2.🍁Berandal🍁

576 52 24
                                    

Biasakan votment sobat yah ...
Mari saling berbagi energi positif!
Yang utama sih biar Anna tambah semangat buat terus bikin karya yang lebih baik dan menginspirasi buat kalian.

Tapi aku akan lebih menghargai jika kalian membaca karyaku dibanding vote tanpa minat, lebih bagus jika baca sekalian vote juga. Silahkan coba singgah dan mencari secuil hikmah dari kisah yang ku buat ini yah guys.

................Happy reading...............

Setibanya di Bandung kami lebih dulu singgah ke sekolah, karna ayah harus melakukan sidak dahulu kesekolah tersebut. Sampai dilokasi, dalam bayangan mungkin setidaknya beberapa pihak sekolah akan menyambut ayah dengan hangat, layaknya orang penting.

Ckckckc...

Bukan karna berasa sok penting, tapi seenggaknya agak ngarep lah di
hargai bapak kita ini. Sayang semua jauh dari ekspektasi kami, Jangan
kan sambutan besar dengan cara terhormat dari pihak tertentu, seorang pun tak ada yang datang untuk ayah.

Satu-persatu kami turun dari mobil.
Mata kami saling merotasi dengan tidak nyaman.

Nazriel dan Hasan netranya saling beradu dengan sorot penuh tanya satu sama lain, mengharap kejelasan dari sang punya minat.

"Heh itu." termanyun bibir Nazriel.
Pada Hasan, isyaratnya agar sang kakak tanya pada sang Ayah. Dia terlalu malas jika harus bicara sendiri

"Hah apaan?" memincing netra Hasan bingung.

Decit Nazriel kesal, lalu mulutnya mengerucut sambil ditujukan kearah sekolah.

"Ooh,Oke..." angguknya paham.

"Ehm A-" baru Hasan akan membuka suara.

"Yah... Beneran ini sekolahnya ?" sela Raihan dengan nada penuh penekanan. Mendahului si pemuda hitam kucel.

"Bener kok Ray"

"Ini sih bukan sekolah yah, lebih
kaya kandang ayam." celetuk Ariel

"Sst Riel ... ! "pekik Arman dengan suara beratnya. Mengerucut bibir Nazriel membisu sebal.

"Ck, sekolah ku yang tidak populer saja masih jauh lebih baik dan layak disebut sekolah yah" kali ini si bontot yang berkomentar asal menimbali Nazriel Abangnya.

"Sssttt, diem! "melotot Raihan. Menegur adik bungsunya.

"Sorry Bang," memanyun bibir Zain.
Geleng sang sulung, pusing akan sikap childish adik adiknya.

"Ayah coba kita ke kantor guru saja."
Usul kakak pertama.

Kali saja ada orang yang bisa membantu, Melenggang Arman memasuki area sekolah lebih dalam, berusaha untuk tidak terlalu memusingkan situasi yang tak jelas disekitarannya.

Meski dalam hati kecil Arman cukup risih dan diselimuti kekhawatiran besar.

'Sanggup-kah dia mengemban tugasnya kali ini dengan baik?' Begitu pikir Arman. Saat berjalan dikoridor. Dua orang murid berlari menerobos sembarang, membelah jalan ke lima lelaki itu.

"Minggir woy !" teriak songong pemuda jangkung itu, seenaknya menabrak Zain dan melewati Arman sembari mendelik tajam pada keluarga kecil itu, satu berandal hanya melengos dengan tanpa rasa berdosa.

L-E-N-T-E-R-A "Lima Simbol Sakral" [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang