*Gulita tak akan pernah mampu bertengger lama, Akan selalu ada setitik Lubang di Ruang Hening yang Ada, membiarkan Bias Angin menghantarkan Samar Udara, menyusupkan sinar siap memercik rasa lega*
🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️
HAPPY READING SUN'SANS !
🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Semburat langit jingga keemasan seakan memayungi pelarian Zain di pinggiran Jalan ibu kota, Bocah itu seakan sedang berlari di lapangan panjang, tanpa Seorang lawan satu pun. Anak itu berpacu dengan segala
Kemarahan yang ber-euforia di dada, menghimpit saluran udaranya.Sakit, sesak, panas, dan Senyap.
Matanya telah memerah diburamkan Cairan bening menumpuk di pelupuk matanya. Lalu lalang manusia yang dia belah dalam pergerakannya itu tak lagi dia Pedulikan.Dada sesak dipenuhi Suara sumbang orang-orang yang terus mencibir keluarganya, Sakit karna di pukul oleh kesinisan juga ketidakadilan yang harus diterima akan respon orang yang dia percayai.
Sunyi senyap untuk setiap perasaan yang tak lagi dihangatkan, oleh kehadiran sosok yang dia kasihi, Ibu, Hasan, Ariel, semua tak bisa lagi dia tatap wajahnya. Bahkan Ayah tak bisa ada untuk membersamainya, Bang Raihan serta Doni? Dia tak sanggup untuk berbagi cerita bila sampai membebani keduanya atas Polemik yang Harus dia tambahkan.
Dia tak tahu kemana harus pergi,
dia terus mengayuh kaki dalam pergulatan batin yang tak henti.Zain cuma ingin berlari terus
tanpa henti, entah sampai mana
dan bagaimana ujungnya dia tak tahu. Dia Tak ingin mengakhiri pelariannya, dia Tak bisa melihat dimana garis akhir itu sekarang"Kemana ... Gue gak tahu Harus kemana? Jalannya terlalu samar,
Zain gak tahu musti kemana?" Gumam Batinnya. Napasnya berderu keras. Sesekali dia mengusap liquid yang membasahi pipinya.Dalam tarikan napas yang tersengal
Ayunan dua kakinya mulai melemas"Apa harus sesakit ini, Begini Kah ... Yang Bang Hasan rasakan, Dituduh dan tak di perduli kan suaranya, Apa Bang Ariel ilang juga karna sudah lelah dengan semua yang terjadi?
Jadi dia pergi buat cari ketenangan, Dan gak balik lagi, begitu ? Apa Ayah lebih suka menjauh karna Benci atas semua keadaan yang menghampiri? Terus sekarang Gimana, Bun ... Adek Gak tahu musti ngapain?" Berteriak Keras Batin Zain.Kakinya kini teramat letih, terpatah sudah tarikan Napas yang dia ambil, jemarinya meremat kerahnya sendiri. Dia tak bisa menahan lagi tangisannya, dan itu sungguh merusak aliran pernapasannya.
Rongga dadanya seolah menyempit terlalu dipenuhi kesakitan Akal juga hati yang saling bergemuruh.
"Ugh ... " mulutnya terbuka bersusah payah, sebisa mungkin menghirup angin, Zain ingin sekali bersuara dan berteriak saat itu juga, meluapkan Perasaannya, menjerit sekuatnya, mengeluh pada Sang Pencipta seperti Yang selalu terjadi di Sebuah drama.
Tapi Dia tak bisa melakukannya, air matanya terus keluar dan suara pun seakan tertahan, entah' Kenapa, apa yang terjadi ? Suara bising penuh caci maki justru memekik keras di dalam kepalanya.
"Kriminal .... Dasar keluarga kriminal, Abangmu stress mikirin Loe karna penyakitan, Dasar benalu ! Dasar picik sok Alim! Dari akarnya saja Sudah Rusak, makanya pantas kalo keturunannya juga bobrok! Jadi kriminal semua!"
"Ugh ..." Zain mengigit bibirnya, dia membungkuk memukul dadanya, berharap Ruang udara kembali bisa membesar dan berjalan lancar.
"Cuma badanmu yang besar tapi Kelakuanmu tidak ! Dasar Parasit !
Kalo seandainya Kamu tidak bersikeras mengandung Zain,
Dan mengangkat Rahimmu, Apa Mungkin kamu tak akan kesakitan, Lestari .... ? Andai Kau tak bersikeras,
Mungkin sekarang keluarga kita tak begini." Hingar bingar Kalimat itu seakan palu yang tak henti menghantam Kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
L-E-N-T-E-R-A "Lima Simbol Sakral" [End]
General Fiction"Dimana keadilan yang kalian janjikan?" Jangankan memenuhi janji itu, sekedar mendengar saja. Kalian enggan!" Seorang pemuda berjalan terseok di tengah terik matahari sambil membawa sepanduk bertuliskan keluhannya. "Bebaskan Hasan prakasa putra, K...