan benteng yang sudah dia bangun dengan sangat bagus meski benteng itu membuat dirinya tertekan dan tidak bebas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
RomanceKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...