Kirania melotot dan menatap Rora dengan wajah horor. "Maksud lo?" Dia berbisik.
"Ada yang lihat lo dan Cakra berduaan dan pegangan tangan. Lo utang buat cerita ke gue," jawab Rora.
Gadis dengan berkaos putih itu menatap ke arah lain. Dia kira tidak ada orang kantor yang melihat dirinya dengan Cakra. Atau mungkin dia dan Cakra tidak menyadari ketika ada orang lain yang datang dan melihat dirinya sedang bersama Cakra? Kirania menghela napas dalam dan mengusap keningnya dengan telapak tangan.
"Aduh! Gue lagi nggak pengen nambah drama, Ra," ucap Kirania dengan wajah lelahnya.
"Lo yang bikin drama dan sekarang lo bilang nggak mau?" Rora menggelengkan kepala dengan wajah tak percaya. "Lagipula lo kenapa bisa berduaan sama itu cowok di sana, Ki? Lo nggak kapok setelah sebelumnya lo jadi bahan gosip dengan laki-laki yang sama?" Rora ingin memukul kepala Kirania sekarang juga.
"Gue ada urusan sama dia kemarin. Memangnya salah kalau gue ngobrol berdua di sana? Orang-orang pada kenapa, sih?" Kirania terlihat kesal sendiri.
"Urusan apa memangnya? Masalahnya Cakra banyak yang naksir, Ki. Apalagi pada tahu kalau dia udah punya pacar juga. Memangnya lo mau dituding jadi orang ketiga di dalam hubungan mereka?" Rora kembali memakan keripik kentangnya setelah selesai bicara.
Kirania terdiam sejenak. Sejujurnya dia juga tidak tahu kenapa banyak orang yang menjadikan dirinya sebagai bahan gosip hanya karena dia berteman dekat dengan Cakra. Sejak kejadian di rooftop waktu itu, Kirania memang menjadi lebih dekat dengan Cakra. Laki-laki itu sering datang ke ruangannya untuk mengajaknya pulang bersama atau makan siang berdua. Cakra juga masih sering datang ke kosnya. Mereka biasanya akan pergi jalan-jalan dan mencari makanan yang mereka inginkan.
Tapi bukan berarti Kirania adalah orang ketiga karena tidak ada yang tahu bahwa Eriska ternyata bukan pacar Cakra. "Eriska bukan pacar Cakra." Kirania masih berbicara dengan cara berbisik.
Rora menoleh dengan cepat. "Lo lagi bercanda? Bukannya pacarnya pernah ke kantor?" Rora sepertinya tidak ingin percaya begitu saja dengan ucapan Kirania.
Kirania hanya mampu mengangkat bahunya acuh. Dia tidak bisa menceritakan kehidupan percintaan Cakra kepada orang lain, termasuk Rora. Drama di dalam hubungan Cakra dan Eriska memang tidak sepenuhnya dia tahu. Tapi secara garis besar dia tidak ragu mengatakan kalau Cakra adalah seorang laki-laki single yang bisa didekati oleh siapa saja, termasuk dirinya.
"Lo suka sama Cakra, ya?" Rora menyenggol bahu Kirania dan membuat gadis itu tersentak kaget.
"Apa?"
"Lo mikirin apa, sih?" Rora memicingkan mata.
"Bukan apa-apa." Kirania hanya tersenyum.
Mereka tiba di Bandung ketika jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Perut Kirania terasa lapar, begitu juga dengan Rora. Salah satu gadis itu bahkan sudah merengek kepada Harsa dan Cakra untuk dibawa pergi ke restoran mana saja supaya bisa mengisi perut terlebih dahulu.
"Kalian nggak sarapan dulu, ya?" tanya Cakra.
"Enggak!" Rora menjawab dengan sedikit judes.
Mereka masih berada di stasiun dan sedang menunggu mobil yang disewa oleh Harsa. Berbeda dengan Cakra yang uring-uringan karena dompetnya ketinggalan di apartemen, Harsa terlihat lebih tenang karena dia sudah terbiasa pergi berlibur seperti sekarang. Bandung bukanlah kota yang asing baginya. Dia lahir dan tinggal di sana sampai usianya tujuh belas tahun.
"Sa." Kirania berjalan mendekati Harsa. "Kita jadi ke tempat makan yang lo maksud waktu itu?" tanya gadis itu.
Harsa tersenyum lembut dan mengangguk. "Iya! Gue udah janji sama lo, kan?" Harsa mengusap kepala Kirania pelan.
Di belakang mereka berdua. Rora terlihat sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Cakra sibuk mengamati interaksi yang terjadi di antara Kirania dan juga Harsa. Menurutnya mereka berdua memang bisa dikatakan cocok. Tanpa sadar, Cakra mendesah kecewa. Entah dia harus kecewa karena apa. Kirania benar-benar dekat dengan Harsa dan itu membuatnya merasa seperti hendak mencuri pasangan orang lain setiap kali mengajak Kirania makan atau jalan-jalan berdua.
Di sepanjang perjalanan di dalam kereta tadi, Harsa mengajaknya mengobrol. Meski Cakra awalnya tidak terlalu banyak bicara dan cenderung pasif tapi pada akhirnya harus Cakra akui jika Harsa memang pintar bersosialisasi. Dari obrolan itu, Cakra pikir Harsa adalah salah satu laki-laki yang memiliki wawasan luas, menyenangkan dan dia juga yakin kalau Kirania tidak akan merasa kesepian.
"Ayo! Mobilnya udah datang," ajak Harsa.
Laki-laki itu membawa tas yang dibawa Kirania. "Eh! Gue bisa bawa tas gue sendiri, Sa!" tolak Kirania dengan wajah kaget karena Harsa tiba-tiba meraih ranselnya dan membawanya pergi menuju ke mobil.
"Nggak apa-apa." Harsa tersenyum kepada Kirania.
Gadis itu menghela napas samar. Dia menatap punggung Harsa yang sudah menjauh. Sementara Rora sibuk menggendong tasnya sendiri dan berjalan mengekori Harsa, Cakra memilih berdiam diri tepat di samping Kirania yang masih memikirkan betapa baiknya sosok Harsa kepadanya.
"Dia ganteng, mapan, dewasa, menyenangkan dan juga perhatian. Lo kayaknya bakal bahagia kalau nanti jadi istrinya, Ki," ucap Cakra.
Kirania menoleh dan menatap Cakra dengan sorot mata yang tiba-tiba terlihat mendung. "Kayaknya lo duluan yang bakal nikah, Ca," jawab gadis itu.
Cakra terkekeh. Baru saja dia hendak menanggapi ucapan Kirania, gadis itu justru memilih pergi lebih dulu menyusul Rora dan juga Harsa. Cakra mengerutkan kening dan dia sedikit berlari untuk bisa menyusul langkah Kirania.
"Kiya," panggil Cakra.
"Hm?" Kirania enggan menoleh dan dia memilih untuk tetap berjalan.
Diam-diam dia ingin mengumpat karena jasa sewa mobil yang dipakai oleh Harsa ternyata terparkir cukup jauh. Dia harus berjalan berdampingan dengan Cakra yang terus saja membahas hubungannya dengan Harsa. Padahal jelas-jelas itu tidaklah perlu untuk terus dibahas. Dia tidak suka jika orang itu adalah Cakra. Dia kesal setiap kali Cakra mengatakan jika dirinya dan Harsa adalah pasangan yang serasi. Ini memanglah bukan kali pertama Cakra mengatakannya dan hari ini Kirania benar-benar tidak ingin membahas hal tersebut.
"Lo nggak percaya sama apa yang gue bilang?" tanya Cakra.
Kirania berhenti berjalan dan menghadap tepat ke arah Cakra. Gadis itu bersedekap. Dia sendiri juga tidak tahu kenapa rasanya sangat mengesalkan kala Cakra memuji Harsa, seolah-olah Harsa adalah seorang dewa yang akan dengan sangat mudah membuat dirinya bahagia.
"Kenapa lo peduli banget sama hubungan Harsa dan gue?" Kirania menatap ke dalam bola mata Cakra.
Bilang kalau lo suka sama gue, Ca.
"Karena lo sahabat gue, Ki. Lo udah gue anggap kayak saudara gue sendiri." Cakra tersenyum.
Kirania meneguk ludah pelan. Setelah beberapa hari ini dia memberanikan diri untuk membiarkan perasaannya mengalir dan mengakuinya setidaknya di hadapan dirinya sendiri, Cakra justru merusak semuanya. Kirania tidak seharusnya kecewa dengan jawaban Cakra. Beruntung sekali karena Kirania kembali menguasai diri.
"Lo benar," kata Kirania pada akhirnya. "Doakan supaya gue dan Harsa cepat menikah, ya!" lanjutnya kemudian kembali berjalan pergi meninggalkan Cakra yang diam seribu bahasa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
RomantizmKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...