Kirania menggenggam ponselnya dengan erat. Sedari tadi dia mondar-mandir di dalam kamarnya sambil menunggu pesannya dibalas oleh Cakra. Dia berhenti berjalan dan menatap pesan yang dia kirimkan beberapa waktu yang lalu.
"Nggak aktif," gumamnya sedih saat tanda centang di layar ponselnya sejak tadi hanya berjumlah satu.
Kirania menggulir layar ponselnya. Dia membaca kembali pesan yang dia kirimkan kemarin untuk Cakra. Dia menggigit bibirnya dengan hati penuh dengan penyesalan.
"Aduh, gue bodoh banget!" ucapnya kesal sambil mengacak rambutnya.
Dia melihat jam yang tergantung di dinding kamar. Pukul sembilan pagi dan Kirania belum ada niat untuk keluar dari flatnya. Rasa menyesal dan juga sedih yang dia alami membuat nafsu makannya menghilang. Hari Minggu ini akan menjadi hari Minggu yang tidak menyenangkan baginya.
Dia kembali merebahkan diri di atas ranjang. Dia mencoba menghubungi Rora tapi nomor ponselnya tidak aktif. Dia menghela napas berat. Kedua orang yang saat ini sedang berada di kota yang sama itu seperti sepakat untuk menghindari Kirania.
Di sudut negara lain, tepatnya di kota Gudeg, Cakra terlihat duduk diam di dalam kamarnya. Kamar yang sudah lama tidak dia tempati tapi masih tetap terjaga dan terawat. Matanya menatap kosong pada foto yang terpajang di dinding kamar. Tidak terlalu besar tapi cukup membuat lubang di hati pria itu semakin menganga.
Dia mengusap air yang ada di pelupuk mata dan hendak turun ke pipi. Di rumah orang tuanya masih banyak saudara serta tetangga. Tapi Cakra merasa kalau rumahnya sangat sepi. Dia masih diam menatap foto di depannya dengan semua kenangan yang mereka miliki.
Kakak perempuan dan ayahnya sudah lebih dulu pergi. Secara mendadak pikiran Cakra terasa kosong ketika satu wajah terlintas di benaknya. Kirania. Gadis biasa yang mampu menarik hatinya. Dia bahkan bisa melupakan Erika dengan sangat mudah setelah mengenal gadis itu. Luar biasa sekali.
Ketukan pada daun pintu terdengar di telinganya. Lamunannya buyar disusul dengan suara pintu yang terbuka perlahan. Cakra menoleh dan melihat satu wajah yang sudah sangat akrab dengan dirinya. Gadis itu terlihat menatapnya dengan bimbang.
"Tolong makan dulu. Dari tadi pagi perut lo nggak diisi. Lo bisa sakit, Cakra. Mama lo but-"
"Lo nggak tahu apa-apa tentang gue. Jadi, lo nggak perlu sok bijak di depan gue!" Cakra mengatakan kalimat itu dengan nada judes.
Gadis itu menelan ludah susah payah seraya mengangguk. Dia kemudian menutup pintu kamar Cakra dan membiarkan Cakra kembali sendirian. Meski Cakra bersikap demikian tapi di dalam benak pria itu, dirinya menyadari jika mamanya tidak mungkin dibantah dengan kondisi keluarga mereka yang sedang berduka. Cakra bahkan merasa kalau duka mereka tidak akan cepat berlalu. Dia tahu betul betapa ibunya sangat mencintai ayahnya yang sudah berpulang.
Dia teringat dengan ponselnya. Cakra mengeluarkan benda itu dari saku celananya. Dia menghela napas dalam saat tersadar jika seharian ini dia belum menyalakan ponselnya. Dia menunggu benda itu bekerja sambil berjalan menuju ke arah pintu kamar mandi. Dia butuh berendam air hangat sekarang juga demi meredakan semua lelah di tubuh dan pikirannya.
Deretan pesan dan panggilan tidak terjawab segera datang ke ponselnya. Cakra yang sedang mengisi bath up dengan air hangat lantas berdiri. Kirania mengirim banyak sekali pesan dan gadis itu juga banyak sekali melakukan panggilan telepon kepadanya.
"Sial!" batinnya menyesal.
"Ca? Kenapa nggak kasih kabar kalau papa lo meninggal?"
"Gue turut berduka cita, ya, Ca. Papa lo orang baik. Semoga dilapangkan dan diterangkan jalannya dan semoga lo serta mama lo selalu diberikan kesabaran."
"Ca, gue baru tahu kabar ini dari Rora. Gue minta maaf karena kemarin sempat bilang hal nggak penting padahal lo lagi ada masalah. Maaf, ya, Ca."
"Lo masih sibuk, ya? Nomornya nggak bisa gue telepon, Ca. Chat gue juga nggak terkirim."
"Ca, lo baik-baik aja, kan?"
"Kalau udah ada waktu senggang dan lo butuh teman cerita, gue siap dengerin. Lo tinggal hubungi gue kapan aja. Jangan lupa makan dan minum vitamin, Ca."
Jantung Cakra terasa merosot ke bawah. "Rora?" gumamnya sambil melirik ke arah pintu.
Dia lantas meletakkan ponselnya. Nanti saja dia akan menghubungi Kirania, begitu isi kepalanya. Cakra ingin tenang barang sejenak.
***
"Lo lagi stres?"
Kirania mendongak dan matanya berkedip seperti orang bingung. Dia hanya diam dan kembali memakan pasta di piringnya. Leona datang ke flatnya sambil membawa makanan. Kirania merasa beruntung karena setidaknya dia tidak benar-benar hidup sendiri di negara orang.
"Ki?" Leona memanggil.
"Gue baik-baik aja," jawab Kirania cepat.
"Jujur sama gue," ucap Leona.
Kirania membuang napas kasar dan meletakkan garpunya. "Cakra nggak bisa dihubungi." Dia meraih gelas panjang berisi air dan meminumnya.
Leona melebarkan mata. "Apa?! Dari kemarin dia belum kasih kabar?" Dia menegakkan tubuhnya.
Kirania mengangguk lesu. Dia kembali diam ketika Leona mengomel tentang Cakra. Pikiran gadis itu tidak pada tempatnya, melainkan pada pesan-pesan singkat yang dia kirimkan kepada Cakra saat pria itu tidak ada kabar.
"Menurut lo, apa yang udah lo lakukan ke gue selama ini wajar?"
"Kalau kita cuma sekedar teman, kenapa lo nggak kasih tahu di awal?"
"Waktu lo kayaknya udah habis buat gue. Sibuk banget sampai nganggap gue nggak pernah ada."
"Have fun, ya, Ca! Gue capek dikasih harapan sama lo. Gue yakin lo udah ada cewek baru."
Kirania mengusap matanya yang tiba-tiba berair. "Aduh!"
Leona melongo. "Ngapain lo nangis?"
"Gue udah nuduh Cakra yang nggak benar, Le. Gue merasa bersalah padahal dia lagi berduka dan gue nggak ada di samping dia. Belum apa-apa aja sikap gue udah jelek begini. Gimana kalau kami beneran pacaran? Kayaknya gue bisa menuntut lebih dan bikin dia terbebani."
Kalimat panjang Kirania membuat Leona memutar bola matanya dengan malas. "Nggak ada salahnya lo bilang begitu sama dia. Biar dia juga mikir, kira-kira hubungan kalian mau dibawa ke mana? Lagipula gue juga yakin Cakra paham dengan apa yang dia lakukan ke lo selama ini. Jadi wajar kalau lo merasa dia ngasih harapan."
Kirania mengangguk dan kembali terdiam.
"Lama-lama lo bisa bisu beneran, lho!" Leona terlihat kesal. "Lo juga aneh! Kalau lo berharap kalian akhirnya bersama, kenapa lo nggak bilang aja ke dia waktu dia gencar kirim kabar ke lo? Lo jual mahal di awal tapi akhirnya kena rayuan juga!"
Leona hendak berbicara kembali namun deringan ponsel Kirania mengambil alih perhatian mereka berdua. Kirania segera meraih benda itu dari atas meja. Dia melebarkan mata dan segera pergi dari harapan Leona. Leona mengangguk dengan wajah mengejek. Dia tahu siapa yang menghubungi Kirania.
"Hubungan yang aneh. Tarik ulur terus!" gerutu Leona.
Meski dia menggerutu tapi diam-diam Leona ikut senang karena pada akhirnya Cakra menghubungi Kirania. Dia tidak betah melihat wajah cemas Kirania. Gadis itu seperti tidak memiliki semangat untuk menjalani hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
RomansaKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...