"Jadi..." Kirania menelan makanan yang baru saja selesai ia kunyah. "Lo beneran nggak ada pacar?" tanyanya untuk semakin meyakinkan diri.
"Nggak ada. Memangnya kenapa? Lo mau jadi pacar gue?" jawab Cakra sekenanya.
"Gue cuma mau memastikan kalau setelah pulang dari sini, gue tetap aman. Nggak ada cewek yang tiba-tiba datang terus ngamuk gara-gara cowoknya ngajak gue makan malam bareng. Bukan karena gue pengen jadi pacar lo, ya!" Kirania mendelik melihat Cakra yang sekarang menahan tawa.
Mereka makan bakso diselingi obrolan ringan yang cukup menghibur bagi Cakra. Laki-laki itu mengeluarkan kotak rokok dari dalam kantong celana kerja yang ia pakai. Dia meletakkan benda itu ke atas meja beserta pemantik api berwarna biru. Kirania melirik benda itu seraya menggigit bibirnya. Cakra baru saja selesai memesan es teh satu gelas lagi untuk dirinya ketika matanya melirik wajah bimbang milik Kirania.
"Lo mau ngerokok?"
"Hah?" Kirania segera mendongak dan mengerjapkan mata kaget. "Eumm..." Gadis itu menggigit bibirnya ketika Cakra mengangsurkan kotak rokoknya kea rah gadis di depannya setelah ia mengambil satu batang rokok untuk dirinya sendiri.
"Ambil aja! Lo boleh ambil rokok gue, kok. Semuanya juga boleh, gue nggak akan minta ganti rugi," ucap Cakra sambil tertawa.
Mata Kirania melirik ke kanan dan ke kiri. "Gu- gue..." Dia memejamkan mata sejenak kemudian matanya kembali terbuka dan tangannya terulur untuk mengambil benda di depannya itu.
Gadis itu menatap Cakra yang tangannya terulur dengan pemantik api yang menyala di depan wajah Kirania. Dengan rasa canggungnya, Kirania memajukan kepala dan menyalakan rokoknya. Dia menghisap rokok itu dan menghembuskan asap yang selama ini sudah sangat akrab dengannya.
"Terima kasih, ya," ucap Kirania.
Cakra mengangguk dan tersenyum. Kirania kini menikmati rokoknya sambil sesekali melirik Cakra. Laki-laki di depannya itu sekarang juga sedang asyik dengan rokok di kedua jarinya. Selama beberapa menit mereka hanya saling diam dan tak berbicara. Sampai akhirnya suara Cakra membuat Kirania menoleh.
"Lo bisa ngerokok pakai rokok gue, nggak keberatan rasanya?" tanya Cakra santai.
Kirania menggelengkan kepala. "Enggak. Gue pernah beli yang kayak gini juga," jawabnya setelah ia menghembuskan asap tebal ke udara.
"Lo udah lama suka ngerokok?"
"Tiga tahun belakangan ini. Sorry kalau lo risih sama gue." Kirania tidak bisa lagi menyembunyikan rasa malunya.
Cakra justru tertawa. "Ini Jakarta, Ki! Cewek di sini yang ngerokok banyak, yang suka minum juga banyak. Gue biasa aja. Sorry kalau pertanyaan gue bikin lo nggak nyaman," ucap laki-laki itu.
Kirania tersenyum lega. "Gue kira lo nggak terbiasa duduk bareng sama cewek perokok kayak gue."
Cakra mendengus. "Setelah dari sini, lo mau langsung balik?" Dia melirik arlojinya.
Kirania melebarkan matanya. Dia meminum es jeruknya dan kembali fokus pada Cakra.
"Motor gue masih di kantor, lo nggak masalah nganterin gue balik ke sana?" Kirania baru teringat dengan motornya yang ia tinggal begitu saja.
"Gue anterin lo balik aja sekalian. Bokap nyokap lo udah tahu kalau lo lagi mampir makan, kan?" Cakra melihat raut wajah gadis di depannya yang seketika berubah meski hanya beberapa detik saja.
"Gue di sini tinggal di kos," jawab gadis itu. "Kalau lo nggak keberatan, nggak apa-apa."
Cakra mengangguk paham dan setelahnya laki-laki itu benar-benar mengantarkan Kirania pulang dengan selamat. Mereka kini sudah tiba di depan gerbang kos Kirania. Cakra menatap bangunan tiga lantai itu kemudian beralih menatap Kirania yang baru saja selesai melepaskan sabuk pengamannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
عاطفيةKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...