*🍁 sekecap rasa🍁*

131 10 0
                                    

*Aku mulai bosan, berteriak sendiri dalam bising sanubari, akan gejolak rasa yang tak sanggup lagi ku kendali. Berteguh dalam bisu dibalik senyum empati penuh duri.*

Raihan Permana putra.


Bias bayang itu kembali mengusik relung hati Raihan, jeritan penuh pilu itu lagi menyeruangi isi kepalanya, Sorot kosong pun menembus balik jendela yang dia pandang. Namun tampak jelas muka sendu itu kembali mencabik perasaannya. Sebuah luka yang tak bisa dia lupakan di lima tahun silam, malam pedih yang tak ingin dia Singkabkan walau barang sekejap.

Tapi kelam itu datang kembali tanpa ijinnya, saat Riana bicara dengannya tanpa sengaja, sekedar mengabari Keadaan Zain lewat ponsel sang empu yang Riana genggam kala itu.

Entah lelucon macam apa yang sang dalang kehidupan siapkan untuk dia.

Kembali memori itu terputar nyata di kepalanya. Ketika langit hitam mulai mengguyur tanah tandus serta separuh kota jakarta, Riana menelpon dia sambil menangis cecegukan.

"Bang Raihan ...." Lirih Riana, dengan gigi yang gemeretak.

"Na, suara loe kok gemeteran gitu kenapa, loe nangis heum ?" Sahut Raihan mulai khawatir.

"I-ibu ku Bang, ibu dipukuli Ayah lagi, kamarnya di kunci, Riana bingung dan takut ...." Untai gadis itu tak elak mengedar netranya penuh siaga.

"Ka-kamu di mana sekarang hah?" Selidiknya agak panik.

Suara rintihan tangis Riana kembali terdengar makin kencang, bersamaan dengan suara jeritan sang ibu.

Dia menutupi telinga sambil meringis ketakutan menumpu wajah di kedua lututnya.

"Aku sembunyi di bawah meja Pantry Bang ...." Tutur Ana dengan nada gemetar dan jantung yang berdegup cepat. Mendengar penjelasan gadis lugu itu, Tanpa pikir panjang Raihan turun tergesa menuruni anak tangga
Dengan muka yang teramat tegang.

Bahkan sebuah teguran dari Nazriel pun dia hiraukan "Bang loe mau kemana?" Todong Ariel dengan kening mengkerutnya.

Bunda yang baru keluar kamar pun menangkap raut Raihan, dengan secuil rasa penasaran dan khawatir, Wanita dengan rambut terurai panjang itu hampiri Nazriel.

"Abangmu mau kemana Riel, kayak buru-buru gitu?" Sela Bunda.

Geleng Nazriel datar "Ariel gak tahu, Ehm aku lanjut ke kamar yah Bun"
Angguk Sang bunda tanggapi putranya

Batin seorang ibu terlampau tajam, selaksa Pedang yang tergenggam dalam tangan bak siaga mengayun terarah pada lawan yang siap menyerang, begitulah kiasannya untuk naluri yang tengah menyelipi sanubari wanita tersebut.

Ada sebuah ketakutan yang sulit untuk dijelaskan namun seakan nyata dalam pandangan. Riuh dalam hatinya mengajak raga untuk berjalan dengan sendirinya, untuk mengikuti
Ia hanya bermodal insting saja.

Tangisan langit telah membasahi badan pemuda tersebut, yang asyik mengencangkan kendali motornya.

Sebuah Sambungan telepon mengusik ketenangan Raihan, tanpa ragu dia pun mengaktifkan Earpone bluetooth-nya untuk menyahuti sang
Ibu via udara.

"Kamu kenapa pergi ditengah hujan Han? Bahaya ...." Tutur ibunda cemas.

"Kok Bunda tahu?" Celetuknya.

"Liat kaca spionmu, bunda ada di taksi ngikutin Abang "

"Hah! Ya Allah bunda ...." Pekiknya spontan mengerem motornya.

"Jangan berhenti di tengah jalan, bahaya! lanjutkan saja tujuanmu Rai" ujar bunda tegas

Raihan hanya bisa membisu dan mematuhi intrupsi sang bunda,
tak ada waktu baginya di keadaan genting itu, bila harus mendebati ibunya. Alhasil dia cuma bisa menghembus napas kasar dan kembali membelah jalan dengan laju lebih cepat.

L-E-N-T-E-R-A "Lima Simbol Sakral" [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang