🍁 Bintang pertama🍁

158 14 5
                                    

Dito dan Dion dengan muka lesu mengetuk pintu kontrakan hunian Para pemuda sila tinggal.

Tanpa sedikit pun merasakan firasat apapun, ia membuka dan mendapati kedua bocah remaja sudah memasang muka Sendu dan pucat.

"Dito... Dion, Kok kalian udah pulang ?"

Dito tak mampu menguntai kata sepatah pun, remaja berjongkok mengusap punggung tangan Ariel.

"Bang Maafin gue harus sampaikan berita ini sama elo, Ini soal Zain dan Bang Raihan."

Di saat dua bocah susah payah menguraikan momentum itu perlahan agar bisa dicerna dengan baik oleh Ariel, Yosi juga Doni dengan langkah berderit mengikuti dua bankar yang para staff medis
giring menuju Unit gawat darurat, menampakan Raihan juga Zain sudah berlumuran darah dengan tidak sadarkan diri.

Rasanya dunia Doni runtuh seketika, dadanya berkecamuk, berdentum keras penuh sesak, tubuhnya tegang luar biasa, Air mata tidak lagi
mampu ia bendung, jemari erat menggenggam tangan mungil
Zain.

Maniknya bergantian melirik Zain dan Raihan memandangi diri dalam pandangan samar dengan mata terkatup ngantuk. Deru napas
mereka makin menipis dan tersamar.

"Ray... Zain... " Lirih Doni seakan meminta keduanya tetap tersadar, meski nyatanya dua pemuda mulai menipis asupan oksigennya, dan napas pun makin  pendek. Dia melepas genggaman erat dari si bungsu, yang semakin menjauh di giring masuk dalam ruangan I.C.U. menjejakan cairan merah kental di telapak tangannya.

Doni tidak bisa mengalihkan netranya dari balik kaca, menyaksikan dua adiknya meregang nyawa, di bawah penanganan para medis.

Beberapa jam Dia duduk terpuruk
di sudut dinding menanti penjelasan dokter yang membawa kabar baik perihal kedua adiknya namun jangan kan kabar, batinnya semakin gelisah melihat para perawat mondar-mandir keluar dengan muka panik, ditengah operasi yang berjalan.

"Abang macam apa saya ini Ya Allah...
Berulang kali saya tidak mampu menjaga adik-adik saya, setidak becus inikah saya ya Rabbi, Tolong jangan ambil mereka, sungguh saya tak sanggup jika harus kehilangan secara bertubi-tubi begini... " Derai Doni melantur dengan pilu, bahu kekar itu kini bergetar hebat. Meminta keibaan sang pencipta.

Dia tidak lagi mempedulikan ucapan Yosi yang mengusap pundak Doni untuk tidak patah harapan.

"Jangan bicara begitu, Zain sama
Bang Ray pasti kuat, mereka pasti
bisa bertahan. " Tutur Yosi mencoba membendung tangisnya, meski batin sama hancurnya, kala melihat air mata Doni tak mau berhenti meluruh.
Ia kukuh menguatkan pria di depan- nya sebaik yang dia bisa.

Kedua tangannya sudah ia angkat untuk menutupi wajah sendu miliknya, di tengah tangis yang pedih,
Dokter keluar membawa kabar terburuk yang tak pernah ingin dia dengar.

"Keluarga Zain dan Raihan... ?!" Panggilan itu membuat Doni dan Yosi beranjak menghampiri lelaki berkain biru kebesarannya.

"Adik-adik saya gimana Dok... ?" Ujar Doni dengan netra yang sudah memerah dalam penuh harap.

Dokter itu menunduk sesaat sambil menepuk bahu Doni. "Saya harap anda menyiapkan mental Untuk kemungkinan terburuk. "

Doni menggeleng cepat

"Maksud anda apa, Dua adik saya bisa selamat, kan Dok? Jangan bicara  tidak-tidak !" Doni menarik kerah Dokter menuntut jawaban paling indah untuk menolak isi pikirannya.

"Gagal Ginjal Zain sudah parah,
dan satu Ginjalnya pun rusak
akibat tusukan yang di terimanya, sementara untuk Raihan, peluru berhasil di keluarkan tapi, untuk bisa  bertahan cuma nol koma satu persen, baik dengan melakukan cangkok Jantung atau pun tidak. "

L-E-N-T-E-R-A "Lima Simbol Sakral" [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang