🍁Lentera usai padam 🍁

127 17 5
                                    

*Guru terbaik dalam kehidupan adalah Luka dan segala macam bentuk rasa sakit, penyemangat terbaik adalah Caci maki, serta
obat dari segala obat  adalah maaf.*

******************************

Lima pemuda berdiri menatap kosong Jasad kaku terbungkus kain putih yang sedang warga turunkan menuju liang lahat, angin pagi dan dingin semakin menusuk tulang, membeku kan sanubari yang terlanjur telah lebih dulu hilang kehangatan sejak semalam.


Area pemakaman cukup ramai, kehadiran beberapa mantan murid Arman dan banyaknya pelayat pun yang turut ikut serta dalam proses pengantaran Almarhum menuju peristirahatan terakhirnya  pun sedikit besar telah menyejukkan
batin lima putranya yang kini terkikis nelangsa.

Rasa empati yang masih terulur,
dan  kerelaan menguntai doa nan berlandaskan seutas ingatan manis dari segala rekam hidup sang Ayah yang membekas penuh kesan dan makna di benak masyarakat, telah meluaskan hati lima pemuda pemilik simbol Pancasila jadi lebih legowo dan tersadarkan bahwa kebaikan akan selalu punya tempat tersendiri. Meski tak bisa dipungkiri Kecewa akan penghakiman telah menjejakan memori pahit yang tak bisa lagi terpupus kan.

Getir hati Zain tak kuasa saat Doni  turun ke lubang sedalam satu meter untuk mengangkat tubuh sang Ayah,
Bisa ia dengar suara bergetar Sang Kakak yang mulai kumandangkan Adzan sebagai hantaran terakhirnya yang  diberikan, sebelum mereka melepas kepergian sang Ayah.

Kini suara telah memecah hening, menggetarkan ruang hati siapa saja yang mendengarnya, mencetak Sembilu yang tak bisa tergambarkan.

Wajah si bungsu begitu pucat, tak
ada suara tangisan yang terdengar, hanya  raut sendu tanpa gairah lah yang kini terpampang pada muka lima pemuda.

Semuanya tengah menahan keras
air mata, agar tidak lolos dari pelupuknya, seolah enggan kalah
oleh terjangan duka lara yang menerpa, meski sesekali mereka mencuri pandang pada satu sama lain, sebagai bentuk penjagaan, barang kali di antara saudaranya butuhkan topangan, maka pundak satu sama kain telah dalam sikap
siap sedia.

Namun mereka terlalu keras kepala
hingga utuh dalam keheningan, enggan tunjukan kerapuhan nan
telah mereka genggam. Tanpa
ada yang mau saling membebani
Ariel kukuh menundukkan wajah
Kala tanah mulai di jatuhkan ke lubang dan menutupi sedikit demi sedikit sosok sang Pahlawan terkasih yang tak akan bisa lagi termiliki.

Luruh sudah bahu Ariel mulai
hilang kekuatan, tanpa sadar pertahanan putra Arman jatuh
tak bisa lagi mereka bendung.

Zain tersungkur di tanah menjerit memanggil lirih sang Ayah. "Ayah.. Nanti siapa yang marahin Adek
kalo bermanja-manja sama Abang, kita kumpul baru beberapa hari bahkan belum puas habisin waktu buat bersama, Adek saja belum lulus,
tapi Ayah sudah susul Bunda, masih banyak hal yang belum kita lakukan, masih ada sesuatu dan belum Adek sampaikan pada Ayah.  " Tutur Bocah itu dengan cegukan dan penuturan terputus-putus akibat tangisannya.

Doni mengangkat dagu sang Adik menatap lekat legam manik hitamnya, lelaki jangkung si paling sukar menunjukan perhatiannya, tiba-tiba menarik sang adik dan menepuk puncak kepalanya sambil menguntai tutur penuh kelembutan, tak ragu menguatkan sang Adik.

"Nangis yang puas dek, kamu bebas bermanja di pundak Abang kapanpun
Kamu mau. Semua Adik Abang jangan malu buat bermanja dan berkeluh kesah yah. " Untainya saat tangan kiri tak lepas merangkul Zain dan tangan kanannya mengusap punggung
Ariel di sebelah nya, dan maniknya menoleh teduh pada Raihan seakan Saling bicara penuh Arti lewat tatapan mendalam.

Hasan yang berdiri di belakang Raihan, menepuk lembut pundaknya, membuat sang empu menoleh, siratkan kerapuhan padanya, dua pemuda itu pun saling menyalurkan kekuatan dengan satu pelukan utuh di sisa menit penangguhan tahanan, yang si penengah punya, sebelum ia di seret paksa dari  lokasi pemakaman

L-E-N-T-E-R-A "Lima Simbol Sakral" [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang