Dua hari sudah berlalu, berteman embun dalam sorot mentari. Di balik terali, Hasan menangkup wajah pada kedua lututnya, bergelut dengan isi kepala akan sebuah ajakan yang cukup menggiurkan naluri di tempo hari.
Belum sempat mulutnya membuka suara, sebuah alarm peringatan menggema di gedung tahanan para pelanggar hukum itu di jerat,
dengan seremony sipir penjaga sampaikan peringatan keras, bahwa seorang napi baru saja melarikan diri. Baik Hasan dan Alex si lelaki asing pun ikut teralihkan, saat pria didepannya mulai menggerutu tak jelas."Berengs#k! Kampret ada yang udah curi start, sial ! kepending lagi kan rencana gue." mulut Alex berkomat Kamit. Guntoro dan beberapa staf penjaga pun, entah bagaimana bisa tiba di klinik rutan di waktu yang bersamaan .
"Loe disini rupanya hah?!" Sela Guntoro, langsung menyeret paksa Hasan, pemuda berkulit gula Jawa itu hanya melirik Alex flat. Menurut tanpa berontak sama sekali.
Sipir berkumis tipis itu mendelik
sinis dengan acuh pada Alex. "Loe ngapain, balik sana!" Ketusnya memerintah."Hmm" angguknya Alex tak ada minat. Dan seolah perbincangan kecil diantara keduanya tadi, seakan tak pernah terjadi.
"Padahal itu kesempatan besar gue" gumam Hasan menatap kosong jendela fentilasi udara di dinding,
dia kembali melepas diri dari lamunannya, Sedikit menyesali karna kehilangan kesempatan langka yang Alex tawarkan, dan berakhir kembali tersekap di ruangan pengap yang semakin tidak dia sukai."Gue gak boleh takut, Yang benar akan selalu menang, gue gak salah, cepat atau lambat gue pasti bisa keluar dan bebas dari tempat ini" tuturnya menyemangati diri dalam hening, yang lagi singgahi sanubari.
Cuma itu cara terbaik agar ia tak jatuh oleh situasi, berkeras hibur diri dengan kata motivasi yang dia ciptakan sendiri. Meski sejujurnya hati kecil terlilit Sendu bercampur Pilu, akan Rindu dan Jemu, ingin bergegas bertemu keluarga nan terkasihnya itu...................................
Empat orang pria Menundukkan pandangan mereka, tenggelam dalam asumsi pikiran mereka masing- masing, tak ada yang bersuara sekedar ketukan jemari seorang Doni, dia sedang berpikir keras, tiga putra Arman baru selesai membeberkan masalah macam apa yang tengah menimpa keluarga kecil mereka.
terutaman perihal Hasan."Zain, gak boleh ketemu Sama Hasan." kalimat tegas Ayah memecah sunyi.
Tercekat Raihan membulatkan irisnya dengan nanar. "Lagi, Ayah mau sampai sejauh mana bermain petak umpet terus dari Zain." protes Raihan dengan nada tenang.
"Asal Ayah tahu, dia gak sepolos yang kita bayangkan, Semakin kita batasi dia, maka akan buat dia semakin mencari jalan pintas buat lakuin keinginannya" tambah Nazriel.
"Doni setuju sama apa yang Ariel juga Raihan bilang, Zain udah bukan anak kecil yang bisa kita atur sesuka hati yah" imbuh Doni.
"Justru Karna Ayah kenal betul Rasa empatinya sangat tinggi, kalo dia ketemu Hasan apa kamu bisa jamin Zain akan tetap tenang?" Ujar Arman.
"Ayah gak bisa lama di Jakarta, Baiknya kita segera urus masalah Hasan. Sebelum kembali Ke Bandung semuanya sudah harus segera terselesaikan. " Pungkas Arman berkeras.
"Seandainya kita libatin Zain, kalian yakin, anak itu bakal baik-baik aja? apa dengan dia di bully gak cukup jadi teguran buat kita, bagaimana besarnya imbas yang akan dia dapat dan pengaruhi masa depannya, jalannya masih panjang, kalian mau adik kalian merasakan masa sekolah sehitam yang kalian punya, begitu?" Tandas
KAMU SEDANG MEMBACA
L-E-N-T-E-R-A "Lima Simbol Sakral" [End]
General Fiction"Dimana keadilan yang kalian janjikan?" Jangankan memenuhi janji itu, sekedar mendengar saja. Kalian enggan!" Seorang pemuda berjalan terseok di tengah terik matahari sambil membawa sepanduk bertuliskan keluhannya. "Bebaskan Hasan prakasa putra, K...