Quindici

422 15 0
                                    

Kirania berdiri dengan gugup di samping Cakra yang hari itu mengenakan kemeja batik berlengan panjang. Dia dikenalkan dengan beberapa anggota keluarga Cakra yang hadir di sana dan juga... kedua orang tua laki-laki itu, tentu saja. Kirania tersenyum ketika menjabat tangan ayah dan ibu Cakra. Pandangan wanita yang dipanggil mama oleh Cakra itu terlihat lembut dan juga teduh. Dia disambut dengan sangat baik meski dikenalkan sebagai teman baik Cakra.

"Cantik banget. Lain kali mampir ke rumah Tante, ya? Kita makan malam bersama," ajak Wulan.

Kirania mengangguk sopan. "Terima kasih, Tante. Kapan-kapan kalau Kirania ada waktu pasti Kirania mampir, kok." Dia tersenyum manis.

"Janji, ya? Nanti waktu Tante ke Jakarta biar Cakra hubungin kamu," ucap Wulan.

Kirania mengangguk. Setelahnya, Wulan dan suaminya pergi untuk bertemu dengan sanak saudara mereka yang lain. Kirania menoleh ke arah Cakra yang kini tersenyum hangat kepadanya. Senyuman laki-laki itu terlihat berbeda. Cakra mengusap punggung Kirania sekilas.

"Kita ambil makanan?" ajak Cakra sambil menunjuk meja yang di atasnya sudah terdapat hidangan untuk makan para tamu undangan.

Kirania mengangguk. Dia menghela napas panjang. Cakra mengenalkannya sebagai teman saja dan sekarang laki-laki itu tidak menggandeng tangannya. Jika memang mereka hanya teman maka setidaknya Cakra bisa bersikap baik kepadanya dengan menggandeng tangannya saat berada di pesta karena Kirania diminta untuk menjadi pendamping Cakra hari itu. Tujuannya supaya dia tidak merasa asing di sana.

Oh, Kirania mulai lagi! Memangnya dia ingin orang lain menganggap mereka sebagai pasangan? Bukankah yang bergandengan tangan biasanya adalah sepasang kekasih? Kirania menggelengkan kepalanya dengan kuat. Dia memang banyak alasan. Gadis itu segera mengikuti Cakra yang sudah berjalan lebih dulu.

Kirania berhenti ketika Cakra juga berhenti. Dia menatap punggung Cakra dengan kerutan di dahinya. Kemudian Kirania berpindah tempat menjadi di samping laki-laki yang sekarang belum juga bergerak kembali.

"Ada apa?" tanya Kirania bingung.

Dia melihat wajah Cakra yang kaku dan juga mata laki-laki itu yang menatap lurus ke depan. Kirania mengikuti arah pandang Cakra. Kemudian bibirnya terkatup rapat. Dia menelan ludah pelan dengan mata mengerjap. Eriska. Wanita cantik itu berdiri tepat di depan mereka berdua sekarang. Wajahnya sembab dengan raut sedih yang tersemat di wajah cantiknya.

"Eriska," suara Cakra terdengar lemah.

Kirania menelan ludah pelan dan mengusap lehernya yang tiba-tiba terasa kaku. "Gue tunggu di sana aja, ya!" katanya kemudian pergi menjauh dari sana.

Cakra bahkan sama sekali tak menoleh kepadanya. Kirania tidak mau ambil pusing dengan apa yang sedang terjadi sekarang. Dia sempat menoleh sejenak ke belakang dan Cakra terlihat sedang menggandeng tangan Eriska kemudian membawa wanita itu pergi dari sana.

Kirania melanjutkan langkahnya menuju ke tempat makanan yang ingin ia makan. Selera makannya tiba-tiba naik tajam. Aneh sekali, biasanya ketika di mendapatkan tamu bulanannya atau ketika dia sedang merasakan perasaan yang menjengkelkan maka selera makannya akan berkurang. Hari ini adalah pengecualian baginya.

Dia hanya butuh pengalihan dari perasaan aneh yang sekarang menghantam dadanya dengan telak. Perasaan yang kembali muncul dan terus ia sangkal. Kirania berdiri sambil memakan makanannya. Meski dia terlihat fokus dengan makanannya tapi matanya tak bisa berbohong. Dia terus saja menatap ke arah di mana Cakra dan Eriska pergi, berharap bahwa laki-laki itu segera kembali ke tempat pesta dan menghampirinya karena semakin lama Kirania merasa semakin asing di tempat tersebut.

"Sialan banget itu orang! Lama banget nggak balik-balik," batinnya meski ia sendiri sadar bahwa Cakra dan Eriska baru pergi sekitar sepuluh menit yang lalu.

Ponsel gadis itu berdering. Satu nama muncul di layar benda pipih itu. Dia segera mengangkat telepon dari laki-laki yang belum lama ini mengajaknya berkenalan. Belum ada satu tahun jadi Kirania pikir mereka berdua belum lama saling mengenal. Tapi... jika dalam kondisi normal maka ia akan bersikap biasa saja maka berbeda dengan hari ini. Dia sedang tidak ingin banyak berpikir sekarang.

"Hai, Sa?"

"Lo sibuk hari ini?"

Kirania tersenyum dan menggelengkan kepala. "Nggak... maksud gue habis dari acara nikahan kakak ipar Cakra, gue nggak ada kesibukan yang lain. Kenapa?"

Terdengar suara tawa renyah dari seberang telepon. "Jadi lo lagi sama Cakra?"

"Ya tapi gue udah mau pulang." Kirania berjalan dan meletakkan piring kecilnya ke atas meja yang paling dekat dengannya kemudian dia buru-buru berjalan keluar karena suara musik di sana membuatnya sedikit kesulitan untuk mendengar suara Harsa dari ujung yang lain.

"Gue mau ngajak lo nyari kado," ucap Harsa.

Mata Kirania melirik ke arah Cakra yang tanpa sengaja sedang memandangnya. Gadis itu berjalan keluar dan dia bisa melihat kalau Cakra sedang memeluk Eriska.

"Ya, gue bisa!" sahut Kirania dengan cepat. "Sekarang juga nggak apa-apa.Tapi lo bisa jemput gue?" Kirania terus berjalan sampai dia tiba di pinggir jalanan yang cukup ramai.

Gadis itu paham daerah di sekitar sana. Dia hanya perlu berjalan kaki sekitar lima menit dan dia akan tiba di sebuah halte bus. Di sanalah dia meminta untuk dijemput oleh Harsa. Beruntungnya, Harsa juga sedang berada di daerah sana. Katanya laki-laki itu baru saja belanja beberapa kebutuhan bulanan di supermarket.

Tak lama berselang, mobil Harsa tiba di depan sebuah halte di mana Kirania sedang duduk menunggunya. Kirania segera berdiri dan tersenyum ketika Harsa menurunkan kaca jendela memintanya untuk masuk ke dalam mobilnya.

"Hai?" sapa Kirania ramah.

"Halo, cewek cantik." Harsa terkekeh.

Kirania mendengus. "Riasan gue udah luntur. Eh! Ngomong-ngomong lo mau beli hadiah buat siapa?" tanya Kirania.

"Buat teman kantor gue. Dia ulang tahun besok. Dia banyak bantu gue selama ini jadi gue pengen ngasih sesuatu ke dia," ucap Harsa sambil tersenyum.

Mobil itu berjalan lambat meninggalkan halte bus itu. "Coba gue tebak." Kirania memicingkan matanya.

Harsa hanya menahan tawanya. Dia mengangguk dan mengangkat bahunya acuh.

"Dia pasti cewek yang lo suka," tebak Kirania.

"Sok tahu banget, sih!" kata Harsa sambil mengacak puncak kepala Kirania.

Kirania hanya tertawa saja. Pikirannya sebenarnya belum berada di sana. Dia masih ingat bagaimana Cakra menatapnya dengan Eriska yang berada di pelukan laki-laki itu. Cakra tahu dirinya pergi dari sana saat itu tapi laki-laki itu tidak berusaha memanggil namanya dan bertanya ke mana Kirania hendak pergi.

"Namanya juga cadangan," batinnya kesal.

"Berarti lo udah makan, ya?" tanya Harsa dengan nada sedikit kecewa.

"Sedikit," jawab Kirania sambil menahan tawa. "Perut gue masih lapar. Dan gue nggak mau nemenin lo tanpa adanya imbalan." Dia bersedekap dan memasang wajah liciknya.

Harsa tahu jika Kirania hanya berpura-pura dan dia justru senang karena ucapan gadis itu. "Kita makan setelah beli kado, gimana?"

Kirania mengangguk setuju. "Deal! Lo memang teman terbaik!"

Harsa tersenyum dan kemudian diam. Kirania menarik bibirnya hingga menjadi satu garis lurus kemudian melemparkan pandangannya ke luar jendela mobil. Sementara itu, Harsa juga memilih fokus dengan kemudinya meski sesekali laki-laki itu akan melirik Kirania yang hanyut dalam lamunannya sendiri. Dia bisa menebak isi pikiran gadis di sampingnya itu tapi dia memilih mengenyahkan pikirannya itu.

_______________________________________________________________________________

Credit :

Song by Monita Tahalea - Kekasih Sejati

Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang