*Seutas Kata yang asal di tuai, telah membutakan naluri sang pemilik Rumah, mengikat takdir sang puan
dalam Jerat nelangsa untuk melunasi ikrar Janji yang tak bisa sempat lagi
ia tolak mentah.*************************************
Raihan masih mengatur napasnya dan berhembus kasar akan emosi yang tak bisa lagi dia kendali.
Rasanya seluruh tubuh miliknya
kini memanas, dada lelaki itu sudah terbakar Amarah, maniknya kini mengkilap tajam menusuk sanubari Jamal, Bogeman dan delikan sinis dari lelaki mungil pun seakan sedang melucuti harga dirinya tanpa ampun.Tidak terima akan tindakan sarkas Raihan, naluriah bertarung bak hewan buas dalam sebuah dunia perburuan pun terbangkitkan.
Jamal berdiri dengan kaki yang sedikit goyah, kepala dia gibaskan untuk membuyarkan pening akibat pukulan keras yang Raihan jejakan.
Dengan satu tarikan napas panjang lelaki itu melayangkan tinju tapi berhasil di halau, tak menyerah ia mengayun tinggi kaki kanannya mencoba menghantam tubuh mungil Raihan sebagai balasan. Untunglah badan kecilnya dimbangi dengan kegesitan, Raihan mampu hindari tiap serangan dan balik melakukan perlawanan. Pertarungan sengit pun berjalan saling mengumbar teknik dan jurus tanpa mau menurunkan ego untuk mengalah satu sama lain.
Raihan semakin gusar, dengan sigap dia melihat celah menyikut ulu hati Jamal ketika lelaki itu mengunci leher nya dari belakang dan siap menggoyahkan kuda-kudanya.
Raihan memutar badan kerah yang berlawanan lalu memukul ulu hati sang lawan sampai melangkah mundur karena kesakitan.
Dua pemuda itu kembali saling bersiap membangun kembali pertahanan untuk melanjutkan perkelahian, tapi Zain berdiri di antara keduanya merentangkan tangannya sebagai pembatas dan peringatan keras untuk keduanya berhenti dari perselisihan fisik mereka.
"Berhenti Bang Raihan.... !" Pekik bocah itu
"Kak... Udah ! Kalian keterlaluan, jaga emosi, ini Rumah sakit bukan Ring tinju !" Cecar Ariel mendelik pada Jamal.
Spontan langkah dua lelaki itu terhenti seketika sambil melempar tatapan Jengah bersama-sama.
Ariel menghampiri Jamal dan menatap legam hitam mata kakak angkatnya itu yang masih mengatur amarahnya. "Kak... " Ucapnya hambar, lelaki itu cuma mendengus membuang mukanya dari tatapan Nazriel, seakan tahu apa yang akan pemuda itu buat padanya.
Dua lelaki itu akhirnya bicara dari hati ke hati dan memilih untuk pulang usai mendapat ijin sang dokter. Empat pemuda kini saling terdiam dalam hening di sebuah Petak rumah kontrakan beralaskan karpet permadani dengan penuh kecanggungan menanti sang kepala keluarga datang dan menyelesaikan semua kesalah pahaman.
Remaja itu keluar dari dapur membawa nampan berisi empat cangkir teh yang dia taruh dengan rasa kikuk dan sedikit takut karena melihat muka tegang tiga lelaki yang sejak tadi tetap diam tak membuka suara.
"Bang Doni udah Jemput Ayah di terminal, lagi dalam perjalanan naik taksi, katanya sebentar lagi sampai. " Tutur Zain sambil menggaruk tengkuknya risih.
"Hmm... " Dehem Raihan menyahuti dengan muka kusutnya sambil menyilang tangan di depan dada, masih merasa dongkol pada sang tamu.
Zain menarik napas panjang merasa frustasi melihat kelakuan tiga pria dewasa di depannya.
Tanpa banyak berulah bocah itu pun inisiatif memilih duduk di tengah Ariel dan Raihan, meski agak ragu
dia melirik kanan-kiri ke arah dua abangnya yang sudah membuang wajah satu sama lain. Bisa ia lihat Ariel yang tertunduk dengan secuil sesal dan Raihan yang diam-diam mengusap air mata kekecewaan atas
Pengakuan sang adik yang sudah melakukan perjanjian dengan Jamal, telah mengusik kedamaian dalam sanubarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
L-E-N-T-E-R-A "Lima Simbol Sakral" [End]
Художественная проза"Dimana keadilan yang kalian janjikan?" Jangankan memenuhi janji itu, sekedar mendengar saja. Kalian enggan!" Seorang pemuda berjalan terseok di tengah terik matahari sambil membawa sepanduk bertuliskan keluhannya. "Bebaskan Hasan prakasa putra, K...