Kirania membuka pintu kamar kos tanpa semangat. Tinggal menghitung hari dan dia akan meninggalkan kota itu. Rasa sedihnya semakin terasa saat Rora menangis di hadapannya. Dia hanya tidak ingin membuat Rora kecewa dengan terus menyembunyikan rencana kepergiannya.
"Gue senang karena lo bisa menemukan jalan yang selalu pengen lo lalui. Tapi..." Rora memandang teman baiknya dengan mata sendu. "Lo juga perlu tahu kalau kenangan nggak akan hilang cuma karena jarak dan waktu. Kenangan akan selalu tertanam di kepala dan akan diputar sewaktu-waktu meski tanpa lo minta."
Kirania menghela napas dalam. Dia menjatuhkan tasnya di atas karpet dan duduk di pinggiran ranjang. Rora benar, itulah yang dipikirkan oleh Kirania. Gadis itu kemudian menggelengkan kepala dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ada banyak hal yang harus dia lakukan malam ini.
Hari demi hari berlalu begitu cepat. Kirania menjalani hari-harinya dengan baik dan tanpa drama. Dia hanya ingin meninggalkan kesan yang baik kepada perusahaan tempat dia bekerja saat ini. Meski dia lebih sering berada di dalam ruangan karena harus mengerjakan ini dan itu. Dia juga tidak keluar dari sana meski jam makan siang tiba. Kirania selalu membawa bekal sampai membuat Rora ikut membawa bekal atau dia menyempatkan diri untuk membeli makan siang supaya bisa makan bersama Kirania.
"Lo nggak bosan?" tanya Rora setelah mereka selesai makan.
Kirania menggelengkan kepala. "Nggak!"
"Dasar nggak waras," celetuk Rora yang hanya ditanggapi dengan tawa oleh Kirania.
"Mbak Kirania!"
Kirania mendongak ketika ada seseorang yang memanggil namanya. Gadis cantik asal Bandung itu tersenyum dan berjalan menuju ke arah meja Kirania. Dia meletakkan selembar amplop berwarna pink ke atas meja Kirania.
"Ada surat buat Mbak Kirania," ucap gadis itu dengan ramah.
"Dari siapa, Din?" Kirania mengerutkan kening dalam.
"Nggak tahu! Aku cuma dititipin sama resepsionis yang lagi jaga, katanya tadi ada cowok ganteng yang datang terus nitip ini buat Mbak," jawab Dinda yang akan menggantikan pekerjaan Kirania di kantor tersebut.
Kirania meraih surat itu. Amplop berwarna pink dengan hiasan pita. Kirania membukanya perlahan.
"Surat undangan nikah, ya?" tanya Rora.
"Kayaknya iya." Kirania membaca isi surat itu dan matanya tak berkedip.
"Dari siapa?" Rora berdiri dan ikut mengintip isi surat itu dari samping tubuh Kirania.
"Harsa," jawab Kirania pendek.
"Itu temanmu, ya, Mbak?" tanya Dinda dengan polos.
"Iya, dia teman Kirania," sahut Rora dengan senyuman lebar.
Kirania kemudian tersenyum seraya menutup surat itu. "Lo udah makan, Din?" tanyanya.
"Udah." Dinda mengangguk dan duduk di samping Kirania.
Rora kemudian menyingkir dari sisi Kirania. "Semangat Dinda!" ucapnya yang membuat Dinda tersenyum lebar.
***
"Ki!"
Kirania menoleh ke belakang. Dia mengangkat tangannya dan tersenyum tipis. Pria yang berusia lebih tua darinya itu berlari kecil menuju ke arahnya. Seandainya jalan mereka berdua tidak seperti ini, mungkin sampai saat ini Harsa tidak akan berhenti untuk membuat Kirania menyukainya.
"Sorry, tadi aku mampir beli bensin dulu." Harsa duduk di depan Kirania dengan napas terengah-engah.
Kirania tertawa kecil dan mengangguk. "Nggak apa-apa!" katanya tulus.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
Любовные романыKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...