Trentanove

425 16 0
                                        

Kirania sampai di depan gerbang kosnya dengan perasaan bersalah. Dia memandang layar ponselnya sambil mendesah lelah. Tidak ada pesan dari Harsa. Kirania menimbang-nimbang dalam hati. Ada rasa takut dan juga penasaran yang bercampur menjadi satu.

"Bodo amat!" ucapnya.

Dia kemudian mengetikkan pesan singkat untuk kekasihnya itu. Kirania tidak akan bisa tidur dengan rasa bersalah yang begitu dalam dan juga rasa kecewa yang tak pernah mau pergi dari benaknya setelah melihat Harsa pergi dengan wanita hamil itu.

Di rumahnya, Harsa terlihat sudah memejamkan mata. Dia mengantuk setelah meminum obat yang diberikan oleh Susan. Pria itu tidak sempat memeriksa ponselnya. Dia juga tidak ingat kalau dia sudah berjanji akan menelepon sang kekasih. Di samping Harsa, Susan duduk di tepi ranjang. Dia memandangi wajah putranya itu dengan raut cemas. Susan menghela napas dalam-dalam.

"Harsa udah tidur?" tanya Yoshi yang berdiri di ambang pintu kamar Harsa.

Susan menoleh dan mengangguk lemah. Dia kemudian berdiri dan keluar dari kamar itu. Susan dan Yoshi pergi ke kamar mereka untuk istirahat. Namun sudah lima belas menit berlalu, Susan tidak bisa menutup mata barang sebentar saja. Dia hanya diam dengan mata terbuka lebar.

"Kenapa belum tidur?" Yoshi kemudian memeluk tubuh istrinya dari belakang.

Susan memang tidur dengan posisi miring dan membelakangi sang suami. Yoshi tahu kalau sang istri belum tidur karena wanita itu terus saja mendesah dan juga membuang napas kasar. Beberapa kali Susan juga bergerak dengan gelisah. Yoshi melihat istrinya sedang merasa tidak nyaman.

"Mama kepikiran cewek hamil tadi, Pa." Susan menarik bibirnya menjadi satu garis lurus.

Yoshi buru-buru membuka lebar matanya. Dia mengerutkan kening dalam. Susan kemudian memutar tubuhnya dan sekarang dia berhadapan dengan sang suami. Dia cemas. Susan tidak bisa menyembunyikan perasaannya sebagai seorang ibu.

"Mama nggak tanya ke Harsa?" tanya Yoshi juga ikut penasaran.

Susan menggelengkan kepala lemah. "Mama nggak sempat. Tadi lihat kondisi Harsa udah kayak gitu bikin Mama lupa kalau Harsa pulang sama cewek hamil." Susah mendesah pelan. "Harsa masih pacaran sama Kirania, kan?"

Yoshi menghela napas dalam. "Berdoa aja, semoga cewek tadi cuma teman Harsa. Kita nggak tahu cewek itu hamil anak siapa dan bisa jadi dia udah nikah juga, Ma." Yoshi lantas mengusap lengan sang istri dengan lembut.

"Justru kalau cewek tadi udah nikah malah kelihatan aneh, Pa!" sanggah Susan. "Kalau dia udah menikah kayaknya kemungkinannya nggak mau nganterin Harsa pulang. Suaminya bisa aja melarang apalagi dia lagi hamil. Kalau Papa jadi suaminya, pasti Papa bakal milih buat nganterin Harsa pulang dibanding istri Papa yang harus nganterin laki-laki lain dalam kondisi hamil dan udah malam. Iya, kan?" Susan benar-benar penasaran.

Yoshi mengangguk setuju. "Hm! Sebaiknya kita tanya Harsa besok pagi. Sekarang udah malam. Mama lebih baik tidur. Istirahat, Ma!" ucapnya.

Susan mengangguk patuh. Tak berapa lama, kedua orang tua Harsa yang punya pertanyaan di dalam kepala mereka akhirnya tertidur. Harsa yang sudah tidur lebih dulu karena efek obat alergi yang dia minum justru terbangun saat jam menunjukkan pukul empat pagi.

Harsa mengerjapkan mata pelan. Dia mengerutkan kening dan beranjak duduk. Pria itu mengucek matanya dan memeriksa lengan serta wajahnya. Bentol-bentol yang sebelumnya bersarang di permukaan kulitnya sudah menyusut. Pria itu kini merasa jauh lebih baik. Dia kemudian menoleh dan meraih ponsel yang ada di atas nakas. Matanya melebar saat melihat pesan yang dikirimkan oleh Kirania kepadanya.

"Gimana kondisimu? Aku minta maaf karena nggak tahu kalau kamu alergi udang."

"Hei? Kamu udah tidur, ya?"

"Maafin aku, Sa."

"Oh, ya! Cewek hamil tadi saudara kamu, ya? Sampaikan terima kasihku ke dia, ya! Terima kasih karena udah anterin pacarku yang lagi alergi pulang ke rumahnya."

Harsa menahan napas sejenak. Dia menelan ludah susah payah. Dia melihat tiga panggilan tak terjawab dari Kirania. Pria itu langsung panik. Dia berdiri dan menjambak rambutnya dengan kesal. Harsa terburu-buru pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci wajahnya.

"Kirania, maafin aku." Harsa kemudian keluar dari kamar setelah meraih jaket hitam miliknya dan juga kunci mobil di atas meja.

Rumahnya gelap dan semua orang di dalamnya masih terlelap. Harsa terus melanjutkan langkahnya keluar dari rumah. Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Dia bersyukur karena jalanan belum terlalu penuh oleh kendaraan. Dia tiba di depan gerbang kos kekasihnya dengan rasa bersalah.

Pria itu memutuskan untuk menunggu Kirania di dalam mobilnya. Dia memeriksa ponselnya. Ada pesan lain yang masuk sejak semalam. Hanya saja, dia tidak tertarik untuk menjawabnya. Nania juga sedang cemas dengan kondisinya. Harsa menyandarkan kepalanya pada kemudi dan menikmati alunan lagu yang pernah dinyanyikan oleh Kirania.

"Judulnya apa? Kamu hafal banget."

"Space song."

Harsa tersenyum dengan mata terpejam. Dia ingat bagaimana Kirania bernyanyi. Dia ingat bagaimana merdunya suara gadis itu. Harsa meneguk ludah pelan. Dia diam di dalam mobilnya dan tidak terasa dia jatuh ke alam mimpi.

"Sa?"

Tok... tok... tok...

Harsa terperanjat kaget. Dia mengerjapkan mata dan menggelengkan kepalanya. Dia menoleh dan melihat sang kekasih yang sudah berdiri di samping mobilnya. Harsa buru-buru membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana.

"Hai!" sapanya dengan senyuman ramah.

Kirania tersenyum. "Kamu baik-baik aja?" tanya gadis itu.

Sorot mata Kirania kini berganti menjadi khawatir. Harsa mengangguk dan mengusap kepala sang kekasih dengan lembut.

"Aku antar ke stasiun, ya?" Harsa kemudian meraih tas yang dibawa Kirania. "Aku aja yang bawa."

Kirania menurut. Dia melihat Harsa sambil tetap berdiri di tempatnya semula. Pria itu memasukkan tas Kirania ke dalam bagasi mobil kemudian kembali ke hadapannya.

"Ayo!" ajak pria itu.

Kirania mengangguk. Dia tersenyum tipis. Kirania masuk ke dalam mobil Harsa dengan berbagai pertanyaan yang menggantung di dalam kepalanya. Gadis itu melirik Harsa yang sedang mengemudikan mobilnya.

"Kita mampir ke minimarket sebentar buat beli kopi, ya? Kamu kayaknya masih ngantuk," ucap Kirania.

Harsa terkekeh pelan. "Ya!"

"Eum..." Kirania meremas ujung kaosnya sendiri. "Semalam kamu langsung tidur?" tanyanya.

"Iya, aku langsung tidur." Harsa tersenyum tipis.

Kirania mengangguk pelan. Dia tidak lagi berani bertanya. Meski Harsa menjawab pertanyaannya tapi Kirania kecewa karena pria itu tidak menjelaskan apa-apa tentang kejadian semalam. Dia memilih menatap ke arah jalanan kota. Mereka hanya saling diam dan tidak berbicara satu sama lain. Sampai mobil mereka tiba di sebuah minimarket.

"Kamu mau ikut turun atau tunggu di sini?" tanya Harsa sambil melepaskan sabuk pengamannya. "Kamu mau beli apa buat cemilan di kereta?" Dia melihat Kirania yang tidak bereaksi apa-apa. "Ki?" Harsa menyentuh bahu gadis itu.

Kirania mengerjapkan mata. "Y- ya?" Kirania langsung tersadar dari lamunannya. "Oh, kita udah sampai!" ucapnya.

Kirania kemudian melepaskan sabuk pengamannya dan turun dari mobil. Harsa menghela napas dalam. Dia kemudian menyusul sang kekasih memasuki minimarket itu. Mereka membeli kopi, minuman dingin dan juga beberapa cemilan dan roti sobek untuk Kirania.

"Kereta kamu berangkat jam berapa?" tanya Harsa ketika mereka sudah berada di dalam mobil lagi.

Kirania menoleh dan melihat Harsa sedang meminum kopi kalengnya. "Jam setengah delapan," jawab Kirania singkat.

Harsa lantas menatap sang kekasih selama beberapa saat. "Ada yang mau kamu tanyain ke aku?"


_____________________________________________________________________________

Credit :

Music by Beach House - Space Song

Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang