36.🍁 Gantung Rasa🍁

106 16 4
                                    

"Senyuman pilu menjadi pengantar sejuk batin si pemuda yang raganya di pasung Bayangan usil para manusia durjana tanpa rasa"

🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️🏵️

Happy reading Sun'sans!

🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Degup jantung Zain dua kali lebih cepat dari sebelumnya, rasa bersalah yang luar biasa menyerang raganya seketika, mendengar suara sirine  polisi menghantamkan lara dalam sanubarinya.

Beberapa waktu lalu ditengah perkelahian kedua saudaranya,
bocah itu dengan terpaksa putuskan untuk melaporkan pelarian Abang
ia sendiri pada polisi, sungguh ironi
hati kecilnya menolak bertindak demikian, namun ada sebuah alasan besar dari sikapnya ini.

Melihat Hasan dalam kondisi bahaya membuat Zain, menanggalkan ego kecilnya yang ingin tetap bersama sang kakak, entah apa konsekuensi yang akan dia terima jika sang kakak nanti tahu perbuatan kejinya ini, yang pasti dia sadar itu akan melukai Perasaan Hasan.

Tapi jauh dari itu semua, Dia terpaksa mengabaikan perasaannya untuk menjaga keselamatan Hasan, dia tidak rela jika harus kembali melihat satu-persatu saudaranya Pergi tanpa Kata, cukup perpisahannya dengan Hasan di beberapa bulan lalu menyisakan kecewa, dan cukup dia kehilangan Ariel tanpa tahu hidup atau mati kondisinya, paling tidak
dia bisa memastikan Kakak yang ia
cintai tetap aman, meski tanpa dia sangka pilihan yang di ambil jauh lebih meluluh lantahkan Ruang hatinya sekarang.

Remaja itu melangkah dengan
pelan, dadanya sangat sesak tanpa bisa dia kendalikan, rasa bersalah
itu seolah menggerogotinya dengan nyata, air mata itu sudah berjatuhan membasahi Pipinya sambil dia melangkah hampiri Hasan dan berdiri menatap legam manik hitam sang kakak, yang kini tengah balik menatap dengan binar Sayu, seakan menerawang  jauh menyelami isi hatinya.

Remuk Hati Zain saat Segurat senyuman terpatri di wajah Hasan, seolah mengatakan tidak apa-apa.
Sebagai persetujuan yang begitu saja Hasan berikan atas tindakan sang adiknya itu lakukan. Ya, Pemuda itu Tahu tanpa sepatah kata dia bisa mengerti binar mata penuh sesal
yang adiknya lemparkan.

Jemari Hasan bergerak melambai kecil mengajak sang adik untuk  memeluknya segera.

Pecah air mata Zain detik itu juga dia menenggelamkan kepalanya di bahu sang kakak.

"Maafin Zain Bang, Sungguh adek tidak ingin melakukannya Bang,
Z-Za-Zain..." Terisak dia tak mampu melanjutkan kalimatnya, Remaja itu menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Hasan,

sang kakak hanya memanggut pasrah dan mengecup kepala Adiknya juga mengusap punggung si bungsu.

"Dek... " Kecapnya lirih .

Sementara Polisi mulai masuk kedalam Rumah dan menyergap para Bandit yang berusaha berlari tapi dihalangi Doni dan warga.

Raihan hanya mampu menurunkan pandangannya, membiarkan dua adik itu berinteraksi di sisa waktu yang mereka punya.

Mata pria itu sudah berkaca-kaca, sekuat tenaga menahannya agar tidak jatuh.

Rai tahu bagaimana Kerinduan Zain begitu besar pada Hasan, adik bungsunya pasti ingin lebih lama habiskan waktu dengan Hasan,
tapi dia juga tak bisa membuat si penengah berkeliaran sesuka hati, dan itu pun telah adik bungsunya pahami. Situasi rumit ini semakin menyayat hati ke empat saudara tersebut.

L-E-N-T-E-R-A "Lima Simbol Sakral" [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang