Ventinove

388 14 0
                                        

"Lo udah resmi pacaran sama Harsa?"

Kirania meneguk ludahnya pelan. Dia bersedekap sambil memandang angka di dalam lift yang akhirnya berjalan setelah Cakra berlari dan menerobos masuk ke dalamnya. Laki-laki itu menatap ke samping di mana Kirania berada. Dia sama sekali belum memutuskan pandangannya dari gadis tersebut.

"Udah," jawab Kirania singkat tanpa berani menoleh.

Cakra menaikkan satu alisnya tinggi. "Oh!" Dia menganggukkan kepala paham. "Selamat, ya! Gue ikut senang kalau lo senang," lanjut laki-laki itu.

Kirania mencoba tersenyum dan mengangguk. "Thanks!"

Kemudian suasana mendadak menjadi hening. Tidak ada yang berbicara dan seketika atmosfer di dalam benda yang ditarik oleh tali baja itu terasa canggung. Kirania menoleh ketika ponsel Cakra berdering. Dia mengamati ekspresi Cakra dengan teliti. Seolah-olah, dia sedang mencari tahu apa yang sedang Cakra rasakan atau pikirkan.

"Halo, Sayang?"

Kirania buru-buru membuang pandangan ke arah atas. Dia segera sadar jika Cakra sedang menerima panggilan telepon dari Jelita. Wajah laki-laki itu terlihat sumringah dengan senyuman lebar yang hampir menyentuh mata.

"Malam ini? Okay! Nanti aku jemput kamu aja, gimana?"

Kirania menelan ludahnya kembali untuk mengusir rasa tidak nyaman di dadanya.

"Iya, nanti kita makan di sana."

Ting!

Tepat waktu! Kirania segera keluar dari lift dan meninggalkan Cakra yang masih berbincang dengan Jelita melalui ponselnya. Kirania tidak sadar jika Cakra terus berjalan cepat di belakangnya dan dengan kata lain, Cakra sedang mengikuti Kirania.

Gadis itu buru-buru menuju ke arah motornya. "Kiya!" Suara Cakra terdengar menggema di telinganya.

"Apa?!" Kirania meninggikan suaranya dan membuat Cakra kaget.

Laki-laki itu berhenti mendadak dan menatap Kirania dengan wajah waspada. Kirania seperti monster jika sedang marah dan Cakra sepertinya tanpa sengaja sudah membuat gadis itu kesal. Dia tersenyum lebar dan menunjukkan gigi-giginya yang berjajar rapi.

"Lo... sejak kapan jadi pacar Harsa?" tanya Cakra.

Kirania mengerutkan kening dalam. Cakra masih ingin membahas masalah ini dengannya. Kirania seharusnya bisa menolak tapi entah kenapa dia diam-diam merasa senang karena Cakra bertanya kepadanya tentang hubungannya dengan Harsa. Itu berarti Cakra memperhatikan dirinya, kan?

"Ah! Gue bikin lo nggak nyaman karena tanya masalah pribadi lo sama Harsa, ya?" Cakra merasa bersalah. "Gue..." Cakra menggaruk keningnya sekilas. "Gue cuma mau ngasih selamat ke lo dan Harsa karena akhirnya kalian pacaran. Selamat, ya! Gue senang!" ucap Cakra.

Kirania mengangguk dan tersenyum tipis. Patah. Cakra tidak tahu jika di dalam dada Kirania ada sesuatu yang akhirnya kembali patah. Kirania tidak tahu jika hatinya bisa patah berkali-kali karena satu orang yang sama, Cakra. Seharusnya dia tahu jika Cakra tidak menyukainya. Laki-laki itu menyukai wanita anggun, pintar dan cantik seperti Jelita. Bukan dirinya.

"Lo udah jadi pacar Harsa dan seharusnya lo jaga hati lo buat dia, Ki!" Kirania mengerjapkan mata ketika malaikat berbisik di depan telinga kanannya.

Gadis itu menepuk lengan Cakra pelan. "Kapan-kapan gue traktir lo!" katanya.

Mimik wajah Kirania sudah berubah melunak dan sedikit ceria. "Gue buru-buru mau pulang. Malam ini Harsa ngajak gue makan malam bareng." Kirania berbohong.

"Oh! Hati-hati, Kiya!" Suara Cakra terdengar tegas namun mata laki-laki itu tidak bersinar cerah.

Kirania diam sesaat untuk memahami keadaan sampai kemudian dia memilih untuk tidak terlalu peduli. Bukankah Cakra memang selalu begitu? Laki-laki itu susah ditebak. Kirania tidak mau berprasangka apa-apa lagi. Dia tidak mau malu dan melukai hati Harsa.

"Lo juga, ya, Ca! Hati-hati jemput Jelita!" ucap Kirania.

***

Kirania menyapukan kuasnya dia tas kanvas yang kemarin sore ia beli. Gadis itu menggunakan imajinasinya untuk membuat sebuah karya yang sebenarnya sudah lama terlintas di kepalanya. Dia melukis wajah seorang perempuan dengan kuas di tangan kanannya dan sebuah kalkulator di tangan kirinya.

Dia membuat latar lukisan itu terlihat ambigu. Beberapa orang yang nampak tertawa senang di meja makan sambil menyantap berbagai makanan yang terhidang. Orang-orang itu terdiri dari ayah, ibu dan dua anak mereka. Ada sebuah peta negara Italia yang tergeletak di atas lantai di dekat meja makan tersebut.

Kirania melukis semua itu dengan mata yang tergenang air mata. Gadis itu duduk di depan kanvas yang kini sudah terlihat penuh oleh coretan-coretan cat akriliknya selama beberapa jam. Di dalam kamar kos yang tidak terlalu luas itu, Kirania hanya ingin merasakan sebuah kelegaan dengan cara melukis setelah semalam ayahnya meminta uang kepadanya. Tidak sedikit.

Kirania tidak punya tabungan lagi. Dia bahkan masih memiliki utang kepada Cakra. Salah satu adik tirinya ingin mengikuti pertukaran pelajar ke Korea Selatan. Kirania tahu bahwa adiknya sudah sangat lama ingin pergi ke sana. Tapi, dia tidak pernah berpikir kalau dia juga yang harus menanggung biayanya. Dia bahkan kesulitan untuk mewujudkan mimpinya sendiri.

Kirania terus menurunkan tangannya yang sama sekali tidak terasa lelah. Sudah selesai. Gadis itu lantas pergi ke kamar mandi. Dia bahkan tidak mencuci wajahnya sejak pagi. Dia tidak menggosok giginya. Dia juga belum sempat makan. Dia sibuk dengan alat-alat melukisnya. Sekarang lukisan itu ia biarkan di tempatnya sementara dia harus segera membersihkan diri.

Sebentar lagi Harsa pasti datang. Laki-laki itu mengiriminya pesan tadi pagi. Harsa hendak mengajak Kirania makan siang. Kirania tidak mau menjadi gadis yang jahat. Harsa sangat baik kepadanya. Meski sebenarnya dia tidak sedang ingin pergi ke mana pun, tapi dia mencoba menerima tawaran Harsa. Semuanya karena dia menghargai usaha yang dilakukan Harsa untuknya.

Ketika Kirania masih sibuk di dalam kamar mandi, pintu kamar gadis itu terbuka. Sosok Harsa muncul di depan pintu sambil melepas sepatunya. Pandangan laki-laki itu langsung jatuh pada kanvas yang ada di dalam sana. Melihat berbagai alat lukis di atas meja membuat Harsa tersenyum. Dia tahu kalau Kirania baru saja selesai melukis. Gadis itu memberitahunya tadi melalui pesan singkat.

"Sayang?!" Harsa memanggil Kirania.

"Harsa?! Kamu udah sampai, ya?!"

Harsa tersenyum kecut mendengar Kirania memanggil namanya. "Iya!" jawab laki-laki itu.

"Sebentar lagi aku selesai!"

"Ya!"

Mereka berdua terdengar saling menggunakan nada tinggi karena posisi Kirania memang sedang berada di dalam kamar mandi. Harsa duduk dan memandangi lukisan kekasihnya dengan dahi berkerut samar. Dia tidak paham dengan apa yang dilukis oleh Kirania. Dia melihat jika gadis di dalam lukisan itu memasang wajah datar.

"Dia gambar apa, sih?" gumamnya pelan.

Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Harsa menoleh dan menatap Kirania dengan rambut basahnya. Gadis itu terlihat segar. Dia memakai kaos berwarna putih dengan celana pendek berwarna coklat. Harsa tersenyum.

"Baru mandi, ya?"

"Hm!" Kirania mengangguk. "Aku sibuk sama lukisan itu dari pagi jadi baru sempat mandi," lanjutnya sambil mengeluarkan hair dryer dari dalam laci.

"Aku tebak... kamu belum makan dari pagi," ucap Harsa.

Kirania mulai sibuk mengeringkan rambutnya. Dia tertawa dan mengangguk tanpa menjawab pertanyaan Harsa.

"Ki?"

Setelah beberapa menit kedua orang itu tak bersuara, Harsa memanggil sang kekasih dengan tatapan yang tak lepas dari punggung perempuan ayu tersebut. Lantas Kirania menoleh dan melihat bagaimana ekspresi sendu Harsa.

"Ya?"

"Kamu..." Kalimat itu tidak mampu Harsa lanjutkan dan membuat Kirania mengerutkan kening penasaran.

"Aku kenapa?" tanya Kirania.

"Nggak apa-apa. Kalau ada yang lagi kamu pikirkan, jangan sungkan buat ngasih tahu aku, ya?" pinta Harsa.

Kirania tersenyum dan mengangguk. Harsa kira, Kirania akan mulai bercerita kepada dirinya. Mungkin Kirania belum terbiasa dengan hubungan mereka berdua, Harsa memilih untuk berpikir demikian. Gadis itu kembali sibuk dan membuat Harsa merasa cukup asing.

Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang